Dua

16 1 0
                                    


Aku duduk di pinggir danau dengan memangku laptop sambil menatap layar laptop yang masih kubiarkan kosong pada Microsoft Word. Kuarahkan mataku berpindah pada pemandangan danau di sore hari. Dan semenit kutatap lagi layar laptop dan sejenak berharap ada sebuah ide untuk memulai tulisan. Belum ada juga sebuah ide hebat dalam otakku ini, tetapi yang terpikirkan adalah Zein.

Ponselku yang juga belum ada pesan dari dia sampai sore ini, membuatku sedikit khawatir akan keadaan dia di sana. Apakah dia baik-baik saja? Apa yang dia lakukan di sana? Apakah dia pergi? Apa dia sibuk? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul di kepalaku ketika dia belum juga mengirimi aku pesan. Aku cek kembali whatsapp, dia masih saja belum online. Aku cek skype dia, dia juga tidak online. Kemana sebenarnya dia pergi?

Pergi meninggalkan danau adalah pilihan yang paling tepat bagiku saat ini. Tempat yang terlalu ramai yang sebenarnya tidak aku sukai. Angin sepoi-sepoi yang membuat rambutku terbang kesana-kemari. Juga dinginnya angin ini menembus ke tulangku menandakan yang sebentar lagi hari akan gelap. Aku bergegas menutup laptopku dan pergi meninggalkan danau setelahnya. Menenteng tas laptopku dan berjalan cepat sesuai gaya khasku.

Aku membuka pintu asrama dan mengira di dalam orang ada orang karena pintu dibiarkan tidak terkunci. Tetapi ketika aku menginjakkan kakiku ke dalam setelah menutup pintu dan melepas sepatu, tidak ada siapun di dalam kamar ini. Aku berjalan menuju kamar mandi. "Halo, ada orang di dalam ngga?" tanyaku sambil mengetuk pintu kamar mandi. Namun tidak ada jawaban dari balik pintu kamar mandi yang tertutup ini. Bahkan tidak ada suara apapun. Hening. "Mungkin ke kamar sebelah kali," pikirku.

Terdengar suara kaki terhentak di lantai dari luar kamar saat aku terbaring di kasurku. Pintu langsung terbuka dengan kasar dan lebar begitu suara kaki berhenti di balik pintu kamar. "Hai," suara teriakan Lala, teman kamarku yang satunya lagi.

"Barusan darimana?" tanyaku.

"Pulang kuliah lah," katanya sambil menutup pintu kamar lalu membuka sepatu.

"Kuliah? Terakhir di kamar siapa?"

"Ngga tau. Kan gue dari tadi kuliah. Kenapa emangnya?" tanya dia penasaran sambil duduk di kursinya.

"Tadi waktu sampai sini, pintu ini ngga dikunci."

"Dinda mungkin."

Aku menanggukkan kepala. "Hmm... Iya mungkin."

"Tapi ngga ada yang hilang kan?"

"Kalau barang gue sih sepertinya ngga ada. Lagi pula siapa sih yang mau nyuri?"

"Eh jangan salah loh, ada tau yang hilang. Makanya kita itu harus hati-hati."

"Iya iya," kataku sambil kembali mengecek ponselku.

Tiba-tiba saja yang aku tunggu dari tadi tiba juga. Zein mengirimi aku pesan. Memang aku menunggu saat-saat ini. Saat dimana hanya ada aku dan Zein berada dalam dunia kami. Kami hanya disibukkan oleh percakapan konyol kami setiap harinya. Hingga terkadang aku tertawa sendiri seperti orang gila ketika membaca pesannya.

Hi sweetheart, aku baru saja sampai di rumah dan aku baik-baik saja. Ingin skype?

Sontak ketika aku melihat pesan darinya untuk mengajak video call aku langsung menjawab singkat:

Okay.

Aku langsung membuka laptopku dan cepat-cepat membuka skype. Lima hari tidak melihatnya di video call berasa seperti Lima minggu. Bagiku memang video call penting untuk melihat keadaannya apakah dia baik-baik saja atau tidak.

Mengapa Aku?Where stories live. Discover now