LAPTOP itu ia tutup agak keras. Separuh dari dirinya masih tidak terima dengan kenyataan. Pukul dua sudah lewat. Itu berarti Clara resmi diterima di SMAN 15. Tunggu, SMAN 15? Tidak, ini malapetaka! Kenapa harus SMAN 15? Kenapa tidak di SMAN 1 yang notabene sekolah unggulan?
Ah, Clara benar-benar muak. Kecamuk dalam dirinya semakin membara. Padahal sejak SMP ia sudah matang merencanakan kelanjutan pendidikannya. Akan tetapi, kenapa justru rencananya malah jadi kacau begini? Apakah ini sebuah kutukan? Tidak, Clara tidak mau dikutuk. Ia mendengkus dan menyadari suatu hal. Terkadang semesta memang senang bercanda.
"Clara," suara berat dan lembut itu menggelitik telinga Clara.
Seorang pria paruh baya melangkah pelan ke arahnya, mematri senyum simpul yang sangat disukai Clara. Terlihat lembut meskipun kerutan-kerutan menua telah menghiasi paras pria itu. "Kamu sudah lihat hasil seleksi PPDB, 'kan? Bagaimana hasilnya?"
Clara membuang napas asal, tak menghilangkan kedongkolan yang sudah terpahat jelas pada air mukanya. "Aku diterima di SMAN 15, Yah."
"SMAN 15?" kata sang Ayah sedikit melebarkan pupilnya. "Itu SMA bagus, loh."
"Tapi, Clara enggak mau di sana. Clara enggak suka di sana," tandas Clara meninggi, meluapkan segala emosi yang sedari pagi membakar dirinya.
Tangan Ayah berangkat ke puncak kepala anak perempuannya, mengusapnya lembut penuh kasih sayang. "Jangan bilang seperti itu. Itu kasar. Tidak baik menyalahkan pemberian Tuhan. Itu namanya kamu enggak bersyukur."
Clara terdiam.
"Mungkin kamu pengin sekali masuk SMA unggulan, tapi kalau di sana bukan takdirmu bagaimana?" lanjut Ayah. "Yang kamu suka belum tentu baik buat kamu dan yang kamu enggak suka belum tentu enggak baik buat kamu. Jadi, terimalah takdir ini dengan ikhlas. Masih ada seribu jalan menuju Roma. Lagian, banyak kok lulusan SMAN 15 yang masuk universitas favorit."
Mendengar penuturan Ayah, amarah Clara perlahan mereda. Ia bergeming, memandang keramik lantai yang baru saja ia bersihkan, mendapati refleksi dirinya di sana. Kalau dipikir-pikir, perkataan Ayah ada benarnya. Masih ada seribu jalan menuju Roma. Mungkin saja, salah satu dari seribu jalan itu menjadi siswa SMAN 15.
"Ayah benar. Mungkin masuk ke sana merupakan takdir terbaik buatku. Terima kasih ya, Yah." Senyum Clara pun mengembang.
-Brilliantine-
Hiruk pikuk suasana penerimaan peserta didik baru masih melingkupi atmosfer SMAN 15. Para panitia sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang mengacung-acungkan papan tanda nama kelas, mendokumentasikan kegiatan, atau hanya sekadar menyapa adik-adik kelasnya.
Di sinilah Clara, menjadi salah satu bagian dari almamater SMAN 15 selama tiga tahun ke depan. Sebenarnya, ada sedikit rasa sebal karena masuk sini, tetapi apa boleh buat? Semesta telah merencanakan demikian dan Clara tak bisa berbuat apa pun selain menerima.
Clara memijat kening frustrasi. "Sialan, kenapa aku terima-terima aja? Nyesel aku milih sekolah ini."
"Hai, kayaknya kita sekelas. Name tag yang kamu pake warnanya kayak punyaku," sapa seorang gadis ramah, mengulurkan tangan kurusnya. "Aku Nadine dari SMPN 7. Namamu siapa?"
Clara mengamati gadis bernama Nadine itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, intens, mencoba memancing ingatannya. Seingat Clara, tak ada orang bernama Nadine di kehidupan SMP-nya dulu. Tidak ada wajah lonjong manis dengan sepasang mata kelabu bulat menghiasi paras orang-orang yang ia kenal. Oh, berarti sekarang Clara mendapatkan teman baru.
"Clara," sambut Clara sedingin es, tanpa menyambut tangan Nadine yang sudah telanjur terulur.
"Oh," —Nadine segera menyembunyikan tangannya ke saku jaket, canggung— "kamu dari SMP mana?"
Pertanyaan retorik yang selalu dilontarkan para murid baru ketika MOS berlangsung. Clara muak dengan pertanyaan itu karena hal tersebut mengingatkan Clara pada SMA impiannya. Ia selalu bertanya, kenapa orang-orang selalu sibuk menanyakan hal yang bukan urusannya?
Gadis berambut panjang itu pun membuang napas asal. "SMPN 5."
"SMPN 5?" Pupil Nadine melebar ditambah ekspresi kaget yang justru membuatnya tampak lucu. "Itu SMP unggulan yang isi muridnya tajir-tajir, cogan, cecan, sama pinter-pinter, 'kan? Gila, kamu alumni sana?"
Clara mengangguk ragu, melemparkan tatapan aneh pada Nadine seolah-olah ada penggemar berat yang tiba-tiba datang dengan histeris.
"Gila, berarti kamu pinter, dong?" tanya Nadine antusias.
"Mungkin, banyak yang bilang aku pinter, sih," jawab Clara ragu sesekali menggaruk kepala yang aslinya tidak gatal sama sekali. Hal yang selalu dilakukan orang-orang ketika mendapat situasi canggung.
Sekarang, Nadine justru histeris sendiri. Hasrat Clara untuk kabur kian membara seraya membatin, aku enggak kenal dia. Dia itu siapa? Aku enggak pernah ketemu, kenalan, atau temenan sama dia. Bagaimana tidak? Kini mereka jadi pusat perhatian dan Clara tidak suka jadi yang tersorot.
Tiba-tiba Nadine mengguncang-guncang tangan Clara agak kuat sehingga mengharuskan Clara menggigit lidah agar jeritan kesakitan—yang bakalan terdengar seperti penyanyi opera atau malah tikus kejepit pintu—terlontar keras. "Aku seneng punya temen pinter. Moga kita bisa jadi temen baik ya."
"Ya, moga aja," sahut Clara tak yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brilliantine
Teen FictionClara Dewantara, siswi genius yang digadang-gadang menjadi lulusan terbaik di angkatannya. Namun, siapa sangka dari kegeniusannya ia terancam tidak lulus sekolah karena kasus pembocoran soal USBN dan UN yang justru tertuduh padanya. Memang, selama n...