Tak ada yang spesial dari malam ini. Selain aroma tanah basah yang terkena hujan dan secangkir coklat hangat yang ku seduh dengan air panas delapan puluh derajat. Yang kunikmati sendirian, sembari terus mencoba untuk menuangkan setiap gagasan yang terlintas. Namun aku masih tak tau harus menulis apa. Lubuk hatiku sudah penuh sesak oleh rindu yang tak berkesudahan. Dibuntukan oleh harapan yang kian semu. Ah, semakin membeku.
Kembali ku ambil ponselku yang ku biarkan tergeletak begitu saja diatas ranjang. Untuk sekedar mengecek barangkali ada sebuah pesan yang masuk. Namun hasilnya nihil. Notifku masih saja kosong, yang kuterima hanyalah pesan dari operator. Ah, padahal aku berharap itu pesan dari dia.
Jariku mengarah pada chatroom miliknya. Aku meng-scroll bar, dan kembali membaca rentetan pesan itu satu per satu. Ya, kenangan satu bulan lalu. Saat kita masih bertegur sapa walau dengan perantara media. Saat semua masih dirasa baik – baik saja. Tidak seperti saat ini, semua seolah terasa hambar, kaku, dan membisu. Andai saja percakapan malam itu tak berlanjut. Mungkin tak akan jadi seperti ini ujungnya. Tapi... ah, sudahlah. Tidak baik mengungkit sesuatu yang telah terjadi. Nasi telah menjadi bubur. Tak ada seorang pun yang berhak menolak takdir.
Perselisihan malam itu terjadi karena aku larut dalam rasa cemburu. Cemburu kepada apapun dan siapapun itu. Kepada hal yang membuat waktunya banyak tersita. Sehingga Ia tak sempat untuk membalas pesan singkatku. Mengundang kekhawatiran juga rindu yang menjelma menjadi rasa cemburu. Kepada seseorang yang mampu menikmati senyumnya setiap saat. Kepada seseorang yang banyak menghabiskan waktu bersamanya. Katakan pada mereka, bahwa aku mencemburuinya.
“Hilya, maaf ya. Kemarin aku sibuk mengurusi program kerja organisasi sekolah. Sampai – sampai tidak sempat memberi kabar.” Begitulah kiranya pesan singkat terakhir yang aku terima. Permohonan maaf darinya. Untukku yang masih terbakar oleh bara api cemburu. Mungkin saja logika bisa memahaminya. Namun yang namanya hati selalu memiliki versinya sendiri. Dia berusaha meyakinkan aku bahwa dia sibuk. “Aku tidak pernah melarangmu untuk jalan dengan siapapun. Tapi mohon, jangan buatku khawatir. Khawatir hanya membuatku berfikiran negatif.” Aku tidak berkata banyak, hanya saja aku ingin dia mengerti apa yang sebetulnya aku harapkan. Obrolan kami berakhir sampai disitu, dan konsep menciptakan jarak menjadi jawaban deskripsi akhirnya. Ah, padahal sejujurnya aku sangat benci dengan konsep itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jarak
Teen FictionKarena do'a adalah alternatif terbaik ketika cinta direbut oleh jarak.