The Devil Zone

361 17 0
                                    

Saharini gelisah. Perasaannya sangat tidak tenang. Berkecamuk hebat. Bagai gelombang manusia yang menjadi fansnya, menggelora memadati National Stadium yang megah di salah satu negara Eropa ini.

Stadion nasional yang dibangun  tahun 2013 dengan biaya 1,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14,8 triliun,  berbentuk mangkuk terbalik dan beratap yang secara otomatis bisa membuka dan menutup itu semakin gegap gempita. Stadion yang lokasinya berada di tepian marina, arah timur laut dari pusat kota, ini  memang dibangun bukan hanya untuk kepentingan olahraga saja tapi juga memenuhi urban life style. Kota ini adalah surga bagi penggila gaya hidup urban.

Panggung yang super megah dengang kilatan lampu spot, ornamen-ornamen futuristik, lalu lalang para kru, dan musisi yang mulai stand by pada posisi masing-masing, membuat perasaannya bertambah gundah. Biduan jelita itu agak sempoyongan ketika hendak berdiri, membuat kru yang mengawalnya kelabakan.

Andy, sang manajer, dengan sigap memapah tubuh semampai itu untuk duduk lagi. Pria ini membaca ada gelagat kurang baik pada diri Saharini. Dia cemas penyanyinya itu sakit. Padahal, stadion sudah penuh dengan penonton yang ingin mendengar kombinasi suara merdu dan aksi panggung Saharini yang memang atraktif, penuh kejutan dengan sentuhan seni-budaya yang diambil dari sejumlah daerah di Indonesia.

Sang Diva bukan hanya menampilkan seni budaya Jawa di atas panggung konser musiknya, tapi juga Dayak, Aceh, hingga Papua. Namun kali ini seni budaya Dayak dia suguhkan di depan publik internasionalnya. Alasannya, seperti orang Jawa atau Madura, orang Dayak juga banyak yang tinggal di tanah rantau.

Performance yang sudah ditinggalkan artis dan musisi lain ini memang lebih njlimet, membutuhkan kreativitas tinggi, bahkan riset yang cukup lama. Bagi Saharini semua itu tidak masalah sebab dia memiliki tim khusus yang menanganinya. Yang jelas semua itu membuat ghirah musiknya meningkat. Hingga panggung yang megah bertambah semakin megah lagi.

Tapi kali ini lain. Tubuhnya seperti tidak memiliki energi. Puluhan ribu fans  yang mengelu-elukannya seolah tidak mampu menyuntikkan energi baru kepada dirinya hingga dia masih duduk tercenung di sofa yang didatangkan khusus untuknya. Puluhan ribu penonton di sana masih sabar menunggu.

Mereka kadang memaklumi sesekali idolanya menggoda dengan pura-pura terlambat tampil dengan berbagai macam alasan. Kadang alasan dibuat menyentuh hati hingga penonton semakin terbawa dramatisasi yang sebenarnya bagian dari hiburan dalam konser itu. Persis seperti penyanyi saat mengakhiri pertunjukan lalu masuk ke balik panggung, guna memancing reaksi penonton. Tak lama kemudian bisa ditebak apa yang terjadi. Terdengar penonton secara koor berteriak "more...more...more..." dengan intensitas semakin tinggi, semakin menggema memenuhi arena, kemudian sang biduan muncul lagi untuk menyanyikan bonus satu lagu.

Sebentuk trik panggung. Persis jualan produk lain yang juga harus ada trik-trik marketing. Para penonton dan konsumen lain, meski tahu itu hanya trik saja, tapi mereka sangat suka dan larut dalam permainannya.

Tapi kali ini Saharini tidak sedang ngetrik. Dia benar-benar loyo tak bertenaga. Namun perempuan ini sudah dididik sejak kecil memiliki komitmen tinggi terhadap apa yang dilakukannya. Dia memang seorang yang sangat profesional.

Maka, dia pun berusaha bangkit. Senyumnya kembali mengembang. Andy sangat senang. Bahkan dia melonjak kegirangan disusul para kru lain. "Yes! Go...!"

"Hello...everybody, hello Europe...are you ready....!"

"Ready....go...go...go!"

Tak lama kemudian panggung pun berdentam. Lampu berkilatan, berkelebat-kelebat, dengan background yang bergantian dengan sangat cepat mengikuti irama musik yang rancak. Penonton berteriak histeris.

"Saharini....Saharini....Saharini...i love you!"

Sang biduan langsung menyambar mik melantunkan salah satu nomor yang dia gubah khusus untuk turnya tahun ini: "The Devil Zone".

Gus RiterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang