Pertemuan Pertama

21 1 0
                                    

Sudah masuk musim penghujan. Jalanan jadi lebih padat dari biasanya. Sejak semalam hujan sudah membungkus kota, membuat pagi ini terasa lebih dingin. Aku mengembangkan payung putih menuju halte bus yang berjarak 200 meter dari rumah. Hari senin, saatnya kembali bersama rutinitas kampus dan berbagai kesibukan lainnya. Langit kota terlihat muram, awan kecoklatan menggantung. Semoga hariku tidak akan berakhir semuram cuaca ini.

Kondektur bus Nusa 101 yang biasa aku tumpangi sudah melambai-lambai. Bus merapat. Aku segera menutup kembali payung dan bergegas naik. Mataku melirik seisi bus mencari-cari tempat duduk kosong .

Paling ujung! Aku menemukannya. Namun segera saat aku hampir saja duduk, seorang pria jangkung dengan setelan jeans dan kemeja kotak-kotak ­­- rasa- rasanya dia juga seorang mahasiswa - mendahuluiku. Ugh. Aku mendengus kesal.

"Ada yang bisa saya bantu?" laki-laki itu tiba-tiba bertanya, membuatku menoleh kikuk.

Bisakah kau menyingkir? Itu harusnya jadi tempat dudukku! Batinku kesal. Tapi aku tidak mungkin mengatakannya, percakapan itu hanya berakhir dengan gelengan kepala tanda tidak, tidak ada yang perlu anda bantu.

Tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa didalam bus. Aku terpaksa berdiri memegang towing bus agar tidak terjatuh. Baru saja aku berdoa agar pagi yang muram ini tidak membuat hari-hariku juga muram, laki-laki itu malah sudah merusaknya dengan merebut satu-satunya kursi yang tersisa dan membuatku harus berdiri sepanjang sisa 30 menit perjalanan menuju kampus.

" Apakah aku harus memberikan tempat duduk ini padamu?" setelah 15 menit dalam bus yang lenggang pria itu tiba-tiba bertanya lagi.

"eh?" jawabku kaget

" Tatapanmu mengerikan. Rasanya aku sudah merebut tempat duduk yang kau incar?" katanya lagi

Setengah kaget aku menggeleng. " Tidak, aku bahkan tidak melihat ada tempat duduk tersisa barusan" sahutku berbohong. Ingin segera menghentikan percakapan bodoh ini

"Oh, benarkah? Baiklah, jadi tempat duduk ini sah menjadi milikku. Dan kumohon, jangan menatapku jeri seperti itu nona. Sangat tidak nyaman." sambungnya

Aku segera memandang ke sembarang arah. Menggumam dalam hati. Kesal. Siapa pula yang sengaja memandangnya. Dan bisa-bisanya dia mengatakan hal itu secara langsung, frontal dan tanpa basa-basi. Udara dalam bus jadi semakin panas.

Aku turun di halte depan parkiran kampus, 50 meter dari gerbang utama. Payung putihku sudah sempurna menyelamatkanku dari gerimis hujan yang belum juga henti. Seseorang berlari-lari kecil mendahuluiku. Ternyata laki-laki itu juga turun di tempat yang sama. Dan sepertinya dia juga ada dikampus yang sama denganku. Jika saja dia tidak membuatku sebal saat diatas bus tadi, mungkin sekarang aku sudah menawarinya berbagi payung. Tapi biarlah, biar tau rasa.

****

Hujan masih menggenang hingga sore. Aku menuangkan dua sachet gula kedalam gelas plastik dihadapanku. Lalu mengaduknya perlahan hingga sempurna bercampur dengan aroma teh yang sudah lebih dulu merebak menyentuh hidung. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Semua kelas yang aku ambil hari ini sudah selesai 30 menit yang lalu. Masih ada sekitar 30 menit lagi sambil menunggu hujan reda. Menikmati teh di cuaca hujan seperti ini memang pilihan yang tepat. Duduk di pinggir jendela cafeteria kampus sambil membaca beberapa agenda. Meski sudah cukup sore, keramaian kampus masih terasa. Banyak orang yang enggan pulang karena hujan. Walaupun banyak diantaranya yang membawa mobil, mereka lebih memilih diam diareal kampus sampai hujan benar-benar hilang atau setidaknya mereda sedikit.

Cafeteria kampus juga lebih padat dari biasanya, orang-orang bergantian memesan teh atau kopi sambil menunggu reda. Kursi-kursi juga terlihat hampir penuh.

"Boleh ikut duduk disini?" sebuah suara asing yang terdengar lembut dan sangat sopan tiba-tiba mendekatiku. Refleks, aku menoleh kearah suara itu.

"eh?" aku dan orang itu bergumam bersamaan. Kaget.

Dia orang yang di bus tadi.

"Kau? Ternyata kuliah disini juga" lanjutnya sok akrab, lalu segera duduk di kursi seberangku.

Aku bahkan belum berkata apa-apa dan kini dia sudah santai duduk di hadapanku

"Oh ya, masalah di bus tadi. Maaf jika aku terkesan 'merebut' kursimu. Aku sangat lelah, jarak halte dan rumahku cukup jauh. 100 meter." dia melanjutkan pembicaraannya sendiri.

100 meter? Bagaimana dengan jarak rumahku yang lebih jauh 100 meter dari dia. Aku menggumam kesal.

" Ah, lupakan. Lagi pula itu kursi umum." sambungku, enggan berkomentar lebih jauh.

" Jadi, kau kuliah jurusan apa?"

Pembicaraan sore yang basi, aku harus menunggu hujan bersama orang menyebalkan ini. Haruskah langit mengirimnya untuk menemaniku menikmati kesempurnaan yang baru beberapa detik lalu aku rasakan?

" Oke Kevin, sepertinya aku harus pulang. Hujan sudah reda. Senang minum teh bersamamu" sekarang bahkan aku tahu namanya - dia yang memperkenalkan diri, katanya sebagai sopan-santun. Adat.

"Hei, kalau begitu, aku juga akan pulang, mana enak duduk di sini sendirian" katanya.

Acuh tak acuh aku mengiyakan, lalu segera mempercepat langkah sebelum dia juga ikut meyusul lagi.

" Kau akan naik Nusa 101 lagi, Jen?" tanya Kevin yang sekarang sudah berhasil menyusulku. Kami melewati dua lorong besar sebelum tiba di parkiran kampus yang tampak padat. Orang-orang bergegas mengenakan jas hujan kebesaran, dan melaju dengan sepeda motor meninggalkan kampus.

" Iya" sahutku singkat.

" Apa masih lewat? Ini hampir pukul setengah lima."

" Kurasa masih."

" Oke, kalau begitu aku percayakan kepulanganku padamu." jawabnya sambil tersenyum menatap kerumunan orang-orang yang bersiap pulang. Hujan belum benar-benar reda, gerimis kecil masih membungkus kota.

Aku tidak menjawab, sibuk membuka payung dan menyelamatkan tas dari gerimis.

"Biar aku yang pegang" belum sempat mengelak, Kevin sudah memegangi payungku lebih dulu. Sekejap aku merasa orang ini terlalu naif, kenapa pula dia sok sekali seperti kami sudah kenal lama?

"Mari." Dia menuntun kami dengan payungku dibawah gerimis yang makin kencang. Aku menyamai langkahnya agar tidak ketinggalan dan berakhir basah. Kurasa dia cukup sopan membiarkan setengah lengan jaketnya terkena tampias hujan untuk membuatku tetap kering.

Kami tiba di halte tepat saat bus sudah merapat. Aku naik lebih dulu.

" Jen, boleh aku pinjam payungmu? Sepertinya aku meninggalkan agendaku di cafeteria. Kau pergilah duluan. Besok akan aku kembalikan. Jam 4, di tempat yang sama."

Belum sempat menjawab, dia sudah berbalik, sambil berlarian kecil kembali ke kampus. Kondektur menyuruhku cepat karena bus harus segera berangkat.

AFTERTASTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang