DETIK demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Hingga bulan demi bulan terlewati. Tidak terasa sudah nyaris empat bulan Clara bertahan di sekolah ini. Penilaian tengah semester pun hanya tinggal menghitung hari. Ditemani dendang lagu instrumental, buku-buku catatan dan paket, serta kericuhan kelasnya, jelas. Namun, itu tidak membuat Clara terganggu sama sekali. Ia sudah terbiasa belajar sembari menikmati gempita ala makhluk hutan.
"Clara!" pekik Nadine dengan suara setingkat Whitney Houston.
Bahu Clara tersentak. Netranya teralih, menatap sosok gadis multitalenta di bidang seni tarik suara, memandangi Clara manja seakan-akan merajuk sesuatu. Yang dipandang kemudian mendesah berat, melepas earphone yang sedari tadi tercantel di kedua telinga, dan berkata tidak berminat, "Apa?"
"Ra, besok Senin, 'kan, udah UTS. Aku paling enggak bisa matematika sama fisika," papar Nadine menatap Clara antusias. "Kamu mau ngajarin aku enggak?"
Clara mengangkat satu alisnya, melempar tatapan seolah tengah mencari kebohongan dari penuturan Nadine. "Ngajarin kamu?"
Nadine mengangguk mantap. "Mau ya, Ra? Please, kali ini aku bener-bener butuh otak encer kamu buat nolongin aku dari kegelapan. Aku udah bolak-balik baca vektor sama gerak parabola, tapi kayaknya otakku nolak dikasih gituan."
Clara membuang pandangan, kembali berkutat pada buku sejarah yang sedari tadi dibolak-balik tak jemu. "Kalau otakmu aja udah enggak nerima, mana bisa aku ngajarin kamu kalau kamunya enggak niat kayak gitu."
"Clara Einstein," begitu bujuk Nadine seraya memasang tampang paling memelas yang pernah ia tampilkan, "bantu temanmu yang bodoh ini. Aku ingin menyelamatkan nilaiku supaya bisa masuk SNMPTN. Ya, Clara ya?"
"Permintaan ditolak," ucap Clara telak.
Nadine segera menggenggam tangan Clara. Ia tidak akan berhenti membujuk sebelum Clara mau mengajarinya dua mata pelajaran yang membunuh walaupun sampai H minus beberapa jam sebelum ujian sekalipun. "Clara Dewantara, yang baik hati dan tidak sombong, mau, 'kan, kamu ngajari aku yang gagal paham ini? Sekali ini aja, besok aku bakal belajar sendiri. Janji."
Clara membisu, tetapi ia tidak melunturkan tatapan tajam dan sadis pada Nadine. Keheningan mampir sebentar melewati mereka. Tangan Clara berangkat menjumput earphone yang sudah ia lepas lalu mencantelkannya lagi ke telinga. Lagu-lagu Audiomachine kini mengenyahkan suara-suara bising. Clara tidak menggubris temannya yang sudah memasang tampang penuh harap, seolah Nadine hanyalah hantu bergentayangan di siang bolong.
"Kamu diem berarti mau, nih?" tanya Nadine sekali lagi.
Akan tetapi, Clara mendadak tuli dan bisu. Ia terus membalikkan kertas-kertas yang penuh tulisan akan ilmu pengetahuan.
Nadine mendengkus. Dahinya berkerut, memikirkan alasan bagus agar Clara mau mengajarinya kali ini. Ia tidak akan habis akal. Nadine harus mendapatkan apa yang dia inginkan. Pokoknya harus. Kalau gagal, dicoba lagi sampai dapat. Prinsip: jangan kasih kendur membara dalam dirinya.
"Gini aja," papar Nadine santai, "aku bakalan traktir kamu makanan apa pun yang kamu mau selama seminggu ini. Di restoran di Kotabaru, tapi kamu harus ngajarin aku."
"Bodo," sahut Clara ketus.
"Aku traktir kamu makanan selama dua minggu," Nadine pun menambahi.
Clara mencerling arloji yang melingkari pergelangan tangannya, membuang napas asal, dan kembali berkutat pada buku pelajaran yang sedari tadi ia kencani. "Teruslah seperti itu, aku tidak akan mengubah keputusanku."
"Oke, aku traktir kamu makan siang selama sebulan dan aku bakal beliin kamu novel kesukaanmu," sahut Nadine agak keras.
Mendengar tawaran terakhir Nadine, pupil Clara melebar. Ia bergeming, mengingat kembali apa yang baru saja dilontarkan gadis yang terkenal akan kelincahan dan kepandaiannya dalam bermain basket. Apakah Nadine baru saja mengatakan novel? Wah, ini pertanda bagus. Jadi, Clara tak perlu repot-repot menguras isi dompet bulan ini. Senyum Clara mengembang, menatap Nadine yang kini sudah sangat optimis dengan rayuan terakhirnya.
"Oke, setuju."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brilliantine
Teen FictionClara Dewantara, siswi genius yang digadang-gadang menjadi lulusan terbaik di angkatannya. Namun, siapa sangka dari kegeniusannya ia terancam tidak lulus sekolah karena kasus pembocoran soal USBN dan UN yang justru tertuduh padanya. Memang, selama n...