Gus Riter

2.3K 55 2
                                    

Seperti pohon, pondok pesantren seperti bibit yang baru tumbuh, lalu bangunan fisiknya meninggi, bercabang dan beranting ke mana-mana,  akar spiritualnya menghunjam kokoh ke bumi. Lantas angin datang membadai menguji kekokohannya. 


SUASANA Pondok Pesantren An Nahdliyah sepintas tampak lengang. Terdengar dengung  seperti suara lebah yang merayapi hampir semua kawasan bagian depan pondok yang berada di kaki Bukit Tlekung itu.

Suara puji-pujian kepada Tuhan. Dzikir yang dikumandangkan para santri bersaut-sautan, antara kelompok santri yang tengah mengaji Al Quran di masjid utama dan mereka yang berada di dalam kelas-kelas. Sebagian berdiri sambil membaca kitab dalam ukuran sangat kecil, bersandar pada dinding bangunan yang bercat hijau, dengan mulut yang tak henti-hentinya membaca firman Allah SWT.

"Mereka santri tahfid sedang menghafal ayat-ayat Al Quran."  Ustad Tadjudin menjelaskan kepada Andy yang bengong melihat aktivitas di pondok pesantren itu.

"Yang di sana apa juga bagian dari pondok sini, Ustad?" Andy menunjuk sejumlah bocah yang duduk di depan rumah sederhana, dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Mereka juga membawa kitab dalam ukuran kecil.

"Ya, sama. Kami sedang mencari tempat yang lebih layak untuk mereka. Mereka juga santri tahfid."

"Kasihan...!?"

"Mereka santri yang memang ingin menghafal Al Quran. Tujuannya satu itu. Jadi, tidak masalah bila harus tinggal di rumah gedhek. Orang tuanya sudah tahu. Santrinya sudah siap. Kami tentu meneguhkan fisik dan ruhaninya agar kuat menghadapi situasi ini. Tapi kami sedang mencari tempat yang lebih layak bagi mereka, tentu saja...."

Saat masuk ke bagian dalam, pemandangan serupa terlihat. Semua khusyuk melafalkan ayat-ayat suci, yang bunyinya membuhul ke langit, memayungi alam, memberi kesejukan, di tengah bumi yang semakin gerah dan payah, menanggung beban dosa-dosa manusia.

"Mas Andy, itu tempat Ustad Rahardian..." Ustad Tadjudin mempercepat langkahnya sambil menunjuk sebuah bangunan sederhana. Andy bergegas mengikutinya. Dalam diri pria ini berkecamuk pikiran antara ingin membantu membenahi fasilitas tempat tinggal santri di rumah gedhek tadi, dan gambaran sosok Ustad Rahardian.

Andy mendapat tugas dari bosnya, artis terkenal Saharini, menemui Ustad Rahardian, untuk mengajak mengerjakan proyek besar. Saharini ingin membuat buku yang bila ceritanya sangat kuat, menarik, dan meledak di pasaran, akan dibikin sebuah film. Namun, mengapa Saharini memilih ustad yang tinggal di pondok yang sangat terpencil ini?

Andy tidak tahu.

Gus RiterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang