Part 3

4.8K 203 1
                                    

Sudah kuduga begitu Dion selesai memperkenalkan diri di depan kelas, beberapa siswi centil langsung mendekatinya.

Sudah kuduga begitu Dion selesai memperkenalkan diri di depan kelas, beberapa siswi centil langsung mendekatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Huh untung saja Dion duduk di sampingku. Jadi aku bisa melindunginya dengan baik. Eh ? Haduh, aku merasa seperti baby sitter untuk Dion. Tak apalah toh dia juga tak terlalu risih dengan keadaan ini mungkin sudah biasa.

Bel istirahat makan siang berbunyi aku mengajak Dion untuk memakan bekal kami di taman belakang sekolah. Sampai di sana seperti biasa padang rumput ini telah ramai oleh para siswa yang tengah menghabiskan makan siang mereka.

Ada pula yang bernyanyi mengunakan gitar atau sekedar mengobrol santai.

"Sejuk sekali ya disini."

Aku mengangguk setuju. Kenapa di Jakarta bisa dingin ? Heh, kuberi tahu ya di setiap pokok taman ini ada penyegar udaranya. Semacam AC begitu.

Aku segera menggelar tikar bamboo yang disediakan dan membuka bekal kami.

Dion tersenyum dan ikut membantuku. Kami makan dengan diam.

Sesekali dia menatapku dan tersenyum. Gini ya. Mana ada perempuan yang tidak narsis di perlakukan seperti itu ? Tapi aku segera mengingat Dion melakukan ini hanya karena menghargai ku saja. Tidak lebih.

"Rachel !"

"Ven.."

Hah ? Venno kok ada disini sih ? Setahuku dia masih harus di London sampai minggu depan. Setelah hampir satu tahun di London Venno memutuskan untuk balik ke Indonesia dengan alasan yang ngga jelas.

Karena hampir seluruh keluarga Venno berada di Inggris tentunya. He is half British - Indonesian.

"I miss you so much honey." Ucapnya sambil memeluk tubuhku sangat erat.

Tak lupa mencium pipi kiri kananku dengan sangat lembut. Dengan gerakan cepat di berbaring dan meletakkan kepalanya di pahaku. Seperti biasa.

"Masih jetlag ?"

"Ngga kok, aku sampai di Indonesia 2 hari yang lalu jadi ada waktu buat istirahat."

Aku hanya mengangguk paham dan menoleh pada Dion yang menatap kami berdua heran.

"Dion ini Venno temanku. Ven ini Dion."

"Dion" Dion memperkenalkan dirinya namun Venno hanya diam acuh dan mempermainkan jari - jariku.

Venno selalu bilang bahwa aku memiliki jari yang sangat indah dan cantik. Well, Venno memang bukan tipikal cowok manly seperti Dion dia agak sedikit...

Mungkin karena memiliki 2 kakak perempuan. Dan dia satu - satunya anak laki - laki di rumah.

Dion tampak kesal dan membaringkan tubuhnya santai. Dua laki - laki dihadapanku ini tampak sangat tampan dan tenang. Tak menghiraukan keributan yang ada di sekitarnya.

Aku mendengar dengkuran halus Dion. Jangan bilang kalau semalam dia tak tidur nyenyak. Ya aku juga tidak dapat memastikan sih.

Tapi rumahku masih sangat asing baginya bukan ? Mungkin dia masih harus beradaptasi beberapa hari lagi. Venno membuka matanya tersenyum padaku.

"Jadi laki - laki bernama Dion adalah penggantinya ?"

"Ti-tidak, kau belum melihat berita ya ?"

"Berita apa ?"

"Nanti kujelaskan."

Aku tak ingin menyinggung masa lalu ku saat ini. Venno bangkit dari posisinya dan melengos pergi setelah mencium pipi kananku.

Sedikit prihatin dengan tingkah Venno. Dia adalah laki - laki yang tampan, cerdas dan kaya. Hanya pembawaannya yang sedikit tak sesuai membuat banyak perempuan menyerah. Ah Venno aku harap kamu segera menyadari hal itu.

"Dion, bangun sebentar lagi bel kita harus ke kelas."

"Hhm ? Iya, maaf tadi aku tertidur."

Aku hanya mengangguk tersenyum dan mulai merapikan bekal kami dan menggulung tikar bamboo dan mengembalikan ke tempatnya.

Dion berjalan di sampingku dengan kedua tangan di masukan dalam saku celana membuatnya sangat tampan. Aku yakin pipi ku sudah memerah.

"Kau sakit ?"

Holy shit ! Telapak tangan Dion menyentuh keningku. Seketika tempo detak jantungku bertambah cepat.

Aku segera menghembuskan nafas setelah beberapa saat menahannya. Wajah kami hanya berjarak 5 cm saat ini. Oh Tuhan !

"Wajah kamu memerah."

"Aku ngga papa, udah ayo masuk."

"Beneran ngga papa ?"

"Iya, Dion." Aku tersenyum,

Dia mengangguk dan membawakan kotak bekal di tanganku. Tangan kirinya merangkul tubuhku erat. Ya ampun, apalagi ini. Dion kamu ngga memberiku kesempatan untuk bernafas ya ?

....

Sudah 2 minggu Dion tinggal di rumahku. Kami sangat akrab sekarang, tak jarang ayah mengajak kami untuk makan bersama di luar.

Dion juga selalu menemaniku belanja kebutuhan dapur. Dia laki - laki yang ramah dan penyabar. Walau sering menghina masakanku.

Tapi dia akan menghabiskan segala yang kumasak dengan lahap bahkan meminta tambah.

Ayah sengaja tak mengekspos Dion pada wartawan. Dion belum siap, kata ayah. Mungkin tahun depan. Kemarin aku sedikit mengintip pembicaraan ayah bersama Dion tentang perusahaan.

Segala saham dan kepemilikan akan property dan lain - lain telah diwariskan secara sah kepada Dion. Untuk saat ini perusahaan akan diketuai oleh ayah. Dion hanya mengangguk dan berterimakasih kepada ayah.

Aku tahu ayah telah menganggap Dion sebagai anaknya. Bahkan saat Dion bayi ayah sering menggendongnya. Ibu yang bercerita kepadaku.

Ting !

'Rachel, sparring dengan SMA Pelita Negara akan dilakukan dua hari lagi di sekolah kita. Kau harus datang,'

Venno mengirimiku pesan berisi ancaman. Ya ampun aku bahkan tertawa membayangkan ekspresi ketakutan anak itu saat menulis pesan ini.

Tahun lalu aku menolak hadir dalam sparring dengan SMA Nusa Sila Karena alasan pribadi. Venno dimarahi habis - habisan oleh guru pembimbing kita karena membiarkanku absen yang tak lain adalah prime minister / leader oppostition / pembiacara pertama dalam tim.

"Ada apa ?"

"Ngga papa, kamu udah lapar belum Dion ?"

"Belum, kamu mau masak sekarang ?"

"Ngga, sebenarnya aku pengin coba pasta di Café dekat Blok M itu lo."

"Oh yang dibicarakan anak - anak di kelas ?"

"Iya, kesana yuk." Ucapku dengan penuh kebahagiaan.

Ini sih Cuma trik biar Dion mau. Habis dia ngga terlalu suka keramaian. Ayah juga selalu mengajak Dion makan di restaurant yang privat. Ah anak ini introvert sekali ternyata.

"Kamu mau meninggalkan Om di rumah sendirian ?"

"Ngga, kita kan bisa ajak ayah. Gimana ?" Ucapku lagi masih dengan nada manja dan memelas juga sih.

"Terserah."

Ye ! Aku mencubit pipi Dion dengan gemas dan segera masuk kamar untuk bersiap. Kalau mau pergi ke Café tempatnya anak keren Jakarta aku juga harus tampil keren dong.

Apalagi jalannya sama Dion ntar aku dikira gembelnya lagi. Ya ampun pikiranku kejam sekali ya ?

[DONE] The HeirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang