Payung Putih

13 1 0
                                    


" Aku mengerti, tapi bisakah kau tidak membuat semua agendaku berantakan Lina?" aku mengumpat sejadinya. Bisa-bisanya tugas yang harusnya kelompokku selesaikan sekarang terhambat karena Lina – sang ketua kelompok yang tiba-tiba memutuskan menemani pacarnya menjenguk 'calon' ibu mertuanya.

"Baiklah, baik. Aku mengalah. Kita selesaikan besok. Tapi jika kau tetap berkelit dengan alasan lain aku akan menyelesaikannya sendiri. Tanpa menulis namamu" ancamku dan segera mematikan ponsel. Dia gadis paling banyak alasan yang pernah kutemui. Aku menjejalkan ponsel kedalam tas, menyeruput ice cappuccino yang kudapat di cafeteria kampus tadi siang.

Kelas business marketing  akan dimulai 30 menit lagi, jangan sampai kesialan kemarin terulang karena kecerobohanku dan membuat Prof. Ansel mengusirku dari kelas karena terlambat empat menit.

" Ladies and gentleman, sebelum kita mengakhiri kelas, aku ingin mamastikan kalian datang ke acara seminar bisnis marketing terbaik di kampus, hari jumat ini. Dan aku harap kalian bisa menemukan sesuatu, seperti misalnya sebuah judul untuk tugas akhir nanti. Jangan mengecewakanku dengan tangan kosong kalian ya." Prof. Ansel mengakhiri kelas kemudian pergi.

Setengah isi kelas meng-huuft bersamaan tanda sebal. Ini sudah yang ketiga kalinya kami mendengar tentang 'judul tugas akhir' sebagai pengakhir topik matakuliah hingga sore ini.

Aku segera menjejalkan seluruh barang-barangku kedalam tas dan bergegas pergi, aku harus mencari sesuatu di perpustakaan.

Penjaga perpustakaan terlihat ketus seperti biasanya. Aku memilih duduk di dekat jendela setelah mendapatkan buku yang kucari. Sebenarnya aku jauh lebih suka sastra ketimbang ekonomi, tapi orang tuaku tidak akan pernah setuju jika aku memilih karir sastra. Katanya nanti susah dapat kerja. Lebih baik cari yang umum-umum saja. Ekonomi adalah pilihan terbaik menurut mereka. Tapi tidak masalah, aku juga menyukai ekonomi.

Pukul 5 tepat. Aku harus pulang. Bus nusa 101 hanya beroprasi hingga pukul 6 sore. Tidak lebih tidak kurang. Daripada aku harus naik taksi dengan ongkos tiga kali lipat, lebih baik bergegas sekarang.

Aku melewati cafeteria kampus sebelum tiba di parkiran. Namun, sepertinya ada hal yang harus aku lakukan sebelum ini.

Astaga! Aku mengernyit. Kevin bilang dia akan mengembalikan payungku sore ini, pukul 4. Tapi ini sudah jam 5 lewat, mana mungkin dia masih menungguku. Ah! Daripada penasaran lebih baik ku tengok sebentar kedalam.

Benar saja, pria jangkung dengan setelah jeans  dan kemeja kotak-kotak – sepertinya dia punya banyak model kemeja itu – duduk di bangku yang sama seperti kemarin. Melambaikan tangan dan senyum kecutnya itu bilang kalau dia lelah menungguku.

"Sepertinya kau orang yang tidak bisa tepat waktu." ujarnya sambil menunjukkan arloji ditangannya.

"Eh? Anu, aku lupa. Ku kira kemarin kau hanya basa-basi" sahutku.

" Ini. " dia menyerahkan payung putihku. " Terimakasih sudah meminjamkannya – atau lebih tepatnya aku yang meminjamnya."

"Oh. Yaa terimakasih kembali." Aku mengambil payungku. " Kalau begitu, urusan ini sudah selesai bukan? Aku pamit duluan Kev." Kataku hendak meninggalkannya.

"eh? Hei! Tunggu dulu Jenani." Kevin sekarang berdiri tepat disampingku. "Kau tidak bisa pergi begitu saja. Kok enak betul" katanya

Aku mengernyit. Memang ada yang harus di bahas lagi? Pikirku.

"Lalu?" tanyaku segera.

" Kita pulang bersama, seperti kemarin. Naik bus nusa 101." Katanya enteng. Kini ia bahkan sudah berjalan mendahuluiku. Aku menggeleng tidak paham. Dia membuat seolah-olah kami adalah sahabat lama. Bahkan belum genap 48 jam aku mengenal orang ini tapi dia bertingkah kami sudah kenal bertahun-tahun lamanya.

****

Bus Nusa 101 tidak datang saat kami menunggu di halte. Ini tidak seperti biasanya, bahkan aku dan Kevin menunggu hingga pukul setengah 7 malam.

" Jadi, kita masih akan menunggu?" Kevin yang sudah tak sabaran akhirnya bersuara

Aku menghembus nafas pelan. "Sepertinya dia tidak datang sore ini Kev." sahutku

Kevin terlihat bosan. Ia melirik jam tangan beberapa kali, dan mendengus pelan untuk yang ke tiga kalinya setelah setengah jam berlalu. Lalu lalang kota cukup padat sore itu, namun belum tampak satupun taksi yang lewat. Selain taksi, angkutan umum seperti angkot dan bus sudah tidak boleh beroperasi di jam-jam ini. Kerlap-kerlip lampu kota mulai dinyalakan tanda malam telah tiba.

" Kenapa kau mau saja menunggu bus padahal punya banyak kesempatan pulang duluan dengan taksi?" tanyaku sementara kami masih menunggu taksi lewat.

" Lalu, kau pikir aku akan pulang duluan dan membuatmu menunggu sendirian?" jawabnya. Aku sedikit terkejut, kami bahkan baru berteman beberapa waktu lalu. Kenapa pula dia peduli aku harus menunggu sendirian? Sopan santun?

"Memangnya kenapa ?" tanyaku penasaran.

" Kau pikir aku akan setega itu? Tenang saja, aku anak baik-baik. Tidak usah takut pulang denganku." sahutnya.

Aku mengiyakan tanpa banyak tanya lagi. Dia sepertinya memang orang yang penuh sopan santun.

Kami banyak bercerita setelah itu. Tentang dia yang tidak boleh masuk kelas hanya karena datang satu menit lebih lambat dari Profesornya, dan tentang kami yang sama-sama ditugaskan untuk datang ke seminar  bisnis marketing jumat depan. Kevin tidak se-menyebalkan yang aku kira. Dia cukup menyenangkan saat bercerita, apalagi gaya bicaranya yang seenaknya dan ceplas-ceplos.

Taksi datang 30 menit kemudian. Kami turun didepan rumahku, kata Kevin dia tidak masalah harus jalan 200 meter menuju rumahnya.

" Oh ya Jen, kau bilang jumat depan kau akan menghadiri seminar itu?" tanya Kevin setelah kami tiba

" Iya, Kenapa?"

"Ini, aku punya tiketnya. Kau bisa ambil satu." Kevin menyerahkan tiket seminar warna biru itu padaku. " Gratis." Ujarnya sebelum aku sempat menanyakan bagaimana aku akan membayarnya.

" eh?" aku mengernyitkan dahi tidak yakin. " kau serius?"

" Tentu. Anggap saja sebagai ucapan terimakasihku karena kau telah meminjamkan payung putihmu dan jadi teman ngobrol yang asik." Kevin tersenyum lebar, gigi putihya terlihat rapi sekali.

" Baiklah, aku terima ini sebagai ucapan terimakasih." Kataku. " Terimakasih Kev." Kami berpisah setelah satu dua kata lagi.

Aku merebahkan diri diatas sofa, melempar sembarang tas dan sepatu. Rasanya lelah sekali. Banyak sekali tugas yang harus aku selesaikan malam ini. Aku membolak balik tiket pemberian Kevin. Melihat ocehan siapa saja yang harus aku dengarkan hari jumat nanti.

Namun saat itu sebuah nama membuat mataku tidak berkedip untuk beberapa saat. Aku tidak pernah membayangkan bahwa saat ini, aku harus kembali pada kenangan itu. Kenangan menyakitkan yang pernah membuatku amat terluka. Seperti membangkitkan luka lama, dadaku rasanya sakit sekali.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AFTERTASTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang