I.

10.6K 310 26
                                    

Kutunggui kau di depan surau, tepat ketika langit dihiasi awan-awan mendung yang sedang mengandung janin hujan yang kapan saja sudah siap dilahirkan.

Akhirnya kau keluar juga, masih berbalut mukena yang kau jinjing agar tidak kotor menyapu tanah. Berpasang-pasang mata dengan kopiyah yang menutupi kepala mereka menatapku dengan sengak, seolah-olah aku ini buruan yang siap ditombak.

"Sudah lama, Mas?"

"Tidak terlalu. Bagaimana Dek? Boleh aku berkunjung ke rumah?"

Kau terdiam. Aku tahu jika pembicaraan ini akan menjurus kelam.

"Ibu belum setuju, Mas. Ibu masih tetap tak sudi kau bertamu."

Rasa-rasanya saat itu ingin kutempeleng orang-orang yang lalu lalang sambil menatapku seperti menatap celeng. Aku menelan ludah berkali-kali, frustasi.

"Baiklah kalau begitu, Dek. Sampaikan saja salamku pada ibumu. Barangkali sekarang kita hanya mampu berdoa agar beliau tak lagi keras hati dan mau duduk bersama mencari solusi," napasku hampir berhenti, sesak sekali.

"Aku pulang dulu, Mas."

"Kuantar ya?"

"Tidak usah, jangan. Terima kasih. Pergilah ke gereja sekarang, arah rumahku dan tujuan berikutmu bertentangan. Aku tidak ingin kau terlambat. Jangan lupa sisipkan namaku di tiap kesempatan."

Petir menggelegar, tangis janin hujan pecah. Ketuban tumpah ruah bagaikan es batu yang dilemparkan dari langit langsung ke kepala.

Sore itu kubiarkan tubuhku basah, barangkali air hujan mampu membasuh sakit hati yang kurasa. Mampu meluruhkan segala sekat yang ada.

Buku - Buku JariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang