PROLOG

514 97 47
                                    

"Perpisahan, semanis apapun, seindah apapun, tetaplah perpisahan. Ada cerita yang sejak detik itu harus berubah menjadi kenangan"
_

_______________

Februari , 2006.

Langit hari ini tampak mendung, sedangkan mentari malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Di pekarangan rumah yang hijau, ada dua anak terpaut selisih satu tahun sedang bermain dengan asyik tanpa memperdulikan orang tua mereka yang saling bantu untuk persiapan perpindahan rumah.

"Aga, sini main boneka sama aku." ajak anak perempuan dengan melambaikan tangan ke temannya.

"Yah masa main boneka itukan mainan cewek, asikan juga main mobil-mobilan."

"Ah Aga, kamu ga selu." balas anak itu cemberut yang menambah kesan lucu di wajahnya. Mereka tampak serasi bagaikan pasangan yang saling melengkapi.

"Iya deh iya aku ngalah adik manja," cubitnya di pipi perempuan yang dia sayangi itu. "Mana sini boneka bagian aku?"

Pipi anak perempuan itu bersemu, entah karena blushing atau karena cubitan lelaki di hadapannya, tapi mereka belum cukup mengerti untuk hal itu.

"Aga, kok aku deg-degan ya?" tanya anak perempuan itu dengan polos.

Rintik hujan mulai turun membasahi bumi, dan matahari tak nampak lagi. Orang tua dari anak perempuan itu sudah rapih, siap dengan keberangkatannya.

"Anak Mama sini," panggil orang tuanya sembari melambaikan tangan. "Mainnya udah dulu ya, mau jalan-jalan ga?" bohongnya, jika tidak anaknya mana mau di ajak pindah rumah.

Anak itu mengangguk antusias. "Mau ma!!"

"Yuk berangkat." ajak seorang wanita yang merupakan Mama dari anak tersebut untuk masuk ke dalam mobil.

Raga menggenggam tangan kanan bundanya, melihat dengan matanya sendiri. Dan bertanya perihal, mengapa gadisnya itu pergi? Apakah dia akan kembali lagi?

"Selamat tinggal, Acha." ucap anak lelaki itu dengan berat hati.

Tanpa sepatah kata ucapan selamat tinggal, hujan mulai deras, matahari tenggelam dan ia benar-benar kehilangan sinarnya.

*****

RefrainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang