BAB 3 - Even in my dreams

32 5 3
                                    

Now it’s like I have this habit, keep calling out your name.

- Foffano’s Restaurant – Dua jam sebelumnya

Shin Jee In tiba di restoran bergaya Italia bernama Foffano’s tepat pada waktunya—sesuai isi pesan singkat dari Myungsoo yang memintanya untuk pergi ke restoran tersebut. Meskipun agak ragu, karena tidak seperti biasanya Myungsoo bersikap seperti ini, Jee In akhirnya melangkah masuk ke dalam.
Alih-alih menemukan sosok Myungsoo, Jee In disambut oleh dua orang pria yang merupakan pelayan. Pakaian mereka sangat eksklusif, dengan jas formal berwarna hitam pekat, dan di tangan kiri mereka tergantung manis sehelai kain putih.
Jee In tersenyum samar, merasa kikuk dengan hal-hal seperti ini. Myungsoo menyuruhnya untuk ke sini, sebelum nantinya supir pribadi Myungsoo akan menjemputnya. Dalam pesan singkat yang ia dapatkan, Myungsoo ingin Jee In merasakan makanan Italia yang menjadi kegemaran Myungsoo.
Sedikit aneh memang, seharusnya Myungsoo ada di sini dan mengajaknya makan malam, daripada menyuruh Jee In makan sendirian dan menikmati makanan Italia yang sangat menggiurkan.
Tapi Jee In tak pernah ingin mengecewakan Myungsoo, jadi gadis itu menurut dan harus puas mengisi perutnya dengan berbagai pasta yang disajikan.
Setengah jam setelahnya, seorang pria menghampiri Jee In, membawa sebuket mawar putih yang sangat disukainya. Seulas senyum  terukir di wajah Jee In, ia merasa senang sekaligus tersanjung dengan sikap Myungsoo kali ini. Kejutan-kejutan kecil yang dipersembahkan untuk Jee In adalah hal paling manis yang pernah dilakukan pria itu.
“Tuan Kim meminta saya untuk menjemput Anda,” ujar pria yang menghampiri Jee In—supir pribadi Myungsoo.
Jee In mengangguk. Ia meneguk sedikit wine yang dihidangkan, kemudian beranjak berdiri. Berjalan mengikuti pria tersebut ke luar restoran. Namun baru beberapa langkah, gadis itu meringis, memegang perutnya kemudian mengerang kesakitan.
“Nona, kau baik-baik saja?” pria itu bertanya khawatir. Sesekali melirik arloji, menakutkan hal lain. Karena pria itu telah berjanji mengantarkan gadis ini tepat waktu—sesuai dengan perintah.
“Tunggu, sebentar,” Jee In bergumam pelan, masih mengerang dan memegang bagian perutnya. “Aku harus ke toilet,” kata Jee In lagi.
Pria itu mau tak mau mengangguk. Ia mempersilahkan Jee In dan membiarkan gadis itu menjauh, menghilang kembali ke dalam restoran.
Sekitar lima belas menit pria itu menunggu, di depan sebuah mobil berwarna putih susu yang membuat mata akan menoleh langsung ke sana. Berulang kali pria itu mengecek arlojinya, dan mendesah pelan. Ia memainkan sepatunya, mengetuk-ngetukkannya ke tanah. Namun tak berapa lama kemudian, seorang gadis dengan dress putih selutut keluar dari dalam restoran. Pria itu tak begitu memperhatikan, ia hanya membungkuk rendah lalu membukakan pintu untuk gadis itu, yang masuk ke dalam mobil tanpa suara. Hanya saja langkahnya tadi agak terlihat kaku dan tergesa-gesa.
Pria itu pun mengangkat bahu, tak terlalu peduli. Yang terpenting gadis itu sudah ada sekarang, dan ia siap untuk diantarkan ke tempat kekasihnya berada.
Sang supir hanya tidak tahu… bahwa malaikat kematian tengah menunggu mereka berdua dengan senyum penuh kemenangan.

∞∞

“Masuklah ke dalam mobil.”
Yeon Hyo menoleh sekilas ke arah Woohyun, tersenyum kecil kemudian menggeleng. Untuk pertama kalinya Yeon Hyo turun langsung ke lokasi di mana Dongwoo akan mengeksekusi target, karena entah mengapa Yeon Hyo merasa ada yang janggal kali ini. Ada satu perasaan yang cukup aneh saat mengetahui bahwa sang gadis akan dijemput di depan sebuah restoran mewah bernama Foffano’s.
Yeon Hyo dan Woohyun memakirkan mobil beberapa ratus meter dari Foffano’s. Yeon Hyo melemparkan pandangannya ke arah jalan raya. Sesekali mengecek apakah Dongwoo mendengarkan instruksi dengan baik, karena eksekusi kali ini sangat berbahaya. Pria itu harus melakukan sedikit pengorbanan ekstra, dan ini semua hanya bergantung pada keberuntungan.
Mengapa klien tak meminta gadis ini ditembak mati saja? Sepintas hal tersebut terbersit di benak Yeon Hyo.
Mati karena ditembak, meskipun meninggalkan kecurigaan pada polisi, tetap saja akan jauh lebih mudah. Risikonya tidak terlalu besar. Yeon Hyo bisa menyuruh Dongwoo untuk menculiknya, menembak mati gadis tersebut, lalu membuang mayatnya. Terasa sangat mudah.
Namun klien satu ini malah meminta gadis ini mati dalam sebuah kecelakaan. Ayahnya juga menyetujui pengeksekusian seperti ini, dan tak ada gunanya Yeon melanggar apa yang telah disetujui oleh ayahnya. Perkataan tua bangka itu seolah seperti peraturan tak tertulis dalam organisasi.
“Queen—” Woohyun, yang menyentuh bahu Yeon Hyo dengan lembut, menghentikan kalimatnya ketika mendapati mata Yeon Hyo terlihat sayu dan lingkaran hitam tercetak jelas di bawah matanya. “Kau tidak tidur lagi semalam,” lanjutnya. Woohyun mengeluarkan sebuah sapu tangan dari kantongnya, dan mengelap bawah mata Yeon Hyo. “Ada maskara menempel,” ujarnya pelan.
Yeon Hyo hanya terdiam, menatap wajah Woohyun dari jarak sedekat ini cukup membuat jantungnya sedikit berdebar. Ia gadis biasa bukan, yang pasti akan terpesona jika seorang pria begitu memperhatikan dan memedulikannya. “Terima kasih.”
Woohyun tersenyum, lalu menepuk kepala gadis itu sebentar. “Kau harus tenang. Dongwoo pasti bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dia berpengalaman, terlatih dan cekatan. Instruksi yang diberikan juga sudah cukup jelas. Ia hanya perlu membuat mobil yang membawa gadis itu terlihat melakukan kesalahan. Kita juga sudah menempatkan beberapa orang untuk menjadi saksi mata yang nantinya memberatkan mobil itu. Tak usah khawatir Yeon.”
Semoga saja begitu. Semoga saja semuanya berjalan sesuai dengan rencana mereka. Yeon Hyo tak paham dengan kondisinya saat ini. Jantungnya berdebar tak karuan, berkali-kali pula ia merasa gelisah tanpa alasan yang jelas. Seolah ada bayang-bayang hitam yang tengah menaungi dirinya. Seolah sang malaikat kematian ingin memberitahunya sesuatu.
“Meskipun aku tak terlalu suka dengan Jang Dongwoo, setidaknya aku menghargai kerja kerasnya untuk organisasi. Jadi pastikan pria itu baik-baik saja setelah misi. Dia anak buah favoritmu kan?”
Woohyun mengangguk. “Dia juga temanku, jadi tak mungkin aku membiarkannya jika mengalami kesulitan.”
Yeon Hyo tersenyum. Ia selalu suka dengan cara Woohyun berpikir. Woohyun merupakan pembunuh bayaran tingkat satu dalam organisasi. Apa yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun untuk organisasi adalah alasan terbesar mengapa ayah Yeon Hyo memercayakan putrinya itu kepada Woohyun, untuk dilindungi tentu saja. Karena Yeon Hyo merupakan pewaris utama dan organisasi tentu memiliki banyak musuh, sehingga keselamatan Yeon Hyo sangatlah penting.
Woohyun berhati dingin sebenarnya, terhadap hal-hal tertentu yang memang menjadi bagian tugasnya. Pria itu mudah sekali menerima tugas dari organisasi tanpa perlu repot-repot memikirkan cara pembunuhan target sesuai dengan permintaan klien. Pernah satu kali, ketika salah satu klien meminta targetnya dibunuh dengan sebelas tusukan di seluruh tubuh kemudian dimutilasi, di antara semua pembunuh bayaran kelas satu ataupun kelas dua, hanya Woohyun yang mau melaksanakan tugas tersebut.
Ada banyak pertumpahan darah yang mengotori tangannya. Banyak pula kejahatan tanpa nama yang dilakukan oleh Woohyun. Seolah-olah pria itu bukanlah manusia, seolah-olah tangannya adalah perantara manusia dengan malaikat kematian.
Namun, Yeon Hyo tahu bagaimana sosok Woohyun sebenarnya. Pria itu sama sekali tidak salah. Lingkunganlah yang membentuknya seperti itu, kematian kedua orang tuanya karena musuhlah yang membuat Woohyun menjadi sosok dingin dan jahat. Yeon Hyo tahu, dalam lubuk hati Woohyun, tersimpan seorang pemuda lugu yang mampu mengasihi orang lain dengan baik. Karena pada kenyataannya ia mampu menganggap Dongwoo temannya, bukan sebatas partner kerja yang jika sudah tak berguna lagi bisa dibuang begitu saja.
“Ah, sepertinya gadis itu sudah keluar dari restoran,” ujar Woohyun, saat pria itu menyadari earphone yang dikenakannya bersuara, bersumber dari seseorang yang menjadi mata-mata.
Punggung Yeon menegak, gadis itu memperhatikan sekeliling, menatap beberapa anggota organisasi yang sudah siap di tempat mereka.
“Perintahkan Dongwoo untuk memulai,” kata Yeon Hyo.
Woohyun mengangguk, ia menghubungi Dongwoo dan meminta pria itu berhati-hati. Menjelaskan sekali lagi mobil seperti apa yang harus ditabrak olehnya.
Yeon Hyo menarik napas, rasanya sulit sekali berada dalam situasi yang sebenarnya tidak ia inginkan. Misi seperti ini—misi membunuh orang-orang yang tidak ia ketahui bersalah atau tidak, Yeon Hyo merasa semuanya tidak benar. Seolah fakta bahwa ia adalah keturunan dari pemilik organisasi pembunuh bayaran hanyalah salah satu kesialan yang dia dapatkan.
“Dongwoo sudah keluar dari posisinya,” ujar Woohyun. Yeon Hyo hanya menoleh, mengangguk kaku dan sebetulnya tidak terlalu peduli. Tiba-tiba saja ia memikirkan apa alasan gadis itu harus terbunuh. Gadis yang mungkin saja sama sekali tak bersalah.
Dongwoo melakukan pekerjaannya dengan sangat cepat, dan seperti yang diinginkan Woohyun dan Yeon Hyo, mobil putih yang menjadi target mereka oleng, membanting setir ke kiri lalu terperosok ke sisi jalan, mobil yang Dongwoo kendarai pun begitu. Berputar sekali sebelum akhirnya terguling lalu terbalik , nyaris seperti di film-film.
Adegan terakhir tidak ada dalam rencana, seharusnya mobil Dongwoo tidak sampai terbalik seperti itu. Dongwoo bisa jadi terluka parah sekalipun tubuhnya sudah dilindungi oleh pengaman. Woohyun dan Yeon sama-sama terkejut. Tanpa menunggu perintah, Woohyun dan dua orang anggota organisasi langsung berlari secepat mungkin ke arah mobil Dongwoo.
Rencana awal mereka adalah membiarkan Dongwoo tetap dalam posisinya, dengan meminimalisir luka yang didapat pria itu. Karena mobil sudah disetting sedemikian rupa agar tak terlalu membahayakan Dongwoo. Tapi apa yang terjadi? Mengapa mobil Dongwoo bisa saja terbalik begitu saja? Woohyun dan Yeon Hyo sangat yakin dengan kemampuan menyetir Dongwoo.
“Ada yang salah. Ini di luar rencana,” Yeon Hyo bergumam tanpa sadar. Matanya menatap nyalang mobil Dongwoo dari tempatnya berdiri. Ia bisa melihat Woohyun bergerak cepat dan berusaha mengeluarkan Dongwoo dari dalam mobil. Ada banyak darah di kepalanya, dan Dongwoo sama sekali tak sadarkan diri.
Terjadi kesalahan. Tidak seharusnya seperti itu. Jang Dongwoo… Dongwoo-ssi…
Inikah yang dinamakan kepedulian? Ketika salah satu anggotamu ditemukan sekarat dan nyaris mati, dadamu terasa sesak sampai mengira tak ada oksigen yang  masuk ke sana.
Tubuh Yeon Hyo melemas, ia berusaha mencari pegangan namun tak kunjung menemukannya. Alhasil, gadis itu hanya berdiri terpaku dengan setengah kesadarannya. Lalu, matanya beralih ke mobil putih yang menjadi targetnya. Mobil yang kini mengeluarkan percikan api di sana, dengan asap mengepul di bagian depan.
Ada dua orang di dalam mobil. Namun lagi-lagi Yeon Hyo merasa ada keanehan. Mobil tersebut, meskipun sama jenisnya, tapi ada beberapa hal yang membuatnya terlihat berbeda dengan mobil target.
Yeon Hyo memaksakan diri melangkah, mencoba melihat plat nomor mobil tersebut. Dan benar saja, saat Yeon Hyo menemukan plat nomor yang terpasang di belakang mobil, mata Yeon Hyo membulat lebar. Plat nomor tersebut berbeda dengan plat nomor yang diberitahu oleh sang klien.
Kepala Yeon Hyo seperti baru saja dihujani ribuan ton baja. Dongwoo telah salah menabrak mobil. Dan itu artinya mereka salah membunuh orang.
Orang-orang yang tak bersalah. Dongwoo membunuh mereka. Ah, tidak. Aku yang membunuh mereka. Akulah otak pembunuhan ini.
Yeon Hyo bergerak mundur. Melangkahkan kakinya perlahan menjauhi mobil. Bau bensin sangat menyengat dan ia tak mungkin bergerak maju lalu mencoba menyelamatkan dua orang yang ada di dalam mobil. Mobil itu akan terbakar, lalu menghabisi kedua nyawa orang yang tak bersalah.
“Dongwoo sudah aku evakuasi. Kami akan membawanya ke rumah sakit, Queen,” kata Woohyun, yang muncul dengan tangan bernoda darah. Yeon Hyo yang melihat itu merasa hatinya teriris lebih dalam. “Aku akan menyuruh Sungjong menjemputmu. Menjauhlah sementara dari sini. Sebentar lagi polisi akan datang.”
Woohyun tak bisa menunggu respon Yeon Hyo lebih lama. Pria itu kembali berlari dan masuk ke dalam mobilnya. Meninggalkan Yeon Hyo yang berdiri terpaku, seolah menunggu malaikat kematian tersenyum padanya dan mengucapkan kata terima kasih.
Suara sirine mobil polisi terdengar, semakin dekat dan nyaris memekakkan telinga. Meskipun agak ragu, Yeon Hyo berjalan untuk menjauhi tampat kejadian. Dia tak mungkin membahayakan dirinya saat ini.
Namun, saat ia berusaha menghindar meski tetap menatap mobil putih tersebut, Yeon Hyo berhenti melangkah. Ketika matanya menatap sekelebat sosok pria jangkung yang menggunakan setelah jas hitam formal—tengah berlari seperti orang ketakutan ke arah mobil tersebut.
Pria itu Kim Myungsoo.
Tiba-tiba saja, Yeon Hyo merasa pikirannya kosong. Matanya menatap mobil putih itu dengan ketakutan yang jauh lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya. Telinganya tidak tuli, matanya tidak buta untuk mengetahui nama yang diteriakkan oleh Myungsoo saat ia berlari.
“Shin Jee In! Shin Jee In!”
Yeon Hyo tersenyum samar, seolah mengejek dirinya sendiri yang begitu bodoh menghadapi kenyataan di depan matanya. Dongwoo membunuh Shin Jee In. Gadis cantik yang selalu menanti Myungsoo untuk menjemputnya.
Tidak. Ini tidak benar. Untuk pertama kalinya ia melakukan kesalahan. Untuk pertama kalinya target yang dibunuh meleset.
Kenapa? Jika memang salah, lalu kenapa? Kenapa Jung Yeon Hyo merasa hatinya sakit seperti ini? Merasa… bersalahkah ia?
Yeon Hyo tidak tahu. Sama sekali tak ingin tahu. Dan gadis itu pun akhirnya berlari, tanpa tanggung-tanggung ia mengabaikan segenap sakit yang merayapi hatinya. Tanpa menyadari… Kim Myungsoo menatapnya dengan kemarahan yang amat sangat.
∞∞
Rumah sakit – Pasca kecelakaan
Pria-pria berseragam polisi, para perawat rumah sakit, serta beberapa orang berjas hitam formal dengan wajah kepayahan, berkerumun di depan sebuah ruangan di salah satu rumah sakit di Seoul. Mereka bercakap-cakap, dengan dahi mengerut; sebuah kertas yang dipegang oleh salah seorang dari mereka, dan seolah kertas tersebutlah topik utamanya.
“Hasil pemeriksaan gigi membuktikan bahwa yang terbunuh adalah benar gadis ini. Mayatnya sudah tak bisa dikenali karena sebagian besar tubuh hangus terbakar akibat mobil yang terbakar. Pria yang mengendarai mobil tersebut juga begitu. Dari data yang kudapat, dia adalah supir pribadi Tuan Kim,” ujar salah seorang pria berseragam polisi—Lee Sungyeol, dengan kesedihan terpancar dari matanya. Ia berjalan bersisian dengan salah seorang pria, setelah mereka selesai menginterogasi salah seorang perawat yang mengurus mayatnya.
“Dia pasti akan syok,” kata polisi satunya, bedanya ia tak memakai seragam polisi, mengenakan jas hitam formal dan kacamata terbingkai di wajahnya—Kim Sungkyu.
“Padahal sebentar lagi mereka akan bertunangan. Aku tak menduga akan seperti ini jadinya.”
Keduanya melanjutkan perjalanan dalam keheningan. Menyusuri koridor rumah sakit dan menuju ruang tunggu, tempat seorang pria yang tengah terduduk dengan kepala menunduk, sambil sesekali mengusap kasar wajahnya—frustrasi.
“Jangan menyuruhku untuk memberitahu hal ini. Kau tahu, aku sama sekali tak tahan jika sampai dia mengamuk seperti tadi,” ujar Sungyeol, dengan suara pelan.
Sungkyu menghela napas, lalu mengangguk. Ia menarik sebal kertas yang dibawa Yeol tadi.
“Timjangnim,” panggil Sungkyu, setelah keduanya sudah berada dalam jarak yang cukup dekat dengan pria itu.
Pria itu mendongak, menatap kedua bawahannya itu dengan wajah pias. Tak ada air mata di sana, namun kesedihan serta rasa marah terpancar dengan jelas, bagaikan api yang berkobar di sebuah lautan tenang, tak berombak.
“Hasil pemeriksaan gigi. Sesuai dengan keinginanmu, semuanya berjalan secara rahasia,” kata Sungkyu, menyodorkan kertas hasil pemeriksaan.
Kim Myungsoo mengambilnya dengan tangan gemetar. Melihat hal itu, Sungyeol dan Sungkyu merasa kasihan dengannya. Ini adalah pertama kalinya pimpinan tim investigasi kepolisian itu terlihat sangat menyedihkan. Tangan gemetar pertanda seseorang itu takut, pertanda pula bahwa orang tersebut tidak siap menerima kenyataan.
Mata Myungsoo menatap deretan kata itu dengan wajah datar, tidak berkata apa-apa namun jelas sekali bahwa dia menyimpan beribu pertanyaan di benaknya.
“Hasil ini pasti salah,” gumamnya dingin. Kepalanya menggeleng kuat, lalu ia berdiri dengan gerakan yang sangat cepat. Membuat Yeol yang berdiri paling dekat, harus bergerak mundur untuk menghindari amukan pria itu.
“Shin Jee In tidak mungkin mati,” kata Myungsoo lagi. Ia melemparkan kertas tersebut dengan asal. “Dokter pasti salah memeriksa. Ia baik-baik saja sekarang dan tengah menungguku. Gadis itu bukan Shin Jee In.”
Sungkyu menatap Kim Myungsoo dengan miris. Benar-benar pertama kalinya melihat sosok pria yang selalu terlihat kuat itu kini berpikir tidak masuk akal. Karena biasanya Myungsoo selalu bersikap realistis. Ia yang selalu memberikan ucapan semangat penuh kekuatan untuk para keluarga korban yang terkena musibah semacam ini. Tapi sekarang? Pria itu tak ubahnya seperti anak kecil yang kehilangan pegangannya.
Sungkyu maupun Sungyeol kurang lebih tahu mengenai Shin Jee In. Sesosok gadis cantik yang menguasai hati Kim Myungsoo dengan mudah, bahkan membuat pria itu menyadari bahwa pekerjaan bukanlah hal utama dalam menjalani hidup. Kim Myungsoo yang dingin, dan gadis baik hati seperti Shin Jee In, rasa-rasanya nyaris seperti pasangan dalam buku dongeng.
Sungkyu berpikir mereka adalah refleksi nyata dari pangeran dan putri negeri dongeng. Pasangan yang begitu serasi, membuat banyak pasang mata iri mengenai hubungan keduanya. Tapi kini tak ada lagi keindahan semacam itu, tak ada lagi fakta bahwa cerita dalam buku dongeng bisa terjadi pada dunia nyata.
“Aku akan mencari semua hal yang berkaitan dengan hal ini. Aku akan membuktikan bahwa dokter maupun kalian salah menginvestigasi. Shin Jee In tak mungkin mengingkari janjinya. Dia sudah berjanji Kim Sungkyu, dan gadis itu akan selalu menepatinya,” kata Myungsoo, tajam dan tanpa sadar suaranya bergetar.
Sungkyu dan Sungyeol jadi berpikir, apakah benar pria yang ada di hadapan mereka sekarang ini adalah benar pria yang sama dengan pria yang memimpin mereka selama ini? Kemarahan benar-benar menguasai pikirannya.
“Timjangnim, kumohon Anda harus memercayainya. Kami sudah melakukan investigasi penuh dan dokter juga sudah mengeluarkan hasil pemeriksaan.”
Kim Myungsoo masih saja keras kepala. Dia menatap tajam Yeol, menarik kerah pria itu dengan sekali gerakan cepat. “Aku tidak akan memercayai siapapun. Sebelum aku menemukan fakta dengan tanganku sendiri. Aku harus melihat mayatnya, memastikan bahwa korban benar-benar Shin Jee In atau bukan.”
Setelah mengatakan itu, Myungsoo melepaskan kerah Yeol dengan kasar, membuat pria itu tersentak ke belakang, nyaris jatuh.
Myungsoo berjalan, hendak meninggalkan mereka. Namun baru beberapa langkah, Sungkyu—yang memang memiliki pembawaan lebih tenang, meraih pundak pria itu. Sebagai seorang teman, bukan sebagai seorang bawahan terhadap pimpinannya.
“Kami menemukan sebuah kalung serta gelang. Terbuat dari perak, dengan bandul berbentuk daun maple. Apakah… itu cukup untuk membuktikan bahwa korban adalah gadismu, Myungsoo-ssi?”
Punggung Myungsoo menegak, dadanya naik turun menahan segala kemarahan yang bertambah masuk ke dalam dirinya. Pertahanannya kini runtuh dalam sekejap. Ketidakpercayaannya kini menguap begitu saja. Seolah apa yang dikatakan oleh Sungkyu barusan adalah hal terakhir yang berhasil membuat pria itu harus percaya dengan kenyataan.
Kalung serta gelang. Dua benda yang ia berikan sebagai tanda jadi hubungan mereka di tahun pertama. Satu-satunya benda yang didesain khusus atas permintaan Myungsoo. Myungsoo berpikir bahwa orang lain mungkin saja memiliki kalung yang sama seperti yang pernah Myungsoo berikan pada Jee In, namun perkataan Sungkyu selanjutnya membuat Myungsoo menyerah dan berteriak sejadi-jadinya.
“Maaf Myungsoo-ssi, tapi kami menemukan ukiran namamu pada bandulnya. Jika kau ingin membuktikannya, kau bisa mengeceknya langsung sekarang.”
Tidak perlu. Tidak perlu lagi. Mengeceknya hanya akan membuat Myungsoo semakin kacau. Semakin ingin menolak kenyataan bahwa Tuhan telah mengambil gadis yang begitu ia cintai.
“Shin Jee In. Shin Jee In.”
Dan di saat Myungsoo memanggil nama itu dengan suara serak, tiba-tiba saja, wajah seorang gadis yang berada di kecelakaan itu terngiang kembali di benaknya. Entah mengapa, Myungsoo merasa harus menemui gadis itu nanti. Ia harus bertanya mengapa ia bisa ada di sana. Mengapa gadis itu menatap mobil yang membuat Shin Jee In meninggal dengan senyum sinis?
Myungsoo, harus segera menyelidikinya.

∞∞

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

QUEENSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang