II.

5.4K 181 16
                                    

Gelegar petir diiringi rombongan titik air yang tiba-tiba hadir membuatku terpaksa berteduh bergeming.

"Ayo pulang, Jani" ucap ayah yang tiba-tiba muncul di depanku. Payung besar berada di tangannya, entah sejak kapan ayah muncul di sana.

"Esok jika ibumu masih berhalangan, tinggalkan di rumah. Kau tetap pergi tarawih bersama ayah, ya."

Aku hanya berdeham. Sembari jalan beriringan menatap tanah basah dengan jejak-jejak kaki di atasnya. Barangkali luka dan nestapa memiliki mekanisme kerja yang hampir serupa dengan air hujan yang mengeroyok tanah. Membuat hati cukup gembur untuk ditinggali jejak dari cinta yang menghambur, meski yang kurasakan sekarang adalah cinta yang terbentur dan hampir hancur.

"Yah, mengapa ibu tak mau luluh? Mengapa beliau sekaku itu?"

"Ibumu hanya takut. Sama sepertiku."

"Apa yang ibu takutkan? Mas Fajar baik, tutur katanya lembut, tahu sopan santun. Ia tidak jahat, yah. Menaikkan nada bicaranya padaku saja tak pernah."

"Ayah pun tak setuju kau dengannya. Ayah hanya setuju jika ia bertamu ke rumah. Duduk dan mencari solusi bersama-sama," suara ayah melemah. Ada tangis yang beliau tahan, ayah berbisik ketika anak-anak hujan makin berisik menjelma rintik.

Wajahku memanas, berusaha menahan segala kekecewaan dan kekesalan. Buku-buku jariku kebas sebab terlalu lama ujung mukenaku kuremas. Barangkali, barangkali jika kami terlahir sama segalanya akan lebih mudah.

Buku - Buku JariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang