Beberapa bulan yang lalu...
Seorang gadis sedang menunggu kekasihnya di taman. Mereka berjanji untuk makan bersama di sebuah restoran sore ini. Gadis itu bernama Gitsya. Seorang mahasiswi tingkat akhir teknik industri di perguruan tinggi ternama di kotanya. Pacarnya bernama Hendrawan, biasa dipanggil Awan, mahasiswa jurusan teknik elektro di perguruan tinggi yang sama yang kini sudah bekerja di salah satu perusahaan lokal. Sebelum memantapkan untuk menjalin kasih dua tahun yang lalu, keduanya telah bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMP. Awan merupakan senior Gitsya yang terpaut umur dua tahun dengan Gitsya. Setelah beberapa menit menunggu, Hendrawan datang dan keduanya pergi ke tempat tujuan.
"Gimana kuliah kamu Git?"
"Tinggal beresin skripsi mas. Tinggal analisis. Febuari ini beres."
"Wisuda maret? 3,5 tahun donk ya? Mas denger-denger kamu dapet beasiswa Git?"
Prestasi belajar Gitsya memang lebih baik daripada Awan. Sejak SMP pun begitu. Gitsya selalu juara kelas, IPK terbaik diangkatannya, sedangkan Awan tergopoh-gopoh menyelesaikan studinya dengan IPK pas-pasan. Selalu itu yang membuat Awan rendah diri. Gitsya selalu berargumen, IPK itu nggak penting. Nyatanya, Awan sedikit sulit mendapatkan pekerjaan diawal kelulusannya, karena IPKnya yang tidak begitu baik.
"Iya Mas. Tapi aku bingung. Kalau aku ambil beasiswanya berarti aku harus keluar kota. Aku nggak tega ninggalin orang tuaku dan adik-adikku." Gitsya merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Adik pertamanya laki-laki 2 tahun dibawahnya, yang bungsu perempuan 4 tahun dibawahnya. Ibu Gitsya adalah seorang guru, sedangkan ayahnya seorang dosen.
"Aku tahu bukan itu alasan kamu. Aku jangan sampai aku jadi penghalang keputusanmu Git. Kamu tahu kan keadaanku. Aku belum bisa menjanjikan apa-apa untuk kamu. Bertahan hidup untuk diriku sendiri saja aku sulit."
"Aku nggak menuntut apa-apa darimu Mas"
"Tapi aku nggak mau jadi penghalang mimpi-mimpi kamu Git... Kamu nggak boleh kayak gini."
"Buat aku, kamu itu mimpi aku. Udah cukup hidup aku dengan kamu dan aku ngga butuh apa-apa lagi."
"Itu perasaan kamu Git. Bukan logika pikiran kamu. Aku yang membuat kamu mengedepankan perasaanmu daripada logika kamu. Git, aku sangat mengenal kamu. Sebelumnya aku minta maaf akan apa yang akan aku lakukan sama kamu."
Pertemuan dengan pertengkaran ini adalah pertemuan terakhir Gitsya dan Awan. Setelah itu Awan tidak bisa lagi dihubungi.
***
Ada pandangan haru dari Dian mendengar semua cerita Gitsya.
"Terus, sampai saat ini kamu nggak bisa ngehubungin dia sama sekali?" Tanya Dian.
"Nggak bisa. Dan aku kenal banget Awan Di... Aku tahu buat apa dia ngelakuin ini semua. Tapi kamu tahu kan sebagai perempuan, ada di dekat dia, tahu dia nggak kurang apa-apa sebenernya udah cukup."
"Awan nggak mikir githu Git. Awan memakai logika dan menurut dia, kamu nggak boleh berharap sama ketidakjelasan dia."
"Dia baik banget ya Di... tapi juga jahat... dan hal yang paling jadi kehilangan aku adalah, Awan sebagai sahabat Di.... Aku emang seneng cerita sama kamu, tapi ada hal-hal yang cuman nyaman aku omongin sama Awan."
"iye... pemikiran kamu yang super duper ribet itu kan?"
"Buat aku itu sederhana Di... dan cuman Awan yang ngerti kesederhanaan pemikiranku. Aku kehilangan banget Di... Makanya sekarang ini aku sibukin diri supaya yang bikin keputusan itu logikaku bukan perasaanku."
"Jangan terlalu sibuk ah say. Nanti kayak dosenku tuh, udah bujang lapuk belum kawin-kawin."
"hihihi..."
Gitsya tak terlalu tertarik dengan obrolan yang ditawarkan Dian tentang dosennya. Gitsya tidak terpikir bahwa dosen Dian yang dikatakannya sebagai bujang lapuk itu, pada akhirnya akan menjadi sahabatnya.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bujang Lapuk (cerpen)
Teen FictionKisah Dosen Bernama Distra Yang Boleh Dijuluki Bujang Lapuk Karna Sampai Usia 40 Dia Belum Juga Menikah Atau Minimal Berkomitmen Dengan Seorang Wanita. Berhasilkah Distra Mendapatkan Cinta sejati nya? Jgn lupa vote ya :)