Sesampainya di rumah, aku dan Azka terengah-engah duduk berdampingan di atas sofa kecil berwarna ungu di ruang tamu. Hari ini tidak terasa melelahkan sampai ketika napas terhembus di dalam rumah. Aku meyandarkan kepala ke dinding dan memejamkan mata sebentar.
"Thal, tadi siapa?" Azka langsung bertanya setelah menghadap kepadaku.
"Tadi siapa, siapa?" Aku sontak membuka mata dan mengerutkan dahi, bingung.
"Di acara reuni. Teman kamu?"
Seakan paham siapa orang yang dimaksud Azka, aku ingin langsung menjawabnya. Aku tahu dia sudah memendam pertanyaan itu selama perjalanan pulang. Padahal aku tidak ingin mengungkitnya lagi sebagai sebuah cerita kecil dalam rumah tangga kami. Jadi, aku putuskan untuk menjawab seadanya saja jika pertanyaannya semakin jauh.
"Engg, yaa, semuanya temanku, teman SMA."
"Maksudku laki-laki tadi."
"Kenapa? Cemburu? "
"Iyalah. Harusnya emang gitu kan?"
"Dia teman sekelasku," aku tersenyum padanya sebelum melanjutkan, "tiga tahun."
"Yaudah, tiga tahunnya gak usah ditambahin," Azka ragu untuk menambahkan, "sudah selama itu toh kenalnya."
Aku tertawa, "Ya terus kenapa?"
"Gapapa."
"Tapi, aku gak tau nomor teleponnya, atau alamatnya, atau kuliahnya dimana..."
"Ooh..." Dia diam sejenak, "Ya baguslah. Jadi kamu baru ketemu dia hari ini?"
"Iya," aku melihat Azka menatapku mengintimidasi, "Serius."
Azka dengan cepat mendekat untuk mengalungkan tangannya di leherku dan sengaja menggertakkan giginya di atas kepalaku agar dagunya menusuk-tusuk ubun-ubunku. Kemudian dia berhenti.
Aku menolaknya dengan mendongakkan kepalaku padanya, "Ih apaan sih ini maksudnya?" Dan kami pun tertawa, hal itu terasa lucu untuk kami.
***
Aku pun melepas hijabku dan berpikir untuk memasak makan sore. Tapi dalam benakku, dia masih mengganjal. Ada satu hal yang ketika kau melepasnya, ia akan datang dengan sendirinya. Walaupun kau berusaha untuk berlari bersama waktu, namun ia tetap mengejarmu di antara waktu yang kau tanam. Bagian ini, terasa pahit manis ketika kau berusaha untuk membuatnya hilang, seolah-olah kau berada jauh dengannya. Dia yang aku sebut memori.
Memori itu datang kembali, dan ketika ada, aku tak bisa menolak melupakannya. Aku tahu memori itu akan menyakiti Azka dalam beberapa bagian, aku tidak ingin membuatnya begitu. Tapi kisah ini aku ingat kembali, untuk membuatmu bertanya, mengapa kau pun harus memilih satu kunci pada dua salam ketika kau memiliki cerita yang sama.
Dia bernama Xavier Gabriel....., mungkin ia punya marga? Aku tidak begitu mengingatnya. Dia teman sekelasku selama tiga tahun di Sekolah Menengah ke Atas. Sebelumnya, kami memang tidak kenal satu sama lain. Bahkan berpikir untuk berkenalan saja tidak ada. Kami memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Maksudku, ketika seorang wanita masih bimbang antara mengenakan hijab atau tidak, dari bayi aku sudah mengenakannya. Atau ketika seseorang merasa canggung dengan tidak menyentuh lawan jenis saat bersalaman, rasanya peraturan itu sudah tidak asing bagiku. Artinya adalah, aku berasal dari keluarga dengan fondasi Islam yang cukup kental. Dari taman kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Pertama, aku diberi napas Islam setiap harinya. Tapi, bukan berarti aku tidak mengenal bagaimana dunia luar yang sebenarnya. Tapi, saat memutuskan untuk mengambil sekolah negeri setelah SMP , benar-benar terasa berbeda bagiku. SMA untukku adalah, sebagian dunia luar yang hidup dalam satu kelompok. Saat pertama kali menginjak bangku SMA, rasanya aku melihat semua di sini. Perbedaan agama, cara mereka bergaul dengan lawan jenis, semuanya berbeda. Namun, setelah beberapa bulan, aku mulai beradaptasi dengan baik. Prasangka burukku mulai hilang terhadap orang-orang ini. Ternyata, beberapa di antara mereka masih ada yang punya perspektif yang sama denganku. Dengan mereka, aku merasa memiliki teman sungguhan.
Sedangkan Xavier.... aku tidak tahu banyak tentangnya. Yang aku tahu bahwa dia seorang Katolik, karena itu yang dia perkenalkan pertama kali saat di depan kelas. Dia selalu duduk di ujung kelas menggunakan headset dan bermain handphone. Saat melihat dia yang tidak memperhatikan orang lain, aku bahkan lebih tidak peduli lagi kalau dia ada.
Hari pertama belajar, saat itu adalah pelajaran matematika, sistem persamaan linear dua variabel. Aku ingat hari itu, guru matematika, Bu Ratih namanya. DIa memperkenalkan diri, mengabsen kelas hanya dengan nama yang dia pikir enak diucapkan. Setelah itu dia hanya menjelaskan sedikit dan mulai menulis latihan soal. Ketika beliau selesai, aku mulai mengerjakan. Tidak ada yang lebih aku pikirkan selain aku harus mengumpulkan lebih awal dari yang lain. Mungkin ini terdengar ambisius, tapi aku memang begitu. Aku memang terkenal seperti itu dari dulu. Bukan karena aku ingin nilai atau apa, ketika kalian selesai terlebih dulu dibanding orang lain, kalian justru akan merasa lega. Tujuanku bukan untuk menunjukkan bahwa aku lebih mampu, tapi ketika teman akan banyak bertanya kepadaku, aku lebih lega karena aku tidak perlu membantu mereka sambil harus mengerjakan pekerjaanku.
Ternyata aku dan Xavier terlebih dulu mengumpulkan. Ini hari pertama masuk kelas dan semua orang melongo menatap kami.
"Wah, hebat banget kalian berdua, ya. Yang lain baru berapa nomor, kalian udah selesai." Bu Ratih tersenyum sambil mengambil buku tulis kami. Aku tersenyum menanggapinya.
Aku menatap Xavier, dia langsung memalingkan wajahnya dengan ekspresi sinis. "Ini, benar semua, jawabannya, " Bu Ratih menutup buku, untuk melihat label namaku, "Thalia Ayesha. Thalia atau Ayesha dipanggilnya?"
"Thalia, Bu."
"Okee, kamu juga bener semua," dia menutup buku, untuk melihat nama di sampul buku, tidak ada. Dia lalu membuka halaman pertama, dan melihat nama "Xavier" kecil di baris hari/tanggal. "Eks... kse, Eksavier. Lain kali bukunya disampul, pakai label nama, namanya nama lengkap. Kalau minggu depan gak dilakuin, Ibu gak mau nilai."
"Xavier, Bu. Pake "S" dibacanya." Xavier menanggapinya dingin.
Aku tersenyum sangat lebar sambil menatap Bu Ratih. Xavier langsung menarik bukunya dan kembali tempat duduknya.
Aku pun juga berjalan menuju tempat dudukku, namun seseorang memanggilku. "Eh, kamu!"
Aku menunjuk diriku, mengisyaratkan padanya apakah aku yang dia panggil. "Thalia."
"Oh, Thalia. Aku Dhiya." Dhiya tersenyum. "Yang nomor 3 gimana sih, caranya? Gue gak ngerti, apa gue salah ngitung? lo bisa cekin gak?" Aku mengambil bukunya.
Itu maksudku. Makanya kalian harus selesai lebih dulu. {}
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Kunci pada Dua Salam
ChickLitThalia hanya tersenyum mengagumi kisahnya. Kisah ini dimulai dari SMA negeri, ketika dia menyelami dunia baru. Dunia dimana seorang muslimah harus melihat laki-laki dan perempuan saling berteriak satu sama lain, mendorong, memukul saat bercanda, da...