I want to watch over you-even your bad habits
___________________________________________________________________________
Kim Myungsoo-begitulah cetakan huruf Hangul berwarna hitam tebal yang terpampang dengan tegas dan menantang di sebuah papan nama yang terbuat dari kaca-di atas meja kerja seorang pria berusia dua puluh enam tahun yang tengah sibuk dengan berbagai berkas di hadapannya.
Matanya mengerjap tiap kali menemukan deretan kalimat aneh yang membuatnya pusing karena tak juga menemukan titik temu akan kasus yang tengah di hadapinya.
Ini adalah hari keempatnya berkutat dengan kasus pembunuhan berantai yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Membuatnya merindukan apartemen miliknya di Cheongdam untuk beristirahat sejenak, karena keempat hari pula ia menginap di ruang kerjanya dan hanya ditemani tumpukan buku yang menunjang dirinya untuk menyelesaikan kasus, tak lupa pula secangkir kopi hitam tanpa gula yang selalu dihidangkan oleh asistennya.
Menjadi salah satu pimpinan yang bertanggung jawab dalam divisi investigasi di Kepolisian bukanlah perkara mudah. Setahun yang lalu-saat ia diresmikan menjabat sebagai pimpinan, Myungsoo tahu bahwa keseluruhan hidupnya akan berubah total. Ia tak bisa membiarkan dirinya berleha-leha atau sekedar menghilangkan penat di saat anak buahnya tengah kelimpungan menghadapi kasus pembunuhan berantai seperti ini.
Myungsoo memang pernah menyelesaikan berbagai macam kasus, bahkan sebelum ia menjadi pimpinan, Myungsoo pernah membongkar identitas bandar narkoba, yang ternyata adalah seorang dewan legislatif di pemerintahan. Myungsoo saat itu tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang yang dipercaya untuk menjadi tiang penyangga pemerintahan memilih menjadi bandar narkoba dan merusak rakyatnya sendiri.
Dua tahun lalu, Myungsoo juga berhasil membongkar kasus korupsi yang dilakukan oleh menteri perhubungan, terkait proyek transportasi baru di Seoul. Hal-hal semacam inilah yang membuat namanya melambung tinggi dan dipercaya bisa memimpin divisi investigasi. Bahkan, dua hal yang tadi disebutkan hanyalah segelintir kasus besar yang berhasil dikuaknya.
Kim Myungsoo yang dingin, tegas dan berwibawa, serta tampan. Seluruh pria seusia dirinya yang bekerja di Kepolisian sudah bisa dipastikan iri dengan anugerah yang Tuhan berikan secara cuma-cuma itu padanya. Dan tentunya gadis-gadis di luar sana siap mengantri dengan pria yang bisa dikatakan mapan dan memiliki segalanya itu. Hanya saja... gadis-gadis lain telah terlambat dan kalah telak oleh seorang gadis yang kini mengisi seluruh hati seorang Kim Myungsoo.
Myungsoo melirik jam tangan yang tersemat di tangan kirinya, bergumam tak jelas ketika mendapati hari telah beranjak pagi dan ia belum tidur sama sekali. Kopi hitam yang diteguknya beberapa gelas dalam kurun waktu beberapa jam terakhir, tak mampu berbuat banyak dengan kelelahan yang dideranya sekarang. Bahkan, kopi itu malah membuatnya agak sedikit mual.
Pria itu pun akhirnya memutuskan untuk berhenti membaca berkas di hadapannya. Ia memilih untuk menyenderkan punggung kemudian meluruskan kedua lengannya ke atas, berusaha mengendurkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.
Berapa lama aku duduk seperti ini?
Sudah semestinya Myungsoo pulang ke apartemennya sekarang, atau ia akan sakit dan hal tersebut sangatlah mengganggu di tengah investigasi yang dilakukannya. Atau kalau bisa, ia lebih memilih untuk tidur di kamar kekasihnya dan menghabiskan waktu berjam-jam di sana, sekedar menikmati aroma parfum yang begitu ia sukai dari gadisnya.
Parfum beraroma buah anggur yang memikat.
Myungsoo tenggelam dalam kenangan akan gadisnya, memenuhi isi kepalanya dengan senyum seorang gadis yang menetap di hatinya itu sejak dua tahun lalu. Entah, Tuhan memang sedang berbaik hati padanya, karena Myungsoo merasa hidupnya yang rumit ini terasa lebih mudah dengan kehadiran gadis tersebut. Saat ia lelah, saat ia merasa putus asa dan ingin menyerah, gadis tersebut selalu muncul untuk menghilangkan hal-hal tersebut.
Ponsel Myungsoo berdering, tepat di saat Myungsoo tengah berpikir keras apa yang akan diberikan oleh dirinya sebagai hadiah dari ulang tahun gadis itu beberapa hari lagi.
"Hm?" Myungsoo berdehem, menahan senyum karena merasa ia memang berjodoh dengan gadisnya. Hebat bukan, ketika kau tengah memikirkan gadis yang begitu kau cintai, tiba-tiba saja ia benar muncul sekalipun hanya dalam bentuk suara melalui media telepon.
"Ya, aku masih di ruang kerja," Myungsoo menjawab lembut, lalu meneruskan dengan tawa pelan saat kekasihnya itu meluncurkan kata protes karena Myungsoo terlalu keras dalam bekerja. "Kau tenang saja, setelah ini aku akan tidur sebentar, baru setelah itu menjemputmu di kampus. Bagaimana?"
Myungsoo menggelengkan kepalanya, lalu berkata tidak karena sang gadis bersikeras untuk tidak dijemput. Namun kebiasaan Myungsoo menjemput gadisnya itu merupakan hal yang cukup menarik dan terasa seperti hiburan bagi Myungsoo. Sejak gadisnya meneruskan pendidikan S2 nya di Universitas Seoul, Myungsoo kerap kali menyambangi kampus itu untuk bertemu gadisnya, tentu saja setelah menyelesaikan pekerjaan Myungsoo yang bisa dibilang tidak akan pernah ada habisnya.
"Jangan bersikeras, ara? Aku akan menjemputmu dan tak ada penolakan," kata Myungsoo tegas, namun tetap dengan sisi lembut dari dirinya.
Myungsoo pun tersenyum saat tak terdengar kata protes lagi. Ia mengakhiri pembicaraan setelah mengatakan kata cinta pada gadis itu, yang tentu saja masih terasa memalukan tiap kali ia mengucapkannya dan dibalas dengan tawa kecil di ujung sana. Tapi Myungsoo tahu gadisnya selalu merasa senang dengan cara Myungsoo yang kikuk dalam menyampaikan cinta.
Kini Myungsoo tak mampu lagi menahan kantuk. Ia meneguk kembali kopinya sebelum beranjak berdiri menuju sofa yang dipenuhi dengan selimut yang berantakan. Myungsoo lupa kapan terakhir kali ia mengganti selimut yang sengaja dibawanya dari apartemen, yang jelas bentuknya sudah sangat tidak karuan.
Pria itu merebahkan tubuhnya di sofa, menarik selimut sampai dagu dan berniat melantunkan mimpinya dengan indah. Dalam hatinya, ia berharap akan selalu bersama gadisnya hingga ia tak bernyawa lagi. Tak peduli berapa banyak kesulitan yang akan dihadapinya nanti. Karena Myungsoo sadar ia tak terlalu mengetahui seperti apa gadis yang menjadi kekasihnya itu. Myungsoo tak benar-benar tahu, karena gadis itu menyimpan semua rahasianya dengan baik. Kecuali... yang Myungsoo tahu, bahwa gadis itu juga mencintai dirinya. Sangat.
∞∞
Cuaca di Seoul sangat buruk bulan ini. Beberapa hari terakhir, kota dipenuhi dengan salju yang menumpuk akibat hujan salju yang terjadi tiap malam. Suhu udara mencapai minus sepuluh di luar ruangan, bahkan jika tak menyiapkan pakaian tebal lebih, seseorang bisa saja terkena hyporthemia ringan saking dinginnya.
Seorang gadis, dengan mantel bulu cokelat, dan pakaian tebal di baliknya yang ia pakai secara berlapis, tengah mengusapkan kedua tangannya yang berbalut sarung tangan berwarna senada dengan mantel. Kepalanya sejak tadi menoleh ke sana kemari, jelas sekali tengah mencari seseorang.
Ia baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya lebih cepat dari biasanya. Bodohnya pula ia terlalu terburu-buru menuju halaman depan kampus, dibanding menunggu lebih dulu di kafetaria yang pasti tidak akan membuatnya berakhir dengan kedinginan seperti ini.
Gadis bernama Shin Jee In itu mencoba menghubungi seseorang yang berjanji akan menjemputnya, namun kesekian kalinya pula orang tersebut tak mengangkat teleponnya sama sekali. Jee In berdecak kesal, menggerutu sebentar sebelum matanya menangkap sosok seorang gadis berambut panjang melewati bahu, yang ujungnya sedikit bergelombang. Pakaian musim dinginnya terlihat mahal, dengan topi berbulu hitam yang menutupi kepalanya dengan sangat anggun. Di tangan kanannya tergantung tas putih keluaran terbaru dari salah satu designer ternama yang sering Jee In baca namanya di salah satu majalah fashion ibukota.
Tak perlu bertanya pada siapapun siapa gadis itu. Jung Yeon Hyo, gadis yang berada di kelas yang sama dengan Jee In pada jurusan manajemen bisnis. Yeon Hyo terkenal sebagai sosok gadis yang dingin, tak banyak bicara (bahkan ketika ia menjawab pertanyaan profesor, ia hanya menggumamkan kata ya atau tidak), dan matanya ketika menatap seseorang seolah tengah menghakimi apa yang orang itu perbuat.
Jee In pun selalu merasa, Yeon Hyo terlalu sering menatap dirinya dengan aneh. Meskipun pendidikan yang ia tempuh bukanlah lagi ajang untuk dikenal siapa yang paling jenius, namun seisi kelas tahu jika mereka berdua bersaing dalam bidang akademis. Jika dalam satu mata kuliah Jee In berada di peringkat pertama, maka Yeon Hyo akan menguntitnya di peringkat kedua dengan perbedaan yang sangat tipis.
Satu hal lagi yang sering Jee In sadari dari gadis itu, Yeon Hyo selalu berada di tempat yang sama jika Jee In dijemput. Sehingga sering kali, kekasih Jee In akan bertemu mata dengan Yeon Hyo, dan gadis itu selalu menatap kekasih Jee In dengan penuh minat.
Tidak, tentu saja Jee In tidak cemburu akan hal itu. Umurnya sudah cukup dewasa dan tak berminat lagi dengan perasaan kekanakkan seperti itu. Jee In hanya penasaran mengapa Yeon Hyo selalu menatap kekasihnya dengan tajam, penuh minat dan terkadang Jee In mendapati senyum kecil tersungging di bibir gadis itu. Jee In selalu ingin bertanya, tapi tak pernah ia lakukan karena Yeon Hyo terlalu sulit untuk didekati.
Jee In masih sibuk dengan pikirannya mengenai Yeon Hyo ketika gadis itu dengan sengaja menyenggol bahunya. Pelan, namun cukup membuat Jee In tersentak kaget hingga bergerak ke samping.
"Kekasihmu belum datang?" tanya Yeon Hyo datar. Ia yang jarang menegur orang lebih dulu, berhasil membuat Jee In seperti terkena serangan jantung mendadak.
"Ah... ya. Kau... juga," jawab Jee In kikuk.
Yeon Hyo juga selalu dijemput saat pulang kuliah. Oleh seorang pemuda tampan dengan senyum ramah yang selalu didapati Jee In ketika mereka bertemu mata. Jika Jee In tak salah dengar-dari percakapan Yeon Hyo dengan pemuda itu-nama pria itu adalah Nam Woohyun. Dan Jee In sama sekali tak bisa menebak apakah Woohyun adalah supir pribadi Yeon Hyo atau kekasihnya. Yang jelas, pria itu selalu menatap penuh kasih ke arah Yeon Hyo, hal yang sama yang selalu dilakukan kekasih Jee In untuknya. Lagipula pemuda itu terlalu tampan untuk sekedar menjadi supir.
"Kelas bubar terlalu cepat," ujar Yeon Hyo.
Jee In hanya mengganguk-angguk tak jelas, dan berpikir dalam hati mengapa gadis itu tak menunggu di dalam saja dan malah melakukan hal yang sama dengannya.
"Siapa nama pria yang selalu menjemputmu?" tanya Yeon Hyo lagi. Jee In yang mendengar pertanyaan yang menurutnya terlalu aneh itu, memberanikan diri untuk menatap Yeon Hyo secara terang-terangan.
"Maaf sebelumnya Yeon Hyo-ssi, aku tidak tahu mengapa kau tiba-tiba saja bertanya seperti itu padaku. Tapi yang jelas, kau harus ingat bahwa kau dan aku tidak terlalu cukup dekat sekalipun dalam kelas. Pertanyaanmu cukup mengganggu," ujar Jee In merasa tersinggung. Rasanya aneh sekali ada seorang gadis yang terang-terangan bertanya nama kekasih orang lain.
"Jika tak ingin menjawab tidak apa."
Emosi Jee In nyaris berada di ubun-ubun. Dengan ekspresi datar dan dingin seperti itu, gadis di sampingnya ini benar-benar terlihat tidak manusiawi. Mungkin dalam bidang akademis Jee In selalu mendapatkan peringkat atas, tapi dalam penampilan dan selera berpakaian, Yeon Hyo jauh lebih unggul dibandingkan Jee In. Gadis itu sudah pasti keturunan orang kaya, tidak seperti Jee In yang hidup sendiri di Seoul dan berusaha keras untuk membiayai kehidupannya dengan bekerja sebagai asisten lepas dari seorang designer di salah satu perusahaan, sedangkan kuliahnya ia peroleh dari beasiswa.
Jee In berusaha tak menggubris keberadaan Yeon Hyo lagi, hingga sebuah audi hitam meluncur manis dan berhenti tepat di depan Jee In. Gadis yang memang telah menunggu sejak tadi itu, kini menarik seulas senyum di wajahnya. Seakan lupa dengan emosinya tadi.
"Menunggu lama?" tanya kekasih Jee In-Kim Myungsoo, yang masih lengkap dengan jas hitam formalnya yang tampak kusut. Melihat itu Jee In bisa menebak jika Myungsoo baru saja bangun dari tidur dan langsung melesat kemari.
"Tidak apa. Hanya khawatir mengapa kau tak mengangkat teleponku," kata Jee In, masih dengan senyum yang belum pudar dari wajahnya.
Jee In menoleh ke arah Yeon Hyo lalu mengangguk singkat, lagi-lagi mendapati gadis itu tengah menatap Myungsoo cukup lama. Jee In pun tahu bahwa kekasihnya itu juga menatap balik Yeon Hyo, mungkin merasa penasaran mengapa gadis itu memiliki sorot mata tajam dan penuh misteri seperti itu. Pekerjaan Myungsoo sebagai pimpinan divisi investigasi membuatnya selalu berhati-hati terhadap apapun itu.
Myungsoo membukakan pintu mobil untuk Jee In, dan tanpa ragu gadis itu masuk ke dalam. Dari balik spion, Jee In masih mendapati Yeon Hyo tak juga lepas menatap Myungsoo, yang bahkan sedang berjalan memasuki mobil lewat pintu satunya.
Dan dalam diam, keduanya pun melaju dengan cepat ke jalanan kota Seoul. Meninggalkan sesosok gadis misterius yang tak juga mengalihkan pandangannya.
"Lain kali, aku akan mencari tempat lain untuk menunggumu menjemputku," sungut Jee In akhirnya.
Myungsoo yang tak begitu paham menoleh sebentar dan mengerutkan dahinya. "Maksudmu?"
"Demi Tuhan, aku tak pernah semarah ini jika ada seorang gadis yang menatapmu seolah dirimu adalah daging segar siap santap. Tapi Jung Yeon Hyo adalah pengecualian. Dia cantik, kaya raya dan misterius. Apa kau tak tertarik saat ia menatapmu penuh minat seperti itu?"
Jee In menyadari suaranya meninggi, dan sosoknya yang terbiasa lembut di depan Myungsoo tiba-tiba saja menguap entah ke mana.
"Cukup menarik. Dan terima kasih telah memberitahu namanya padaku," ledek Myungsoo yang tahu gadisnya ini tengah cemburu karena gadis misterius itu. Tanpa ampun lagi, Jee In pun meninju lengan pria itu. Tentu saja sambil berteriak, salah satu kebiasaan yang tak pernah Myungsoo mengerti sampai kapanpun. Seolah tengah melihat dua sosok yang berbeda dalam wujud yang sama.
"Yaa! Kim Myungsoo!"
∞∞
"Bagaimana pekerjaan Dongwoo hari ini?"
Jung Yeon Hyo, dengan mata yang menatap acuh ke deretan gedung melalui jendela mobil, bertanya pada pria disampingnya-mengemudikan sedan hitam yang membawanya menuju rumah.
"Cukup baik. Pria itu berhasil menghabisi korban dengan dua kali tembakan. Seperti yang sudah direncanakan untuk mengelabui polisi," jawab Nam Woohyun, berusaha fokus mengemudi.
"Aku tak suka dengan eksekusinya beberapa hari yang lalu. Yang kudengar ia meninggalkan sedikit jejak karena korban belum sepenuhnya mati saat ia meninggalkan tempat kejadian. Sangat riskan Woohyun-ssi, aku tak suka jika ada kesalahan. Sedikit saja jejak tertinggal, organisasi kita akan hancur."
Woohyun mengangguk, dalam hati memperingatkan dirinya sendiri untuk memberi hukuman pada Dongwoo atas kesalahannya nanti. Ia tidak mungkin membuat putri dari pendiri organisasi yang telah menopang kehidupannya itu menjadi resah seperti sekarang ini.
"Ah, ngomong-ngomong, kau sudah menerima misi selanjutnya? Aboeji mengatakan padaku ada penawaran untuk membunuh seorang gadis kali ini. Kau sudah memikirkan siapa yang akan mengeksekusi hal tersebut? Dan kuharap kau tidak lagi menurunkan Lee Sungjong, aku agak keberatan jika ia harus menangani hal seperti ini. Ia lebih cocok menangani kasus lain seperti membunuh orang-orang licik, untuk korban gadis seperti ini, dia terlalu mudah merasa kasihan."
Woohyun membuka dashboard mobil miliknya, mengambil sebuah berkas lalu menyodorkannya pada Yeon Hyo. "Seharusnya aku memberikan ini padamu tadi pagi. Tapi sepertinya kau buru-buru sekali tadi, jadi kupikir bisa ditunda."
Yeon Hyo menerima berkas tersebut lalu segera membukanya. Beberapa penawaran dan foto dari seorang gadis yang hendak dibunuh oleh seorang yang membayar lebih mahal untuk jasa organisasinya. Tak ada alasan jelas mengapa gadis ini harus segera dibunuh, dan Yeon Hyo tidak ingin ambil pusing dengan hal tersebut. Uang dan kekuasaan adalah pembayaran yang setimpal untuk hal ini.
"Eksekusi yang diinginkan tanggal 21 bulan ini. Malam hari dan ditempat keramaian. Mereka ingin dengan cara sederhana seperti sebuah kecelakaan. Well, Jang Dongwoo kurasa bisa kau turunkan. Dia pengemudi paling handal dan mudah untuknya meloloskan diri. Aku yakin ia terampil dalam hal ini.," kata Yeon Hyo saat selesai membaca berkas tersebut. Ia tersenyum miris dan sempat terbersit rasa kasihan pada gadis cantik dalam foto itu.
Bodoh, tak ada manusia yang pantas dikasihani di dunia ini.
Mobil yang ditumpangi Yeon Hyo akhirnya tiba disebuah rumah besar dengan halaman luas di sekitarnya. Banyak penjaga berderet rapi di depan pagar, menyediakan keamanan penuh tanpa sedikit waktu yang terbuang demi menjaga keluarga Jung. Yeon Hyo sebenarnya bosan tiap kali ia memasuki halaman luas di mana ia pikir seseorang bisa bermain sepak bola di sana, karena rasanya rumah itu lebih mirip seperti penjara. Namun konteks dan keadaannya saja yang lebih baik daripada jeruji besi.
"Yeon Hyo-ssi," panggil Woohyun.
Yeon Hyo menoleh, ia baru ingin membuka pintu mobil dan keluar untuk masuk ke dalam rumah. "Ya?"
"Kau... tidak lupa kan tanggal 21 adalah ulang tahunmu?"
Yeon Hyo tertegun. Ia hampir saja lupa tanggal itu adalah ulang tahunnya. Bodoh. Seharusnya ia mengingatnya sendiri dan bukan orang lain yang mengingatkan. Ia tahu Woohyun memang selalu memperhatikan dirinya. Tapi Yeon Hyo selalu berpikir perhatian Woohyun hanya sekedar bagian dari tanggung jawab pria itu.
Yeon Hyo menghela nafas, berusaha tersenyum pada pria itu, meskipun rasanya aneh sekali ia tersenyum pada orang lain-hal yang tak biasa ia lakukan. "Terima kasih. Aku menunggumu hadiah darimu Tuan Nam," ujar Yeon Hyo lalu beranjak keluar dari dalam mobil, tak menyadari bahwa mata dari pemilik suara yang tadi memanggilnya itu menatap kepergiannya dengan sedih.
Seandainya kau bukan bagian dari organisasi ini, Jung Yeon Hyo.
∞∞
KAMU SEDANG MEMBACA
QUEENS
FanfictionJung Yeon Hyo, penerus suatu organisasi mengerikan yang bertanggung jawab atas berbagai kasus pembunuhan berantai, terlibat cinta segitiga dengan seorang pimpinan divisi investigasi kepolisian. Di saat kasus itu sedang bergulir, Kim Myung Soo harus...