Sreek!
Suara itu. Suara korden kamar yang ditarik bunda, tidak pernah gagal membuyarkan dunia mimpiku. Kemudian berlanjut pada kilauan sinar matahari, rasanya sasaran matahari selalu tepat mengenai mataku. Ok, aku menyerah. Hanya satu yang spontan terpikir olehku, beruntungnya aku sedang datang bulan. Jadi, aku tak perlu khawatir akan keterlambatan sholat.
Semilir udara pagi silih berganti melintas di hidungku. Sejuk nan segar. Hingga akhirnya kurasakan tangan mungil menggelitik kakiku serta menarik selimutku.
"Kak Odii udah pagi..." Senja, adikku, dengan intonasi suara khasnya seperti balita merengek membangunkanku. Nyatanya, kini usianya sudah empat belas tahun alias kelas VIII.
"Iyaa sabar aih."
Samar-samar, kulihat ekspresi bunda menampakkan bahwa dirinya gemas dengan kami berdua. Senyum tipis.
Aku bangkit, melangkah mendekati meja belajar, memeriksa jadwal pelajaran hari ini. Duh, hari ini ada kelas olahraga?! Malesin.
Jadilah muka masamku semakin sempurna.
***
"Iya pak saya sekarang kesana. Sedang dalam perjalanan. Sabar sedikit ya, pak."
Tit.
Pria berkemeja rapi itu menghela napas, sikapnya seakan usai terbebas dari ikatan sebuah tali yang sangat erat. Ia merebahkan badannya di jok mobil taksi, lalu memejamkan matanya sejenak. Sebuah smartphone masih dalam genggamannya.
"Masalah kerjaan ya mas?" Sopir taksi wanita menyapanya. Berusaha menghibur dan melupakan kepenatan si pria.
"Iya mbak. Benar-benar deh."
"Hahaha... Biasa lah mas, mana ada sih kerjaan yang ngga ribet? Namanya juga negara berkembang. Rakyatnya juga masih konvensional sih,"
"Iya sih mbak..." Lagi-lagi pria itu menjawab si sopir seadanya. Sederhana.
"Masnya umur berapa, ngomong-ngomong?"
"Delapan belas."
Seketika si sopir menoleh ke arah pria itu. Ah, bukan. Si sopir itu menengok wajah si remaja belasan tahun itu. Tak percaya akan jawaban singkatnya barusan.
***
Aku turun tangga menuju meja makan. Terlihat kak Fajar, Senja, dan bunda telah siap sarapan. Aku kemudian menarik kursi guna menyesuaikan posisi dudukku. Tidak langsung sarapan, aku masih berkutik pada smartphone-ku karena sibuk membicarakan deadline naskah. Ya, siapa lagi orang paling ribet kalau bukan bosku.
"Kak..."
"Iya bun bentar nih. Pak Rudi,"
Hanya dengan menyebutkan namanya saja bunda sudah paham.
"Lagian kamu tuh dek... Masih SMA udah berani kerja. Dibilangin berkali-kali ngga..."
"Udahlah kaak. Keputusan juga aku yang pilih ngapain kakak yang repot sih" buru-buru aku menyela ucapan kak Fajar. Kulirik kak Fajar menatapku tajam. Namun aku tidak peduli.
"Bun, Odi berangkat dulu ya. Sarapannya di jalan aja."
"Udah sarapan di sini aja..."
Aku menunjukkan layar smartphone-ku yang menampilkan adanya sambungan telepon dari seseorang. Tak lain ialah bosku yang menelpon, alias pak Rudi. Seketika bunda terdiam, membisu.
"Yaudah sana. Beneran dimakan loh ya."
Oke. Kuacungkan jempol pada bunda. Tak lupa aku mencium tangan bunda, juga bersalaman pada kak Fajar dan Senja.
***
"Ini mbak." Remaja belasan tahun itu menyerahkan sejumlah uang sesuai argo yang tertera. Ia meletakkan di jok samping kursi si sopir dan pergi begitu saja tanpa menghiraukan ucapan terimakasih dari sopir. Benar-benar dingin, memang. Wajar saja bila sang sopir wanita tersebut rada kesal dengan sikapnya.
Turun dari taksi, lelaki itu berjalan setengah berlari menuju sebuah kantor. Sembari merapikan kemejanya yang sempat kusut sedari taksi. Ia lalu menengok arlojinya, helaan napasnya seketika lepas begitu saja. Ia pikir dirinya belum terlambat. Namun ia teringat sesuatu yang membuat dirinya cemas kembali. Ada yang kurang darinya. Sesuatu yang baru-baru ini tidak ada pada dirinya.
"Sam!" Sebuah tepukan keras dari tangan seorang yang sama-sama lelakinya mendarat di pundaknya. Spontan ekspresi si lelaki remaja belasan tahun itu meringis, matanya terpejam, kesakitan.
"Bisa gak sih gak usah nabok keras kaya gini?!"
"Yaa... Sorry deh. Gimana nih udah siap, kan?"
"Belum sih."
"Lah?"
"Nametag gue nggak ada."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Real
Romance"Cinta adalah sesuatu yang membuat orang pintar dan orang bodoh menjadi setara." Melodi, gadis SMA yang juga sosok penulis remaja, sangat menikmati kehidupannya sebagai penulis. Bakat menulisnya merupakan hasil turun-temurun dari ayahnya dan leluhu...