VIII.

2.6K 134 5
                                    

Surat dari ibuku datang di ujung Oktober yang mendung, isinya tentang ungkapan bangga serta sebuah cerita yang masih belum sepenuhnya mampu aku terima.

Senjani sudah menjadi seorang ibu.

Demi Tuhan, malam itu kuhabiskan berlutut bersimpuh mengeluarkan segala kesesakan dalam dadaku. Aku merintih berdoa, mengadukan segala keluh kesah, padaNya aku tak malu terlihat lemah. Jari-jariku bergetar dan suara tangisku kuredam dengan bantal.

Aku rela,
Aku berusaha rela,
Tidak, aku belum rela.

Ada penyesalan mengapa dulu Erik tak aku hajar sampai terkapar, sedetik kemudian aku sadar jika itu bukanlah jalan keluar.

Pernah sekali aku goyah, ketika itu datang berita jika Senjani dan suaminya sudah berpisah. Bulan April yang hangat hampir membuatku terjerat. Lantas cepat-cepat kutulis surat untuk ibu dan ayahku, aku utarakan keinginan untuk kembali pulang dan sekali lagi mencoba memperjuangkan cintaku. Untuk Senjani. Untuk bayinya.

Seminggu kemudian, surat balasan datang;

           "Aku tak mungkin menikah dengan
            seorang laki-laki yang tak teguh
            pendiriannya.

                                                          Salam,                                                           Senja."

Satu kalimat penyemangat.
Kertas kumal yang kusimpan dalam saku  menyentuh buku-buku jariku bertahun-tahun kemudian, saat hari pentahbisan.

***

Hari ini aku akan menemuinya, setelah kurang lebih 35 tahun lalu aku melihatnya tersenyum menungguiku di depan pagar surau. Masih segar dalam ingatanku, kala itu mendung, tapi bahagia kami tak terbendung. Setelah puluhan tahun berlalu, ia sekali lagi berada di depanku.

Seseorang yang mampu membuatku menjadi versi paling baik dari diriku kini tertidur abadi dalam peti.

Semalam ia berpulang, di tengah-tengah tugasnya yang panjang mengabdi di pedalaman. Jasadnya terbang, mengalahkan ketakutannya, mengalahkan ketinggian.

Ia pulang.
Benar-benar pulang.

Untuk terakhir kalinya kulihat buku-buku jari yang selama ini tabah menyebutku dalam doa. Seutas rosario berada di sela-selanya untuk selamanya. Sama seperti ucapnya dulu yang berjanji untuk selalu menemuiku dalam darasan doa meski matanya sudah tak lagi terjaga. Cukup begitu. Sudah romantis begitu.

"Aku ingin naik kincir ria bersamamu, suatu hari nanti, di kehidupan selanjutnya. Barangkali di sela-sela ketakutanmu, aku bisa mengenggam tanganmu, mempertemukan buku-buku jari kita yang belum pernah bersatu."

Buku - Buku JariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang