Hari ini ada pertemuan penting di unit yang diikuti Telaga. Dia berlari sekuat tenaga. Dia sudah terlambat. Tetapi tiba-tiba seseorang lewat dan membuatnya tertegun. Wanita itu.“Hei…” kata Telaga tanpa sadar.
“Iya… ada apa ya?”
“Kalau ruangan cendrawasih 3 dimana ya?” seketika Telaga bicara setelah terpesona beberapa detik.
“Oh, mau ikut rekrutmen juga ya? Bareng yuk, aku juga mau ikutan. Nama saya Nuri. Kamu?”
“Telaga. Panggil aja Aga.”
Perkenalan yang tak terbayangkan oleh Telaga. Namanya Nuri. Tapi Telaga masih tak mengerti mengapa hatinya begitu tergerak pada sosok itu.
Hari-hari berikutnya Telaga banyak berkomunikasi dengan Nuri.
Bisa dibilang Nuri, Telaga, Keisya, sahabat Nuri, dan Bram, sahabat Telaga, merupakan empat serangkai dalam unit tersebut.
Sampai suatu ketika Bram sedang tidak ada di sekre siang itu. Jadilah yang terlibat perbincangan hanya Telaga, Nuri dan Keisya.
“Nuri, tahu nggak tadi Kak Handi nanyain kamu loh…” sahut Keisya
“Waw, ada apa nih antara Nuri dan Kak Handi?” Telaga menanggapi. Terdengar jelas nada cemburu di suaranya.
“Kamu nggak merhatiin Ga? Nuri kan adik kesayangannya Kak Handi. Kak Handi kalo mau apa-apa ke mana-mana pasti nyari Nuri kan?”
“Bukan githu juga Key… Kak Handi kan emang udah kenal aku dari lama. Aku dan dia udah kayak kakak adik. Dia kan ‘adiknya’ nya kakakku. Bisa dibilang dia lebih adiknya daripada aku.“
“Kamu punya kakak Ri?”
“Aga… kamu kemana aja sih? Nuri kan adiknya Kak Danu. Mantan ketua unit ini beberapa tahun yang lalu.”
“Itu kan kakakku. Aku dan Kakakku beda lah Key. Da aku mah apa atuh.”
“Hanya butiran debu? Lalu aku apa atuh Ri, kalau kamu butiran debu.”
“Kamu kan kerikil Key… masa kamu nggak tahu?” sahut Telaga menganggapi
Di tengah perbincangan canda-tawa tiga orang sahabat, sayup-sayup terdengar suara Handi memanggil Nuri. Nuri pun pergi. Tinggallah Keisya dan Telaga.
“Ga, lo naksir Nuri ya?” sahut Keisya. Telaga terkejut.
“Keliatan banget Key?”
“Banget.”
“Terus Nuri?”
“Nuri nyadar kali Ga… cuman dia nggak mau GR. Lu kalau beneran suka sama dia, mending ngomong sama dia deh. Kak Handi laga-laganya suka juga sama Nuri.”
“Nuri nya?”
“Nuri nya suka-suka aja sih keliatannya.”
“Terus ngapain gue nyatain sama Nuri. Buat ditolak?”
“Sebenernya gue tau sih Nuri sebenernya suka sama siapa. Nuri tuh sebenernya suka sama Kak Kaisar bukan Kak Handi. Tapi karena Kak Handi yang paling available buat dia, Nuri mulai suka sama Kak Handi. Jadi ya menurut gue, kalo lo beneran suka sama Nuri, harapan buat lo nggak ketutup. Bersaing sehat aja sama Kak Handi. Tapi terserah lo sih Ga… Lo lebih mengerti apa yang harus lo lakuin sebagai laki-laki.”
“Kamu betul Key. Aku laki-laki. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Datang pada Nuri disaat aku telah dapat mempertanggungjawabkan semuanya.” Kata itulah yang terngiang di dalam hati Telaga.
“Key, gue bukan cowok yang cari pacar. Gue cari istri. Dan saat ini gue belum pengen cari istri.” Tanggapan seperti inilah yang keluar dari mulit Telaga pada akhirnya.
“Loh, bukannya kamu mantannya Puji. Puji tuh temen SMA gue Ga… ”
“Waktu SMP, gue masih alay Key… lo boleh tanya Puji kenapa bisa kita sampai jadian. Sekarang, gue udah tahu tanggung jawab sebagai laki-laki kayak apa. Dan… soal gue suka sama Nuri, jangan bilang sama Nuri kalo gue ngakuin suka sama dia. Karena gue nggak mau dia merasa nggak nyaman sama gue.”
“Gue hormatin keputusan lo Ga… salut.”
Begitulah percakapan Keisya dan Telaga berakhir. Empat serangkai ini tetap menjadi pentolan di unit. Sampai pada suatu hari… seperti biasa… di sekre unit hari ini ramai sekali. Tetapi keramaian kali ini sungguh berbeda. Telaga masuk dengan tergesa.
“Ada apa nih kok rame-rame?” Semua mengerubungi Handi yang ada didepan layar laptopnya. Memandang sebuah berita. Berita seorang lawan politik presiden yang diasingkan ke luar negeri.
“Nuri pergi Ga… Dan kemungkinan besar dia nggak bisa balik lagi ke Indonesia…” kata Keisya.
“Maksudnya?”
“Bapak ini bapaknya Nuri… Semua keluarganya dibuang ke luar negeri Ga… HP Nuri juga sama sekali nggak bisa dihubungin. Semua akun sosial medianya juga di non-aktifin.” Keisya panik bukan main.
Telaga tahu. Dia mungkin saja sudah kehilangan Nuri untuk selamanya. Telaga merasa kosong. Ada sedikit perasaan menyesal tak pernah ungkapkan rasa pada Nuri.
Malam itu…
“Kak Aga…” suara Farah.
“Iya… ada apa anak kecil?”
“Kak Aga nggak makan? Dipanggil Mama tuh…”
Telaga pun akhirnya menemui ibunya.
“Kakak ada masalah?”
Telaga hanya mengheleng. Seorang ibu tentu tahu kalau anaknya berbohong.
“Nuri apa kabar?”
Raut wajah Telaga langsung berubah.
“Jadi bener ya masalah Nuri?”
“Nuri pergi Ma…”
“Pergi?”
“Berita yang tadi pagi kita tonton itu tentang ayahnya Nuri. Nomor hape Nuri nggak bisa dihubungin dan social medianya semua non aktif.”
“Belum jodoh mungkin Kak…”
“Bisa belum bisa juga bukan…”
“Anak Mama baru pertama kali nih patah hati. Waktu kamu ditolak masuk SMA kepengenan kamu aja nggak segininya loh kamu Kak…”
“Nggak ngerti Ma… Aga kayak ngerasa separuh nafas Aga pergi. Berlebihan sih itu…”
“Terus kenapa kemarin kamu nggak coba jalin hubungan yang sama dengan waktu kamu jalin hubungan sama Puji?”
“Selain karena Aga yang belum bisa bertanggung jawab. Aga juga ngerasa nggak pantes menjadikan perempuan sebaik Nuri diposisi yang sama dengan Puji.”
“Anak Mama terenyata sudah dewasa ya. Terus Kakak sekarang mau ngapain?”
“Aga mau kejar mimpi-mimpi Aga Ma… Berkontribusi buat orang-orang yang membutuhkan kontribusi Aga.”
“Itu baru anak Mama…”
Telaga menjelma menjadi sosok pribadi yang luar biasa. Dia bisa mendamaikan pertengkaran, dia bisa menyatukan dan menjembatani perbedaan.
Dia menjelma menjadi mitos, ratu adil, ksatria piningit, ya… hal-hal semacam itulah.
Dia melesat sampai akhirnya berada di Langit. Walau tetap saja dia merasa kosong.
Tbc