Aku kembali lagi ke sekolah esok paginya. Satu jam sebelum bel masuk berbunyi. Aku hanya seorang diri di kelas. Aku tidak tahu harus berbuat apa pagi itu, jadi aku membaca Al-Quran.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dengan keras, membuatku tersentak kaget. Aku berhenti membaca Al-Quran dan melihat seseorang masuk, ternyata Xavier. Dia melihatku dan berkata, "Kenapa? Lanjutin aja."
Aku kemudian kembali membaca dan menghabiskan beberapa halaman sampai ke juz berikutnya. Namun, merasa tak enak berada di kelas hanya berdua dengan Xavier, aku memutuskan untuk keluar kelas. Aku pun berjalan menelusuri koridor ruang kelas 10, kemudian turun tangga untuk dapat melihat lapangan dan duduk di pinggirnya. Aku memerhatikan satu per satu siswa yang lainnya berjalan melewati lapangan untuk mencapai kelasnya. Terkadang mereka bertemu satu sama lain, menepuknya dan berjalan bersama. Mengobrol, tertawa. Aku dapat mendengarkan kerasnya tawa mereka sampai sini. Aku pun menyadari bahwa aku merindukan temanku yang dulu. Membuatku tersenyum memerhatikan mereka.
"Eh!" Seru Dhiya menghampiriku. Ia menaruh tangannya di pundakku dan kemudian duduk di sampingku. "Xavier di kelas btw. Makanya lo ke sini ya?"
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Aku dan Dhiya pun menceritakan kisah satu sama lain. Dimana kami bersekolah saat kecil, tentang orang tua kami. Kami sadar kami memiliki banyak kesamaan.
"Gue juga dari kecil udah disekolahin di sekolah islam. Dari gue playgroup malah."
"Iya, sama, aku juga dari kecil. Sempet kaget, gak sih, pas ke sini yang kayak, 'ini sekolah apa?'"
"Iya dong, Thal, sama banget. Gue gak biasa sekelas sama cowok gitu. Terakhir sekelas sama cowok pas gue SD." Dhiya tertawa.
"Ih, parah sih, sama banget." Aku menyetujuinya.
"Lu, mau ikut rohis, gak? Ikut yuk. Gue udah punya banyak plan gitu SMA." Kata Dhiya.
"Iya, rencananya sih gitu. Mau ikut OSIS juga." Jawabku.
"Lu tuh anak yang pinter-pinter gitu gak sih, lu jago banget MTK-nya, gak ngerti lagi gue." Dhiya membuat aku tertawa.
"Gaklah. Gak sejago itu. Lagian aku bukan anak MTK banget."
"Gila gue merasa kasar banget ngomong 'gue-lu' sama lu."
Aku kembali tertawa. "Sumpah, Dhi, random banget sih, biasa aja kali."
Tanpa terasa, kami mengobrol sampai bel masuk kelas berbunyi. Kami buru-buru menaiki tangga dan berlari ke kelas. Di kelas, semua teman-temanku hampir semua mengisi bangku yang tadinya kosong. Aku pun duduk di bangkuku. Dhiya tiba-tiba di sampingku, meminta bertukar dengan teman di sebelahku.
"Ah, baru pingin pindah ke sana, Dhi." Kataku menanggapi Dhiya sambil menunjuk bangku kosong di samping tempat duduk Dhiya sebelumnya.
"Pelajaran pertama apa?" Tanya Dhiya.
"Biologi." Jawabku.
Tak lama kemudian guru biologi pun masuk mengucapkan salam dan dengan cepat mengambil tempat duduknya di depan kelas. Kami langsung duduk dengan tegak, namun kami bingung siapa yang harus menyiapkan siswa, karena kami belum mengadakan pemilihan ketua kelas.
"Ayo, ketua kelasnya siapkan." Kata guru biologi.
Kami saling melihat satu sama lain.
"Bersiap!" Seru seseorang dari belakang. Kami semua mencari sumber suara, Xavier.
"Berdoa, mulai!" Kami semua langsung menundukkan kepala dalam sunyi. Setelah beberapa saat, "Berdoa, selesai. Ucapkan salam!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Kunci pada Dua Salam
Chick-LitThalia hanya tersenyum mengagumi kisahnya. Kisah ini dimulai dari SMA negeri, ketika dia menyelami dunia baru. Dunia dimana seorang muslimah harus melihat laki-laki dan perempuan saling berteriak satu sama lain, mendorong, memukul saat bercanda, da...