2

12 1 0
                                    

         Bel pulang pun berbunyi, 30 menit sebelum azan ashar berkumandang. Aku punya waktu untuk sampai rumah terlebih dahulu, jadi aku segera merapikan tas langsung keluar kelas.

        "Eh, Thal, tunggu, tunggu!" Seseorang berteriak di belakangku.

        "Kenapa?" Aku menoleh untuk melihat Dhiya mengejarku.

        "Lu naik angkot? Gue bareng dong, gak punya temen."

        Aku hanya tersenyum dan mengiyakan, "Iya, naik angkot."

        Dhiya mengenakan jilbab, sama denganku. Aku tahu, dia dari sekolah Islam juga. Saat orientasi sekolah, aku melihatnya memakai seragam SMP-nya.

        "Naik angkot ke arah kanan atau kiri?"

        Kami berjalan keluar dari sekolah, "ke kiri."

        "Wah, sama dong." Wajah Dhiya langsung berbinar.

        "Ooh, oke." Kataku datar.

        Kami pun menunggu angkot bersama. Tak lama kemudian, angkot pun datang. Semua murid langsung menyerbu angkot itu. Kami juga terburu-buru menaikinya supaya tidak didahului orang lain.

       Dhiya masuk terlebih dahulu. Aku menyusul setelahnya. Setelah masuk, tersisa satu ruang kosong untukku duduk. Tempat itu, ada di dekat kaca belakang angkot. Dengan menunduk, aku pun duduk di tempat tersebut tanpa melihat orang di sebelahku yang sudah ada sebelumnya. Aku menaruh tas ransel di pangkuanku dan melihat lengan di atasnya. Dhiya berada tepat di seberangku. Jadi kami bisa mengobrol sambil bertatap muka.

       Angkot kami pun dikendarai dengan kencang hingga kami hanya dapat melihat sekolah dari kejauhan. Aku melihat angkot lain berdatangan menuju sekolahku.

      "Lo Xavier kan?" Dengan suara agak keras Dhiya mengarahkan pandangannya pada orang di sebelahku. Aku meliriknya dan kembali memalingkan muka.

     "Thal, saingan lo tu." Dhiya tertawa kecil.

      Dari sudut mataku, aku dapat melihatnya menatap keluar kaca besar itu dan, "Kiri!" dia berseru kepada sang supir angkot untuk berhenti.

     Angkot yang kami naiki pun berhenti. Xavier bangun dari tempat duduknya dan membetulkan kacamata hitamnya. Ia menunduk untuk berjalan. Setelah ia melewati kami, aku bergeser menuju tempat dia duduk. Dhiya menatapku sambil mengucapkan sesuatu tidak bersuara, "oh di sini rumahnya?" Katanya sambil menunjuk Xavier yang berusaha keluar dari angkot. Aku hanya mengedikkan bahu.

     Aku dan Dhiya memperhatikannya dari kaca bagian belakang angkot sampai angkot kami berjalan kembali. Kami pun melihat Xavier memberhentikan angkot yang sama dan kembali naik. Aku dan Dhiya sama-sama melotot melihat hal tersebut.

      "Wah, anjir, dia naik angkot lagi!" Seru Dhiya berkomentar.

      Aku yang tak habis pikir memiringkan daguku ke kiri dan berkomentar di dalam hati, 'sumpah, lebay banget itu orang.' 

      Aku mengembalikan pandanganku ke dalam angkot. Aku melihat Dhiya mengangkat alisnya. "Gila, itu temen sekelas kita, Thal? Kenapa sih? Gue gak mau sekelompok sama dia,  beneran!"

      "Sama." Aku meyakinkan diriku untuk berpendapat yang sama dengan Dhiya.

                                                                                      ***

     "Thal, rumah gue hampir nyampe. Kapan-kapan main yuk!" Kata Dhiya sambil tersenyum lebar.

      "Oh perumahannya Emerald Residence itu ya?"

      "Nah, iya. Gampang kok, lu tinggal masuk perumahan, lurus belok kiri, Jalan Rubi II, nah cat pink itu rumah gue."

      Dhiya tampak waswas untuk memberhentikan angkot sambil mengobrol denganku. Jadi pandangannya melihat ke samping kanan, agar rumahnya tidak terlewat.

      "Iya, Insyaa Allah." Jawabku menanggapinya.

      "Nah, sampe! Thalia, duluan, ya! Hati-hati di jalan." Kata Dhiya sambil melambaikan tangan.

      "Iya, dadah!" Aku juga melambaikan tangan.

                                                                                              ***

        Aku pun tiba di rumah. Ibuku sedang menonton televisi memakai daster tidur. Aku menyalaminya dan buru-buru ke kamar mandi di lantai atas untuk berwudhu. Setelah berwudhu, aku pun salat asar. Setelah salat, aku membersihkan diri. Setelah itu merebahkan diri di atas kasur. Aku menatap langit-langit dan memikirkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya di kelas keesokan harinya. Aku sadar bahwa dua tahun ke depan, inilah rutinitasku sehari-hari. 


Satu Kunci pada Dua SalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang