Prolog

71 9 5
                                    

Jariku asyik mengetik beberapa teks di laptopku. Seolah sudah menjadi asupan setiap hari bagiku untuk menghadap ke layar laptop di saat pukul 05:20. Jam dimana fajar mulai menyambut pagi.

"Rajin boleh, tapi harus ingat waktu juga." Bunda meletakkan semangkuk oatmeal rasa vanilla di samping laptopku.

"Hehe, iya bun. Nanggung nih, pas lagi banyak-banyaknya ide." Konsentrasiku masih penuh menghadap laptop.

Sesekali aku melirik ke arah bunda, lalu kembali menghadap laptopku kembali. Yah, apa boleh buat? Bunda sengaja menungguku sampai aku mengambil mangkuknya.

"Nih, udah aku makan loh." Ujarku guna memuaskan hatinya.

Bunda tersenyum tipis, sejenak, kemudian berlalu. Aku menatapnya hingga ia benar-benar keluar bahkan hingga menutup pintu. Untuk memastikan agar aku bisa segera kembali pada rutinitas. Karena aku tak akan tahu dan tak dapat memastikan, berapa lama imajinasi ini bertahan dalam otakku.
Oke, sudah keluar kah? Ya, kurasa sudah. Pun aku segera meletakkan mangkuknya kembali dan melanjutkan pekerjaan asalku.

"Tuh kan... Belum dimakan ya ternyata," bunda mengejutkanku dan otomatis jari-jariku terpaku.

"Yah, bunda... Ini beneran tinggal sedikit loh padahal, bentar lagi dah selesai." Keluhku tak mau kalah. Bunda menghela napas, sementara aku sibuk berlagak memohon.

"Sepuluh menit bunda cek harus sudah..."

"Siap!" Aku menyela ucapan bunda seraya memposisikan tanganku ke tepi kepala layaknya gerak hormat pada upacara.

Kuakui, bunda adalah sosok paling posesif kalau menyangkut urusan makan. Sejak insiden kematian alm. ayah dua tahun silam, bunda masih tak dapat menerima kenyataan bahwa alasan dibaliknya kematian ayah sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa ayah meninggal hanya karena sakit perut.

Tak terasa sepuluh menit telah berlalu sejak aku mengetik beberapa lanjutan ceritaku. Parahnya, aku lupa akan janjiku pada bunda bahwa aku harus segera menghabiskan oatmealnya. Lantas, aku bergegas mengambil mangkuk dan melahap satu demi satu suapan. Tentu saja dengan tergesa-gesa. Beberapa kali aku tersedak, akan tetapi hal itu dapat kuatasi dengan segelas air putih yang juga dibawakan bunda bersamaan dengan mangkuk oatmealku ini.

Beruntungnya, bunda masuk kamar tepat setelah aku meletakkan mangkuk. Kini habislah sudah oatmealku. Yes, aku aman.

"Kak, tolong beliin kecap ya. Kaya biasanya di supermarket sebelah." Pinta bunda seraya mengambil mangkuk yang telah kosong. " Oh ya, sekalian beliin santan deh." Selembar kertas yang berwarna biru -- lima puluh ribu diserahkan bunda padaku.

"Sekalian jajan ya, bun?"

Bunda mencibir, mengiyakan.

Sesampainya di supermarket, aku kemudian sibuk menelusuri berbagai tak yang tentunya berbeda produk. Aku mulai melihat-lihat beberapa produk kecap dan santan yang berbeda merk. Akan tetapi, aku merasa sangat mual setelah melihat dua petugas kasir bermesraan. Bahkan bibir mereka sempat bersentuhan. Gila mungkin ya itu orang berdua. Please deh, ini tempat umum. Masa ngga bisa di rem dulu sih syahwatnya?!

Setelah memenuhi tujuan kedatanganku kemari, rasanya aku ingin segera meninggalkan tempat ini. Bahkan rasanya akan menghadapi dua orang itu saja sudah tak kuasa. Faktanya, aku paling sensitif terhadap hal-hal tak layak seperti itu. Toh, aku langsung memberikan uangnya pada kasir padahal sang kasir belum menyebutkan nominal total belanjaannya. Aku pergi begitu saja setelah belanjaanku rapi di dalam tas plastik dan siap dibawa. Entahlah, bukannya lebay. Hanya saja sudah sejak kecil aku begitu. Sekali aku merasa jijik terhadap sesuatu, maka aku tak akan mampu menghadapinya, bahkan hanya dengan melihatnya saja aku tak tahan.

Tergesa-gesa lah aku melangkah sampai-sampai aku tidak sengaja menabrak seseorang. Tampak seorang lelaki berpakaian formal layaknya pekerja kantoran sedikit terhempas karenaku. Sama sepertiku. Belanjaanku lantas berjatuhan di lantai hingga keluar dari tas plastik, sementara berkas-berkas milik si lelaki itu juga berserakan ke lantai. Aku segera berlutut guna membereskan barang belanjaanku dan sesekali membantu mengumpulkan beberapa buku dan dokumen si lelaki necis ini.

"Maaf ya mas. Ga sengaja," ujarku lalu bangkit dan meninggalkannya. Namun sepertinya tak ada jawaban darinya sehingga langkahku terhenti, spontan. Lelaki itu membisu sambil tetap merapikan berkas-berkasnya. Kutengok, ia justru bangkit kemudian melangkah dengan tenang menuju supermarket. Sikapnya seakan tak terjadi apa-apa. Aku dicuekin?

Rasa heranku pada lelaki tersebut masih terasa bahkan hingga aku sampai di rumah. Rasa heranku tersebut mengalihkan segalanya, pun aku tak menghiraukan bunda dan hanya langsung menyerahkan tas belanjaannya.

"Kak,"

"Ya bun?" Langkahku terhenti ketika hendak menaiki tanjakan tangga terakhir.

"Ini punya temen kamu?" Bunda menunjukkan benda kecil sedikit memanjang, di sisi belakang benda tersebut ada sesuatu pengait yang biasanya digunakan untuk mengaitkan pada baju. Penasaran, aku kembali turun menghampiri bunda. Kudekatkan pandanganku pada benda tersebut.

Sebuah nama didominasi warna putih. Tertera sebuah nama seorang lelaki. Aku merenung sejenak. Apa mungkin punya si mas-mas tadi ya?

Namanya indah, lumayan. Dan yang terpenting, nama itu sama persis dengan karakter cerita novel karya alm. ayah yang sangat kukagumi.

Samudra Ilham.

RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang