"Memanglah mereka, mainnya nggak tanggung-tanggung. Pakai lempar telur dan tepung segala," ngomel Rie sambil melap rambut basahnya yang sudah dicuci bersih. Tak lama kemudian dia tersenyum sendiri mengingat ulah teman-temannya. (Dasar!)
Rie berjalan ke arah balkon kamar menatap langit malam yang cerah penuh kerlap kelip bintang dan terdiam sejenak, raut wajahnya mulai berubah sedih, "Hah..jadi teringat lagi sama dia, nggak terasa tiga tahun telah berlalu." Rie menghela nafas. "Gue harus melupakannya. Karna gue nggak mungkin bisa bertemu dengannya, jika bertemu lagi juga pasti sama saja, tidak bisa bicara dengannya," lanjutnya.
Rie melemparkan pandangannya jauh ke atas langit, tiba-tiba hembusan angin semakin lama semakin dingin dan kencang membawa sekumpulan-sekumpulan awan hujan datang.
Sejenak langit yang semula berwarna hitam pekat dengan kerlipan bintang berubah menjadi mendung. Awan hujan mulai merambat menutupi langit hitam.
Kini langit menjadi coklat kemerahan, angin kencang menghembus ke arah Rie, tepat di wajahnya. Sekilas Rie melihat bintang berwarna biru terang melesat jatuh melewati pandangannya.
"Eih?!" Rie tersentak sesaat.
(Bintang jatuh? Apa gue salah lihat yah, masa langit mendung bisa ada bintang jatuh?)
Rie menggelengkan kepalanya, matanya kemudian tertuju pada cowok yang sedang duduk dengan memeluk kedua lututnya di bawah pohon pinus yang tumbuh di luar pagar rumah Rie.
Rie menjinjitkan kedua kakinya agar dapat melihat jelas wajah cowok itu dari samping atas. Dia pun tersentak saat melihat cowok itu sedang menangis, wajahnya yang cool itu terlihat sangat terluka dan kesepian.
(Sepertinya gue pernah melihatnya, tapi di mana ya?) Rie berusaha mengingatnya dengan jelas.
Karena merasa penasaran dengannya, Rie bergegas turun ke bawah dan membuka pintu pagar rumah lalu menghampirinya. "Hei, napa loe duduk sendirian di sini? Depan rumah gue lagi." kalimat to the point langsung meluncur keluar dari mulut Rie tanpa ada basa basi.
Cowok itu sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Rie, dia hanya diam seribu bahasa. Dia terus menatap ke bawah, seolah-olah tidak ada orang yang berdiri di depannya ataupun berbicara dengannya.
"Cepatlah pulang ke rumah. Sudah malam dan bentar lagi hujan lebat. Orangtua loe pasti sangat khawatir." lanjut Rie.
Namun, sia-sia saja Rie berbicara dengannya. Dia sama sekali tidak membalas Rie, hanya menatap Rie 1 detik kemudian menatap ke bawah lagi. (Ya ampun, ni anak kenapa, emang enak dicuekin? ) Mikir Rie dalam hati.
Rie juga tidak memaksanya untuk menjawab karena dia tahu cowok itu sedang sedih dan ingin sendirian. Rie hanya diam mematung menatapnya, cowok itu sama sekali tidak memperdulikan Rie yang sedaritadi berdiri di depannya.
Rie berpikir untuk membiarkannya sendirian, tapi tidak tega juga melihat langit sudah mendung dan bisa saja tiba-tiba hujan. (Kalau hujan lebat, dia bakal basah kehujanan.) Pikir Rie dan dia memutuskan tetap berdiri dan tidak beranjak dari situ.
Gluduk.. Gluduk.. (gemuruh guntur mulai terdengar)
DUAR!!!!
Petir mulai menyambar disusul dengan hujan lebat. Rie segera lari masuk rumah, langkahnya terhenti begitu sampai di depan pagar. Dia menoleh ke belakang menatap cowok itu dan berteriak, "Tunggu di situ. Gue bawakan loe payung. Jangan pergi dulu!" Rie bergegas lari masuk rumah mengambil payung putih transparan dan handuk baby blue.
Saat Rie kembali, cowok itu sudah tidak lagi duduk di situ. Dalam hati Rie , (bodoh sekali cowok itu, kenapa dia keras kepala sekali tidak mau mendengarkan kata-kataku.)
Hatinya pun menjadi gelisah dan khawatir. Rie terheran-heran dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri,(Ngapain mengkhawatirkannya? Gue ga kenal sama cowok itu, harusnya gue ngak perlu mengkhawatirkannya.)
Isi pikiran Rie memerintahkannya untuk tidak peduli, namun tangannya berkata lain. Dia pun menaruh payung dan handuk yang kering di tempat cowok itu duduk tadi.
Rie menoleh ke arah ujung jalan di sebelah kiri dan kanan. Jalanan di komplek rumah sangat sepi, semua tetangga sudah beristirahat di rumah masing-masing. Hanya hujan yang memenuhi jalanan.
(Ah.. sudahlah. Gue taruh di sini saja, siapa tahu dia ada lewat lagi.)
Tanpa Rie sadari, cowok itu memperhatikannya dari balik pohon pinus rumah tetangga. Angin lembut menghembus poni measy sealisnya yang hampir menyentuh mata single eyelid-nya.
Dia terus menatap Rie sampai Rie menutup pintu rumah. Kakinya mulai melangkah pelan ke tempat tadi, tangan putihnya mengambil payung dan handuk yang Rie tinggalkan. Dia menatap ke arah balkon kamar Rie, bibir merahnya tersenyum lembut kemudian berjalan pulang.
Rie kembali berdiri di balkon, berharap payung dan handuk yang dia tinggalkan sudah tidak ada.
(Sudah gue duga, cowok itu bakal kembali mengambil payung dan handuk yang gue tinggalkan.) Rie tersenyum puas, merasa lega dan tenang karena cowok itu tidak kehujanan.
Sembari menguncir rambut panjangnya, dia berjalan masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya yang berwarna pink kebiruan. Dipeluknya boneka Cars biru dengan rasa penasaran yang masih menggerogoti hatinya, (Kira-kira cowok itu sudah sampai rumah belum ya. Ah..peduli amat. Mending gue tidur, ngantuk banget.) Hujan semakin lebat dan angin yg bertiup melewati balkon kamar membuat Rie semakin mengantuk dan terlelap.
Tanpa Rie sadari, bintang jatuh yang dia liat tadi mempertemukannya dengan cowok yang duduk diam di depan rumahnya. Hari-hari yang mendebarkan pun segera dimulai.
YOU ARE READING
Naughty You
Fiksi Remaja5 tahun sudah berlalu, Rie masih memiliki perasaan dengannya. Padahal mereka belum pernah ngobrol satu sama lain. Di saat Rie tengah memutuskan untuk melupakannya, sebuah bintang jatuh berwarna biru melesat tepat di depan matanya. Tanpa ia sadari, b...