PROLOGUE

7.2K 236 102
                                    

Saat itu awan hitam menyelimuti keadaan di sekitar pemakaman. Ramai orang menghadiri pemakaman untuk mendoakan sang mendiang yang sudah beristirahat dengan tenang. Mereka menatap pilu gundukan tanah merah yang basah dengan nisan yang tertulis nama seseorang disana. Nama laki-laki yang baru menginjak usia delapan belas tahun. Nahasnya di usianya yang masih muda ia malah lebih dulu meninggalkan dunia.

Sang adik tak henti-hentinya menangis karena kepergian kakak laki-lakinya. Kakak satu-satunya yang sangat perhatian padanya, seseorang yang menurutnya lebih berarti daripada orang tuanya. Ia anggap kakaknya adalah segalanya. Karena hanya kakaknya lah yang selalu ada untuknya ketika orang tuanya sibuk dengan kegiatannya sendiri.

Ketika acara pemakaman selesai, satu persatu dari mereka pergi meninggalkan pemakaman. Alih-alih pulang, gadis berwajah pucat dengan mata yang sembab itu tetap memeluk nisan yang baru dipasangkan di atas tanah merah itu. Ia masih terisak. Masih tidak menerima bahwa sang kakak sudah tiada. Ia tak menghiraukan ucapan orang-orang yang mengajaknya pulang. Ia masih memeluk gundukan tanah merah yang basah, bahkan air matanya ikut membasahi gundukan tanah itu. Ia terus berujar sambil tak henti-hentinya memanggil nama kakaknya.

"Bang Arka... Kenapa tinggalin Ara sendirian? Siapa yang bakal temenin Ara sekarang?"

"Bang ayo pulang bareng Ara. Atau ajak Ara pergi bareng abang."

"Abang... Hiks... Hiks..."

Gadis itu terlihat paling menyedihkan diantara orang-orang yang datang. Ia sangat sedih karena papanya juga. Bagaimana bisa seorang ayah tidak datang di hari pemakaman anaknya, justru papanya tidak bisa pulang secara mendadak ke Jakarta hanya karena alasan bisnis. Padahal gadis itu tau betul apa yang sedang papanya lakukan.

Di sisi lain, seorang perempuan yang juga tak berhenti menangis ikut memeluk anaknya. Merasakan sakitnya ditinggalkan anak yang selama ini kurang ia perhatikan, membuat hatinya begitu tersayat. Mungkin hidupnya mulai sekarang akan terus dihantui oleh penyesalan.

Perempuan yang dulu dipanggil Arka dengan sebutan 'mama' itu sudah tidak kuat lagi melihat makam anaknya sendiri. Ia sangat hancur ketika mengingat kesalahan yang dia lakukan dan mengingat bahwa dirinya sudah tidak bisa mendengar kata 'mama' yang terucap dari mulut putra sulungnya lagi. Perempuan itu bangkit dan meninggalkan anak gadisnya yang masih menangis disana.

"Bang, Ara mau ikut. Ayo bawa Ara juga."

"Abang jahat. Katanya gak mau ninggalin Ara, tapi Abang sekarang malah pergi sendiri."

"Izinin Ara ikut abang ya. Biar abang juga gak sendiri disana. Jadi diantara kita gak ada yang ngerasa kesepian."

Selain menyisakan gadis itu dan mamanya di pemakaman tadi, ada seorang laki-laki yang masih berdiri di belakang gadis yang terisak pilu itu. Karena awan gelap sudah berkumpul seakan sebentar lagi langit juga akan ikut menangis, sedangkan gadis itu sudah terlalu lama memeluk makam kakaknya tetapi dengan keras kepalanya gadis itu masih tetap pada pendiriannya. Akhirnya seorang laki-laki sepantaran itu menghampiri gadis yang masih meraung memanggil nama kakaknya. Laki-laki itu mencoba mengangkat dan membujuknya pulang.

"Ra, ayo pulang. Sebentar lagi hujan. Besok kita kesini lagi." Bujuknya dengan nada suara yang sangat lembut.

"Gue gak mau tinggalin Bang Arka sendirian. Gue mau temenin dia, gue juga mau ke tempat yang sama kaya Bang Arka."

"Gue yakin abang lo juga gak suka liat lo kaya gini."

"Kalau lo mau pulang, pulang aja. Gue gak mau sendirian, kalau gak ada Bang Arka, siapa yang nemenin gue?"

"Kiandra Aurora Williams! Lo gak bisa gini terus, sampai kapan lo mau disini? Lo gak perlu takut sendirian, karena gue bakalan terus ada disamping lo. Gue bakalan temenin lo." Suara laki-laki itu sedikit meninggi.

Setelah berusaha keras membujuk gadis itu, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa gadis itu untuk pulang. Setelah memastikan gadis itu sudah masuk ke rumahnya, ia juga ikut pulang ke rumahnya dan membersihkan diri.

Gadis itu masuk ke dalam rumahnya, tetapi baru selangkah melewati pintu ia sudah mendengar suara yang tak seharusnya didengar saat keadaan sedang berduka seperti ini. Gadis itu menatap tajam kedua orang tuanya yang tengah bertengkar, lalu ia menutup pintu dengan kencang sehingga perhatian kedua orang tuanya tertuju kepadanya. Ia hanya melewati orang tuanya begitu saja, lalu pergi ke kamarnya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan orang tuanya yang masih sempat bertengkar disaat makam kakaknya pun belum kering.

Sekarang gadis itu harus mencoba bertahan di dunia yang kejam sendirian.

Secret Choices《Revisi》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang