5

312 37 0
                                    

Empat serangkai telah kembali. Mereka kembali sering melakukan pertemuan berempat. Membahas apa saja. Tapi untuk hari ini, Keisya dan Bram mendadak tidak bisa. Telaga sadar, mereka berkonspirasi. Telaga tahu ini adalah waktu untuknya.

“Awan itu mantan lo ya Nur?” Telaga mengawali percakapan dengan cara to the point. Dia tahu, Nuri tak suka bertele-tele.

“Lo masih kayak dulu ya Ga. Selalu bisa nebak kode-kode gue. Terus apa lagi yang bisa lo tebak?” Kata Nuri.

“ Cinta diantara kalian masih keliatan lo…” kata Telaga.

Nuri tersenyum.

“Tapi kita nggak mungkin nyatu Ga.”

“Keliatannya ada hal yang sangat prinsipil antara lo dan dia yang membuat kalian nggak bisa bersatu.”

“Inget obrolan kita 8 tahun yang lalu? Tentang spiritual mistis. Dulu kita nyebutnya nggak itu sih, lupa gue. ”

“Kejawen, Sunda Wiwitan… Gue juga lupa dulu kita nyebutnya apaan. Hubungannya sama Awan?”

“Keluarga Awan, ya beggitulah… Istilah kerennya sekarang mungkin islam nusantara. Hahaha…”

“Dan keluarga lo nggak bisa terima itu?”

Nuri hanya menjawabnya dengan senyum. Telaga bisa merasakan kegetiran pada senyumnya. Perbedaan itu bukan ada pada tingkat individu.

Ada pada tingkat kelompok. Kelompok kecil yang tidak bisa tidak diikuti kehendak dan sistem nilainya. Dan Nuri tahu Telaga akan menertawakannya. Selama ini Nuri selalu punya prinsip bahwa sistem nilai komunitas itu tidak harus dipatuhi.

Kebenaran yang sudah diterima komunitas itu tidak harus diterima sebagai kebenaran pribadi.

Hal-hal semacam ini yang biasa dia perdebatkan bersama Nuri sebelum Nuri pergi. Percakapan-percakapan yang membuatnya semakin tidak bisa menggantikan Nuri dengan yang lain.

Telaga dengan santainya bertanya soal Awan. Karena sebenarnya perbincangan seperti ini sudah biasa terjadi diantara mereka berdua, 8 tahun yang lalu.

Telaga juga tahu persis seperti apa hubungan Nuri dengan Kaisar dan Handi. Dua orang yang diceritakan Keisya. Nuri dengan santainya bercerita soal dia yang menyukai Kaisar dan bagaimana Handi mengejar-ngejar Nuri. Sampai akhirnya Nuri tidak lagi tega untuk menolak Handi. Telaga tahu persis semua ceritanya. Lebih detail dari yang Keisya tahu.

“Ngomongnya lo aja ya yang hebat. Tahunya lo tunduk juga sama sistem nilai komunitas.”

“Pada akhirnya gue sadar, sistem nilai komunitas itu setidaknya perlu untuk tidak dilewati batas-batasnya”

“Buat apa kita bebas kalau kita sendiri?”

“Hahaha… kalo udah kayak gini… berantemnya kita bakalan panjang nih… Setiap manusia itu pada akhirnya sendiri Ga. Setidaknya ketika kita mandi.”

Telaga sampai tersedak mendengar kata-kata Nuri.

“Ri, gue pikir lo mo ngomong apaan. Gue udah ngebayangin kata-kata yang keren. Eh, kok malah ke masalah mandi sih?”

“Ya udah deh gue keren-kerenin nih ya. Manusia itu asalnya sendiri, dan akan berakhir dengan kesendirian di kubur juga kan Ga.”

“Ah. Udah nggak keren lagi jadinya. Terus kenapa lu kemaren menjalin hubungan sama Awan donk? Bukannya dengan berkomitmen dengan sebuah hubungan, kebebasan kesendirian lo itu jadi terbatas ya? Jangan bilang lo nggak tega sama dengan lo nggak tega sama kak Handi dan sebenernya ada orang lain yang lo sukain.”

Nuri tersenyum. Kini senyumnya indah. Sepertinya memang cerita cintanya dengan Awan memang sebegitu indahnya. Ada kekhawatiran di hati Telaga. Mampukah dia menggantikan Awan.

“Eh, Ga, jangan-jangan lo masih sendiri sampai hari ini gara-gara terpengaruh sama pemikiran gue lagi ya? Terus kalo kemaren gue jadi nikah sama Awan. Lo kecewa gara-gara gue nggak komit sama pemikiran yang gue cekokin ke lo.”

“Bukan kecewa lagi Ri. Gue patah hati. Lo belum jawab pertanyaan gue Ri.”

Telaga menjawabnya seperti candaan. Tetapi dia jujur dan sebenarnya Nuri tahu kalau jawaban Telaga itu adalah sebuah kejujuran.

“pertanyaannya apa?”

Telaga tahu. Ini cara Nuri mengalihkan pembicaraan. Dia harus mencari pertanyaan yang lebih tepat sasaran.

“Kenapa lo bisa suka sama Awan?”

“tadi perasaan panjang deh pertanyaannya. Kenapa jadi pendek?”

“Jawab aja udah. Gue kepo.”

“Karena bersama Awan gue merasa keberadaan gue menjadi semakin ADA. ADA itu bukan cuma soal kebebasan ternyata Ga. ADA itu adalah tentang kebermanfaatan dan keberartian.”

“Sistem nilai komunitas menjamin nilai keberadaan dan keberartian kita dalam komunitas.”

“Terserah lo deh. Tapi gue masih berprinsip kalo sistem nilai komunitas itu NGGAK HARUS dipatuhi.”

“Tapi juga tidak perlu dilanggar. Lu sendiri yang bilang tadi.”

“Iya….”

“Apa yang membuat lo MERASA semakin ADA?”

“Gue merasa diperlakukan sebagai manusia dan perempuan yang seutuhnya aja sih.”

“Gue harus gimana supaya bisa menjadikan lo manusia dan perempuan yang seutuhnya?”

Nuri terkejut. Dia tahu apa artinya pertanyaan Telaga saat ini. Nuri bimbang. Kebisuan diantara kedua berlangsung cukup lama. Sampai akhirnya Nuri memutuskan untuk memutus kebisuan itu.

“Jadi sahabat debat gue yang dulu, temen cerita gue yang bikin gue nyaman, udah lebih dari cukup.”

Sebenarnya jawaban ini sudah cukup jelas bagi Nuri.

Setelah kebersamaannya bersama Awan, dia tahu bahwa hubungannya dengan Telaga di masa lalu sebenarnya memang sudah lebih dari sebuah pertemanan biasa.

Percakapannya dengan Telaga hari ini juga meyakinkan dirinya, bahwa Telaga yang sekarang masih sama dengan Telaga, sahabat, yang dikenalnya 8 tahun yang lalu.

Nuri tahu secara diam-diam soal semua atribut yang didapatkan Telaga selama dia pergi.

Semuanya tidak merubah Telaga sama sekali. Tapi, entah bagaimana, dia masih punya keraguan yang begitu besar.

Mampukah dia mendampingi Telaga?

Dan keraguan terbesarnya adalah mengenai, adakah Telaga hanya jadi pelariannya saat ini?

“Maksudnya?”

“Hm… kasih waktu buat gue Ga. Saat ini, gue sangat memerlukan lo sebagai sahabat.”

Tbc

Telaga Cinta (Cerpen) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang