Kegelapan terukir dimata sang gadis, menuntunnya menuruni jalan gelap di tengah pusat keramaian. Entah hati ,entah otak sang pemberi perintah, keduanya sudah tidak menjadi miliknya lagi. Kenangan, perasaan , suasana, ikut turun bersamanya memasuki udara bebas. Hanya saja, di ujung jalan, tidak ada lagi lentera yang menerangkan.
****
Syarifa mengakui kalau berjalan-jalan ke mall pada akhir pekan sesekali dapat sedikit menghibur perasaannya meskipun bagi Syarifa ini bukanlah hal yang benar. Sahabatnya tersayang, Oktavelia, meminta Syarifa untuk menemaninya berjalan-jalan ke mall untuk sekedar memanfaatkan waktu karena baru kali ini mereka bisa libur dan diperbolehkan pergi keluar. Sekolah mereka merupakan sekolah asrama berbasis islam yang mewajibkan murid-murid berada di lingkungan sekolah sepanjang waktu. Bagi Syarifa ini adalah hal yang menyenangkan, tapi bagi Okta yang baru merasakan pendidikan islam saat di SMA , menurutnya, perihal sekolah asrama ini sangat menyebalkan, karena sangat menekan mereka disetiap aktivitasnya. Setiap kali mengingat hal itu, Syarifa juga menjadi heran sendiri karena pada akhirnya mereka bisa akrab dan menjadi sahabat di tahun kedua masa SMA.
Sebenarnya Mall ini tidak terlalu besar, walaupun pada kenyataannya ini adalah salah satu mall terbesar di kota kecil mereka. Ada Mall yang lebih besar lagi di kota terdekat, dan perbandingannya sangat jauh. Dan mall ini juga tidak sepadan untuk dijadikan destinasi merayakan kebebasan untuk ukuran Okta. Tapi Syarifa mengerti, Okta sangat ingin menemui seseorang disini. Seseorang yang sangat penting bagi dirinya. Seseorang yang sebenarnya mustahil untuk bisa ditemui.
" ngga papa," kata Okta," seenggaknya gue bisa ngeliat dia, gue udah kangen banget nih, Rif."
Dan akhirnya mereka berakhir disini, berkeliling-keliling menyusuri setiap sudut Mall. Seorang gadis dengan Khimar dan gamis, dengan sahabatnya seorang gadis dengan kerudung instant, kaos, dan jins. Syarifa tahu betapa aneh keliatannya mereka berdua.
Sesekali Okta memperhatikan sekitar dan berkomentar,"lihat dua cowok disitu deh," Okta menunjuk," cakep banget ya ?"
Rifa melihat kedua cowok yang ditunjuk Okta sekilas, sepertinya kedua cowo itu menyadari kalau sedang diperhatikan. Rifa mengangguk dan mengajak Okta berjalan menjauh.
" ih, aku mau kenalan sama mereka." Kata Okta sambil bersemu.
Rifa menggeleng," kamu gila, ngapain kenalan sama mereka."
" emangnya kenapa ??"
" katanya kamu nge-fans sama imam solat kita di asrama."
" oh iyayyah !" Okta nyengir.
Kemudian mereka mendatangi sebuah acara bazar yang baru saja dibuka yang diadakan di hall lantai dasar.
" aku bakal ngeliat dia disini. Ahh.. kangen banget." Kata Okta dengan mendamba, mereka duduk di barisan paling depan untuk melihat pidato pembukaan oleh wali kota.
Rifa bangun dari kursi," aku mau beli minum, kamu tunggu disini."
" oke."
Rifa meninggalkan Okta di barisan kursi dan berjalan kearah bazar makanan.
Beberapa lantai di atas, seorang gadis bermata sipit dengan rambut dicat kekuningan sedang bertengger ke pagar yang membatasi, beberapa temannya memanggil tapi tidak digubrisnya.
" Asya ! Asya !" panggil mereka," ayo turun."
" ahh.. lo turun aja duluan, gue mau disini dulu." jawab gadis itu malas, masih sambil melendot pada pagar dan melihat ke bawah.
Saat teman-temannya turun, mata sipitnya mulai berair. Dilantai itu hanya ada beberapa orang yang baru keluar dari bioskop, dan bersikap tidak peduli manakala si gadis mulai menangis. Tidak sesenggukan, tapi air mata terus membanjir keluar. Kulit wajahnya yang putih perlahan berubah menjadi merah dan matanya mulai sembab. Dia terduduk sambil memandang kebawah, tampak benar-benar frustasi.
Tapi kemudian sesuatu menginterupsi luapan emosinya.
Seorang gadis, tidak , lebih mirip wanita dewasa yang memiliki wajah imut berjalan keluar dari persimpangan gelap pertokoan tutup yang berada disebrang tempat Asya terduduk, tanpa mengenakan alas kaki. Wajahnya tertutup poni yang panjang dan ia mengenakan terusan katun berwarna putih hingga betisnya. Rambutnya berwarna hitam lepek.
Sejenak Asya berpikir kalau itu adalah hantu. Tapi kaki hantu itu menapak pada lantai putih Mall.
Asya melihat sekitar dan menyadari kalau hanya dia dan wanita itu yang berada di lantai ini. Orang-orang yang mengantri masuk biskop sudah berada didalam dan jalan keluarpun sepi dari orang-orang. Kini hanya tinggal asya , dan wanita misterius itu muncul dari sudut pertokoan yang gelap.
Asya hanya memperhatikannya dari tempat ia berada. Wanita itu menyeret langkah kakinya yang pucat. Menuju pagar pembatas di seberang Asya. Wanita itu sepertinya tinggi karena pagar pembatas hanya mencapai pinggangnya, namun, semakin lama ada yang tidak beres, wanita itu tetap berjalan tanpa melihat arah kemana ia pergi. Dan pagar itu sudah ada di depannya.
Kini Asya berdiri dengan kedua tangan terkepal, menduga apa yang akan wanita itu lakukan. Kesedihannya beberapa menit yang lalu sudah hilang, berganti dengan rasa penasaran yang amat sangat. Wanita itu berhenti dipinggir pagar dan mendongak, menampakkan parasnya yang cantik jika saja warna matanya tidak hitam keseluruhan dan kulitnya luar biasa pucat. wanita itu menatap Asya selama satu detik dan tersenyum, kemudian membungkukkan tubuhnya mencondong keluar pagar.
Asya langsung berlari begitu sadar apa yang akan dilakukan si wanita.
Dia ingin melompat.
" jangan !!!" teriak Asya yang sudah setengah jalan mengitari lantai. Tapi beberapa saat kemudian, ketika ia tiba dimana wanita itu barusan berada, si wanita sudah terjun bebas ke bawah. Dan menghantam lantai porselen dimana walikota sedang berpidato , tepat didepannya.
Darah yang berasal dari kepalanya membuat gaun putihnya berubah menjadi merah.
Menyadari dirinya sudah terlambat, Asya kembali terduduk dipinggir pagar dengan Shock. Suara-suara yang terdengar setelahnya benar-benar terasa seperti mimpi. Ia memeluk dirinya sendiri seperti mengigil.
Hantu tidak akan berdarah.
a l;m+N09
YOU ARE READING
MISTY ROAD
Mystery / ThrillerOrang-orang di Kasadean tidak menyadari bahaya apa yang ada di bawah tanah mereka sampai rentetan tragedi mengerikan terjadi secara bersamaan di salah satu pusat perbelanjaan di kota kecil mereka yang harmonis. lima orang anak muda memutuskan untuk...