S A T U

250 17 3
                                    

Teruntuk dia yang selalu ku sayang,

Semoga kamu selalu bahagia :)

----------------------------------------------------------

Pagi Senin seperti biasanya, aku datang 2 menit lebih cepat sebelum bel sekolah berdentang. Setelah memarkir motor dan melepas helm dari kepala, aku melangkah menuju kelas yang berada di lantai dua.

Baru saja menaiki anak tangga yang ke-8, bel sekolah berdentang tiga kali, tandanya bel masuk. Tentunya Senin selalu diadakan upacara.

Yang artinya dia akan cabut lagi.

Langkah kakiku percepat dan segera menuju kelas. Setelah sampai di kelas aku melihat dia yang ku maksud.

"Eh, ndut. Sini" dia sadar dengan kehadiranku lalu segera memanggilku dengan panik.

Aku melengah, meletakkan tas di atas kursi lalu berjalan ke arah dia yang berdiri di pojok belakang kelas.

"Pliiis selamatin absen gue pagi ini. Gue harus--"

"Rian, ini udah kelima kalinya lu berniat cabut"

Rian Anggara, nama pria yang tadi meminta absennya diselamatkan itu lalu memasang muka memelas. Dia mengangkat kedua tangannya, lalu menyatukannya tepat di depan wajahku. Menunjukkan gestur memohon.

"Demi Allah, Ainun. Ini terakhir kalinya gue kek gini. Pliiiis"

Aku mengerang, lagi-lagi dia memohon di saat-saat genting seperti ini.

Akhirnya aku mengangguk, "terakhir kalinya" peringatku sebelum keluar dari kelas. Aku bisa mendengar teriakannya yang begitu senang berkali-kali.

--

Aku, Ainun Salsabila yang saat ini bersekolah di SMA Garuda Senja sedang melaksanakan upacara bendera. Sayang sekali Rian tidak ingin ikut, padahal hari ini sedang teduh. Bahkan aku dan teman sekelas lainnya tidak berkeringat sedikitpun.

"...kembali bapak sampaikan. Kalau tindakan-tindakan tidak bagus seperti cabut, merokok, ngebut-ngebutan di jalan harus dihentikan. Jangan membuat-- ada apa ini, Pak?"

Suara Pak Kasman dari mic berhenti. Dia terlihat bingung dicampur kesal karena satpam sekolah mengganggu ceramah paginya.

Aku menjinjit untuk melihat siapa orang yang ditarik-tarik Satpam sekolah kami.

Rian Anggara.

Tentu saja. Seharusnya aku tidak kaget saat melihat dia yang sudah berpakaian acak-acakan dan baju yang ditarik habis-habisan oleh Satpam berdiri di depan semua murid yang kira-kira jumlahnya hampir 800 orang ini.

"Saya ketemu anak ini lagi ngerokok di belakang sekolah. Taunya si Rian" suara Satpam menggelengar memenuhi lapangan yang hening.

Rian cuma cengengesan sambil memandang Pak Kasman yang menjabat sebagai Kepala Sekolah kami.

"Sendirian?" Tanya Pak Kasman yang berhasil meredam amarahnya.

Satpam mengangguk, dia melepaskan pegangannya dari kerah baju Rian lalu berlalu pergi.

"Bu Rini. Bisa tolong bawa anak ini ke ruang BP nanti? Sekarang biarkan dia berdiri di depan semua teman-temannya"

Aku menunduk. Merasakan amarah yang sangat besar mulai menumpuk. Kenapa dia harus selalu kena masalah?

--

Selesai upacara aku mengikuti langkah Bu rini yang sesekali mendorong badan Rian yang lebih tinggi daripadanya.

"Saya bisa jalan, Bu. Ngga usah didorong"

"Ngga usah ngelawan. Bukannya saya udah bilang jangan bikin masalah lagi?" Suara Bu Rini jelas mengatakan dia marah.

Rian kembali cengengesan. Dia berhenti ketika sadar sudah datang di depan ruang BP. Setelah menghembuskan nafas kesal, Rian masuk ke dalam ruangan itu diikuti Bu Rini di belakangnya.

Aku berhenti beberapa meter dari ruang BP itu. Aku bisa mendengar Bu Rini yang menceramahi Rian dan suara Rian yang membalas perkataan Bu Rini.

Dengan lemah aku meninggalkan ruangan itu. Aku berjalan menuju kelas sambil memikirkan apa yang akan terjadi kepadanya.

--

"AIIINUUUUN"

Semua orang mengedarkan pandangan menuju pintu kelas, termasuk aku.

Dan di depan kelas berdiri Rian yang dengan bangga memperlihatkan sebuah surat dengan stempel sekolah.

"Tebak ini apaaa" ujarnya kepadaku.

Aku merebut surat itu, lalu menatapnya marah.

"Benar sekaliii. Surat cinta dari Pak Kasman buat ibuku yang cantik"

Aku membuang surat itu ke mukanya, "kenapa lo ceroboh sih?"

Rian mengambil kursi lalu duduk di depanku, "sebenernya ngga bakalan ketahuan, cuma gara-gara si Kamir kampret. Pake jalan-jalan ke sana pula. Padahal biasanya dia ogah kesana"

"Ke belakang sekolah?"

"Ho oh. Biasanya juga jagain di pagar. Siapa tahu ada yang loncat. Eh, sekarang udah tau arah belakang"

Rian membersihkan debu yang ada di celananya. Aku memperhatikan kerah bajunya yang kotor karena tarikan satpam, Pak Kamir.

Setelah membersihkan, Rian kembali tersenyum kepadaku, "udah makan belum?"

Aku menggeleng. Dia lalu mengeluarkan satu bungkusan entah dari mana.

"Nih, nasi goreng. Laper, 'kan? Nanti siang makan es krim, ya. Gue traktir"

Aku menerima bungkusan itu, "kenapa? Tumben lo baik"

"Gue tau lo khawatir. Gue tau lo ngikutin gue ke ruangan Bu Rini tadi. Itung aja sebagai permintaan maaf gue"

Dia tersenyum lalu berdiri dari kursi yang dia duduki tadi.

"Makasih, Rian"

/tbc

Halo, RianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang