Menulis dengan Cahaya

353 17 0
                                    

"Menulislah dengan cahaya. Kau akan menerangi jalan mereka yang menyelami kata demi kata dalam kisah di bukumu."


RAHARDIAN "GUS RITER"

Rahardian merenung sambil berjalan pelan tanpa tujuan mengitari pinggiran kolam yang airnya jernih membiru. Udara pagi di rumah ini terasa sejuk meski Jakarta dikepung suasana yang gerah. Langit putih pucat, disaput awan tipis yang bergelayutan di mana-mana.

Terngiang di pikiran Rahardian pesan Saharini. "Saya pasrah bentuk penulisan dan tema buku saya ini kepada Mas Dian. Tidak sekadar biografi. Harus buku yang memberi arti lebih..."

Rahardian berpikir keras menemukan ide buku yang sesuai dengan keinginan Saharini. Dia tersenyum ketika cahaya matahari memantul dari arah kolam menerpa wajahnya. Cahaya yang berkilau terayum oleh riak halus air kolam ketika tersentuh sapu Pak Kebun yang memulai pagi dengan membersihkan kotoran kecil di kolam. Cahaya itu memendarkan berbagai spektrum gagasan yang memasuki alam pikirannya. Sebuah energi baru membuat senyum pemuda ini semakin lebar. Sebentuk ilham yang secara diam-diam membisikkan sesuatu kepadanya.

"Saharini sekarang sedang gelisah. Selalu gundah. Dia ingin berdialog dengan dirinya, dengan orang-orang di sekitarnya. Termasuk dengan setan yang mengikutinya dan malaikat yang menjaganya...."

"Setan...!?....Malaikat....!?" jawab Rahardian. Terheran.

"Setiap manusia punya setannya sendiri-sendiri. Dan juga malaikat yang menjaganya...."

"Bagaimana aku menemukannya...?"

"Kau akan tahu kalau nanti mengikuti dia...!"

"Bagaimana aku menuliskannya...?"

"Tulis kisahnya dengan tinta cahaya, dengan jari-jari Tuhan, dan pikiran secerlang cemerlang sinar rembulan yang menerangi gelap malam. Seperti cahaya yang memantul dari rembulan, kisahmu nanti menerangi pula gelap kehidupan..."

"Apa ini kisah yang gelap?"

"Bukan! Ini kisah tentang cahaya. Sinar yang meredup. Nyaris pudar dan kemudian akan padam..."

Rahardian bergelimang bimbang.

"Tugasmu memberi cahaya, pada sinar yang terancam padam itu...!"

"Dengan apa?"

"Dengan pena cahayamu. Menulislah dengan cahaya..."

"Bagaimana caranya?"

"Setiap penulis menyimpan pena dengan tinta yang bercahaya. Tulisan mereka memberi petunjuk untuk menyibak jalan gelap yang ada di depannya..."

Rahardian menyimak kata-kata itu. Tapi dia belum menemukan cahaya sebagai petunjuk menyingkap kegelapan di alam idenya.

"Seperti empu menempa besi menjadi keris pusaka, seorang komponis menggubah lagu cinta yang indah, atau sang maestro melahirkan adikarya, kau akan menemukan cahaya dalam proses jihadmu dalam menulis tentang dia. Tentang Sang Diva!"

Rahardian mulai berhasil memancing cahaya untuk memasuki pena pikirannya. Ide-ide pun bermunculan. Kemudian menari-nari bagai para kontestan gebyar acara pencarian bakat di televisi, di mana Rahardian adalah juri yang menjumput salah satu di antaranya dan membuang yang sama sekali tanpa pendar cahaya.

Seperti para juri di kontes pencarian bakat itu, Rahardian bermuka murung setiap kali harus membuang ide yang kurang "wow" itu. Dia sedih sebab bukan perkara mudah memancing agar ide-ide itu bermunculan, tapi ketika mereka berdatangan yang terjadi malah berkelebatan membuatnya pusing tujuh keliling. Dari banyaknya ide itu, ada satu yang bercahaya. Dia celupkan pena padanya. Lalu dia mulai menulis tentang Sang Diva.

Gus RiterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang