Klarifikasi

49 4 0
                                    

Sore menjelang maghrib, Bandung kala itu sedang gerimis. Mengundang sajak artemis, yang berkeliaran di kening seorang gadis, tidak terlalu ingin untuk dikenang, terlalu manis.

Senja itu, hatiku nyaris tak berbentuk. Setumpuk problema hidup kerap kali menghantuiku. Fatih yang membuatku terluka, Syahnaz yang membuatku tak lagi percaya, Tasya yang memperkeruh suasana, dan boneka stitch biru itu yang tak kunjung diketahui pengirimnya. Aku tak tau harus berbuat apa dan bagaimana. Tak mungkin aku menceritakan persoalan ini kepada bunda, tak ada asap jika tak ada api, begitu pribahasanya.

Aku yang pada saat itu masih mengenakan seragam dengan kerudung yang setengah terbuka, masih berleyeh-leyeh di atas ranjang tidurku. Ibu jariku terlalu lihai untuk melihat setiap kiriman yang muncul di linimasa. Hingga tertarik untuk mengklik tombol pencarian, mengetik nama seseorang disana, Fatih Zafran Al-Faza. Lalu munculah foto seseorang bermata empat memakai kemeja berwarna biru langit dengan celana selutut sebagai profilnya. Memperhatikan setiap feeds yang tertera disana, tak ada kiriman baru, story nya pun bersih. Kemana dia (?) menghilang tanpa jejak, seperti pluto saja.

Seseorang mengetuk pintu kamarku, siapa sih mengganggu saja. Setelah ku buka ternyata orang dibalik pintu itu adalah Syahnaz. Segera ku tutup kembali pintu kamarku rapat-rapat.

"Hilya, tungguin dulu Hil. Izinin gua masuk, gua mau ngomong sama lu dan gua bakal jelasin semuanya, please." Dia terus menerus mengetuk pintu kamarku, mungkin setengah ingin mendobrak. Tiba-tiba aku kesal pada Bunda. Mengapa Ia membiarkan Syahnaz masuk ke kamarku tanpa memberi tahuku lebih dulu? Ah, bunda. Selalu saja begitu.

"Mau ngejelasin apalagi Naz? Semuanya udah jelas. Gak ada yang perlu dijelasin lagi. Gua udah bener-bener faham sama semua omongan lu. Penuh bualan."

Sebetulnya Hilya tak ingin melakukan semua ini, hatinya berat. Namun kekesalan yang berkecamuk di dadanya membuat Ia tak bisa mengalahkan egonya. Dia diam mematung, dengan hati yang gemetar, air matanya pun jatuh.

"Hilya gua tau lu marah sama gua, tapi tolong sekali iniii aja, mau kan lu dengerin gua ngomong? Kalo perlu, ini jadi kesempatan terakhir yang lu kasih sama gua. Gua janji."

Akhirnya Ia membukakan pintu itu untuk Syahnaz. Namun masih saja enggan untuk menatap wajah sahabatnya itu. Tatapannya kosong, melihat ke arah luar jendela yang terbasahi oleh air hujan. Pipinya ikut basah, hatinya menghujan.

"Maafin gua ya Hil, mungkin waktu itu lu tersinggung sama omongan gua. Tapi gua bener-bener gak niat buat bikin lu sakit hati. Gua kira dengan gua ngomong kayak gitu gak akan bikin lu jadi marah sampe kayak gini ke gua. Gua bener bener ngerasa bersalah banget Hil, maafin gua." Ujarnya kaku.

"Iya udah gua maafin Naz."

"Jadi lu udah gak marah sama gua kan? Tolong liat gua dulu Hil, izinin gua ngomong serius sama lu. Ini menyangkut hubungan lu sama Fatih. Ada yang perlu gua sampein sama lu."

Dia menggenggam tanganku. Aku kembali membalas genggamannya. Kami terduduk ditepian ranjang. Saling menatap satu sama lain. Penuh rahasia dan kegamangan.

"Jelasin semuanya ke gua Naz, jangan ada yang ditutup-tutupin sedikitpun, sekarang gua udah siap denger semuanya, lu tinggal jujur sama gua. Ternyata emang gua yang salah Naz, terlalu terobsesi sama Fatih sampe lupa diri kalu kita itu cuma sebatas temen. Sakit hati deh gua." Jurus fakesmile nya keluar.

"Jadi gini Hil... kemaren lusa dia ngechat gua di line. Dia bilang kayaknya lu marah ya sama dia? Soalnya lu gamau lagi bales whatsapp dari dia."

"Iyalah jelas gua marah, siapa yang gak sakit hati udah lama ngilang bilangnya ada kegiatan di sekolah tau tau posting lagi jalan sama cewek. Kayaknya dia keliru, soal hati gua bukan lagi bocah Naz."

"Nah, salahnya tuh disini. Tanpa lu tanya dan klarifikasi sama dia, tiba-tiba aja lu sibuk sama pemikiran lu sendiri. Nyesatin tau gak. Dia juga bilang sama gua 'apa mungkin lu marah ke dia gara-gara postingan itu?' nah gua jawab aja, lah iya kali. Terus gua bilang sama dia, 'lagian ngapain sih lu berani-beraninya posting foto gituan?' dan dia bilang kalo itu tuh adik sepupunya, tapi ya mereka cuma beda setaun apa dua taunan gitu lah."

Mendengar penjelasan dari Syahnaz, Hilya merasa malu bukan kepalang. Wajahnya yang bersih berubah menjadi rona merah muda. Nampak jelas sekali, tak dapat disembunyikan lagi.

"Lah lu kenapa baru ngomong sekarang? Gua kan jatohnya jadi suudzon sama dia."

"Lah kok jadi gua yang disalahin? Orang sebelum gua ngomong juga lu udah marah duluan kan sama gua? Jadi udah nih ya gak ada kata musuhan lagi. Semua masalahnya udah kelar sekarang. Lu gak usah lagi tuh yang namanya kabur-kaburan dari gua sama Atha. Drama banget."

"Hehe... Iya maafin gua Naz, gua jadi gak enak sama Fatih Naz."

"Iya iya udah gua maafin juga. Soal Fatih lu gak usah khawatir, dia pasti ngertiin lu kok, lu tinggal bersikap biasa aja kalo misalkan entaran dia ngechat lu lagi, lu minta maaf deh sama dia."
"Iya gua usahain Naz."

"Tapi Hil, soal Tasya lu jangan terlalu terbuka sama dia ya, lu tau kan kenapa orang-orang ngejauhin dia. Ya jelas karena sikapnya. Masa iya sih dia juga nuduh gua mau ngerebut Fatih dari lu kan parah?! Gak mau lah gua ikut-ikutan jadi anak jaman tentang kisruhnya kasus spoiler gitu-gitu kan, biar apa? Nyari famous? Masih banyak jalan lain Hil, lagian gua juga gak terlalu niat tuh buat dikenal banyak orang."

"Iya Naz maaf, waktu itu gua cuma ngerasa terprovokasi aja tanpa gua mikir panjang kedepannya bakal kayak gimana. Harusnya gua mikir ya secara dia tuh orangnya kepo banget dan biasanya gua cepet ngerasa risih sama orang yang kayak gitu. Eh tiba-tiba ngeklop aja."

"Iya gapapa Hil, lu bisa ambil banyak hikmah dari kejadian ini."

"Makasih ya Naz, maafin gua udah salah menilai orang."

"Iya bawa santai aja udah gua maafin."

Suasana yang begitu hangat. Mengalahkan dinginnya Bandung pada sore itu. Menandingi indahnya bias pelangi yang muncul samar-samar diantara mereka. Tak ada yang lebih indah daripada sebuah persahabatan berlandaskan kekeluargaan, saling melindungi dan menasehati satu sama lain. Saling memperbaiki untuk mengharapkan yang terbaik bagi yang satu dengan yang lainnya. Benar kata sayyidina Ali, kehadiran sahabat sejati itu layaknya api. Sedikitnya menghangatkan, dan banyaknya membinasakan. Namun kita juga masih harus tetap waspada dengan tidak mudah percaya terhadap seseorang. Karena sejatinya, semakin erat pelukan seorang teman, semakin dalam pisau yang tertancap di punggungmu. Seperti dalam bahasa sunda yang dikenal dengan istilah "Ngaleng bari neke." Dalam artian teman yang seperti apa? :)

"Cie cieee boneka stitch baru... kesayangan nya nambah, yakin nih gak akan cerita?"

"Hampir aja lupa, sebenarnya boneka itu masih misteri sih Naz. Mau bantu aku gak?

"Bantu apaan?"

"Jadi detektif sementara hehe."

"Siapppp. Asal kamu gak ngambekan lagi."

"Cie aku."

"Cie kamu."

"Hahahaha. Udah ah yuk, maghrib dulu."

"Okey."

Selamat berpetualang di part berikutnya 😊

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang