16. The Chance-Cuplis

4.8K 705 203
                                    

"Niel, ambilin cemilan dong."

"Cemilan?" Aku mengangguk. Seingatku tadi ada beberapa kudapan dari Mbak Dita, staf admin kantor kami yang senantiasa membagikan cemilan apapun yang tersedia di kantor ke ruangan divisi kami. Nggak tau kenapa tapi kayaknya Mbak Dita memang terbias sama ruangan divisiku yang penuh sama bujangan-bujangan rakus dan selalu semringah kalo ada makanan gratis.

Daniel masih fokus mengetik sesuatu di kubikelnya, padahal padahal piring cemilan tadi ada di mejanya. "Niel!"

"Cemilan? Cepuluh?"

Rasanya aku ingin menyambit dia pakai keyboard kalau kelakuannya udah mulai sok imut begini.

"Eh, bocah, siniin itu piring jajan ya Allah ... lo embat sendirian!" Abil yang mendengarku menggerutu karena tingkah Daniel, langsung turun tangan. Jam segini memang jam-jam di mana kami sudah mulai gatal pengin merecoki satu sama lain karena mendekati jam pulang. "Mbak Dita nggak mau buka warung aja apa ya di sini?"

"Iya, Bang." Sahut Daniel sepakat setelah piring berisi kue lapis legit di mejanya berhasil diamankan Abil. "Gue bakal jadi pelanggan setia. Kalah deh kesetiaan gue sama Alafyu."

"Dih. Nggak nafsu makan gue." keluhku.

"Petrus* Niel, petrus." Tukas Abil pada Daniel. Lalu seakan teringat sesuatu dia langsung merundukkan badannya dan bisik-bisik konspirasi padaku. "Bocah lo udah girang gini emang proyek dia udah kelar semua? Nggak ada yang bikin dia lembur?"

Aku mengendikkan bahu. Akhir-akhir ini aku nggak bisa benar-benar fokus memikirkan pekerjaan. Pesan-pesan dari Ibu tentang kondisi Ayah— yang meskipun memang membaik, kadang membuatku sedikit kepikiran. Tapi kayaknya Daniel dan bocah kami yang lain udah nggak segitu begitu stres. Mungkin memang akhirnya mereka sudah sanggup beradaptasi.

"Hubungan lo sama Daniel tuh kok nggak ada benefit-nya sih? Yang jelas dong, Shan. Kalo friend ya friend aja. Kalo mau ditambahin benefit, ya jangan nanggung-nanggung ngeruknya." Lanjut Abil lagi masih sambil mengunyah potongan lapis legitnya yang kedua. "Lo udah nyuruh dia lemburin kerjaan kita?"

"Heh, kalo mau benefit gituan mah lo cari mahasiswa semester akhir sana! Pasti bakal langsung sukarela tuh." Sergahku kesal. Apa sih Abil ini tiba-tiba membahas hubunganku dan Daniel.

"Eh, bokap lo gimana?" tanyanya lagi mengalihkan topik karena Abil kayaknya merasa aku udah kesal. "Kata Iman kemarin pas jengukin, lusa udah boleh balik."

Hampir seminggu berlalu semenjak Ayah dirawat di RS dan aku belum ke sana lagi. Iman dan Kev yang lebih sering menjenguk. Adam juga dua kali ke sana lagi menurut kabar dari Ibu. Entahlah, aku masih nggak merasa nyaman begitu saja berkomunikasi lagi dengan Ayah. Lagipula kabar dari mereka sudah cukup buatku untuk sekedar tahu kondisi Ayah.

"Ya sama. Itu kabar terakhir yang gue tau." Jawabku pada Abil.

"Gue belum jengukin, Shan."

"Nggak usah. Udah sembuh juga."

"Yeee, lo tuh ya, di antara semua temen-temen lo yang jengukin tuh, cuma gue yang motifnya murni."

"Maksudnya?"

"Iman. Iman ngapain coba rajin banget jenguk bokap lo tiap jam makan siang? Karena bakal banyak kemungkinan dia ketemu Kev yang sering bawain nyokap lo makanan." Jelas Abil penuh spekulasi. "Terus si Adam. Elaah, tu laki. Belum move on aja dari lu, Shan."

"Ilmu sotoy lo makin ke sini makin absah aja ya, Bil. Gue yakin lo punya gelar PhD di ilmu kesotoyan."

"Makanya lo yang peka dong." sahutnya malah bangga. Emang nggak ada gunanya menyindir Abil kalau dia sudah memulai kelas spekulasi ngawurnya ini. "Adam tuh kemarin kenapa coba putus sama lo? Bosen, Shan. Nggak ada saingan. Terus sekarang begitu lo punya buntut macem si Bocah, dia langsung ke-trigger. Kebetulan tuh Adam juga dapet dukungan moral dari nyokap lo. Jadi keenakan dia spice things up."

Shandya's Sententia [SUDAH TERBIT!!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang