Mikaela berjalan dengan tumpukan kertas ditangannya, ia harus mengkopi semua kertas-kertas itu ditengah jam kerja, tumpukan kertas yang merupakan pekerjaannya dan pekerjaan karyawan lain yang sudah merasa senior dan dengan seenaknya menyuruh-nyuruh Mikaela. Tidak heran, Mikaela sudah tahu beberapa karyawan memandangnya dengan tatapan tidak suka.
Ia menghela napas berkali-kali dalam lift untuk turun ke lobi, di bawah berjejer mesin potokopi pada pojok sebelah kiri dekat pintu masuk. Seharusnya kantor itu meletakkan satu atau dua mesin potokopi di setiap lantai dan tidak mengumpulkannya dalam satu lantai seperti ini, hal itu lebih efisien dan untuk menghemat waktu karyawan agar tidak naik turun ruangan. Nanti Mikaela akan memprotesnya pada Darren. Ya, jika ia berani.
Mikaela tertawa miris dalam hati, untuk menyapa Darren saja ia tidak berani.
Gadis itu memperhatikan sekelilingnya, sambil terus memperbanyak lembar per lembar kertas yang ia bawa. Disana juga banyak karyawan yang sedang mengkopi pekerjaan mereka yang rata-rata adalah wanita.
Mereka tampak sedang tertawa, berbicara pada temannya, begitu juga dengan yang lain, tertawa, bercanda sambil memakan coklat dan beberapa camilan. Mikaela paham sekarang, mereka justru senang pergi ke lantai bawah seperti ini untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan mereka, memanfaatkan waktu untuk bertemu dengan teman lainnya yang mungkin dari divisi yang berbeda. Mikaela akan mencobanya nanti dengan mengajak Tiwi janjian di tempat itu kalau ia sedang penat.
"Yah." Mikaela mengeluh karena salah mengkopi salah satu bagian. Ia terlalu asik melamun.
Ia kembali membuka mesin potokopi itu untuk mengganti kertas dengan kertas baru yang seharusnya ia potokopi.
"Selamat pagi pak."
Refleks, Mikaela menengok sekilas ketika mendengar suara satpam menyapa seseorang yang baru saja masuk. Kemudian menengoknya kembali, kali ini benar-benar menengok.
Mata Mikaela terkunci oleh sosok dua orang yang datang sambil bergandengan tangan. Seorang wanita yang sangat cantik yang Mikaela hanya pernah melihatnya dari jauh yang sedang menggandeng tangan Darren. Wanita itu tunangan Darren. Ternyata dari dekat, ia jauh jauh lebih cantik. Mereka berjalan ke arah lift pribadi yang dikhususkan untuk Darren.
Mikaela memalingkan wajahnya menatap ke depan, disana nampak cerminan dirinya di kaca jendela kantor. Dalam hati Mikaela membandingkan dirinya dengan tunangan Darren, betapa cantik, tinggi dan anggunnya wanita itu. Dengan wajah yang dewasa serta senyum yang sangat ramah kepada karyawan yang menyapanya dan pakaian yang ia pakai juga sangat mahal, Mikaela tahu itu karena dulu ketika ia punya segalanya ia pernah memimpikan untuk bekerja dengan pakaian seperti itu, setelan blazer dengan rok pensil yang mahal dan tas yang diimpikan semua wanita, ya walau sekarang Mikaela juga mempunyai tas mahal hadiah dari Rendy. Ia memandang dirinya sendiri dalam pantulan kaca, dirinya yang tidak ada apa-apanya dibanding dengan tunangan pria itu.
"Mereka sangat serasi ya."
Terdengar seorang wanita mulai bergosip.
"Iya, aku juga sangat iri."
"Yang pria tampan, yang wanita cantik, dokter lagi, dia itu dokter terkenal."
"Ya, aku pernah melihatnya di televisi, ketika ia diundang menjadi narasumber."
"Gosipnya salah satu stasiun televisi akan mengontraknya dan membuatkannya suatu acara."
"Benarkah? Dia akan makin terkenal. Benar-benar membuatku iri, padahal dia lebih cocok menjadi model, cantik dan tinggi."
"Tidak sombong lagi, dia selalu ramah pada karyawan dan selalu tersenyum."
"Perfect, mereka benar-benar sangat serasi. Andai pak Darren masih sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Driving Me Crazy √ [COMPLETED]
RomanceWARNING 21++ This is story about Darren and Mikaela. "Berikan dia padaku dan aku akan memberikan sekretaris terbaikku untukmu," ucap Darren angkuh. "Wow, siapa gadis ini ? kau tertarik padanya?" Leo kembali memperhatikan foto gadis dengan mata hazel...