Bridge : Father's Sense [2]

20 5 1
                                    

"Mungkin yang ada pada hari itu memang diriku. Namun dia adalah diriku yang lain. Diriku yang sudah kubunuh sekarang dan tak akan kembali lagi."

*..*

Hari ini aku akan memulainya, perjalananku menuju penebusanku untuk yang kedua kalinya. Aku tak yakin, karena aku yakin ini akan jauh lebih berat.

Mungkin aku bisa berkata, hari itu usiaku masih belum sedewasa sekarang. Mungkin aku bisa berkata kalau beberapa tahun telah berlalu, aku telah berhasil merenungkan semuanya kembali. Setelah pengajuan amnestiku disetujui oleh hakim, aku berhasil keluar.

Tentu aku tidak memanfaatkannya untuk mengulang kesalahan yang sama. Karena pada dasarnya aku sudah menyesal, dari hatiku yang terdalam. Aku menyesal, karena aku telah membuat diriku sendiri merasa kehilangan. Tak rela. Perasaan yang waktu itu aku masih belum bisa merasakan.

Mungkin aku bisa mencoba mengikhlaskan. Mungkin aku bisa mencoba melupakan. Mungkin aku bisa memulainya kembali dari awal. Tapi tidak dengan dia. Dia yang aku yakin sudah sangat membenciku sekarang.

Dia, rasa penyesalan terbesarku. Sungguh bodoh karena hari itu aku terlalu buta untuk melihatnya.

.

Hari itu aku dipenuhi dengan emosi. Rencana yang sudah aku susun dengan matang, digagalkan oleh Victoria. Mungkin memang aku yang masih begitu lengah, karena susunan rencana yang kubuat bukanlah sebuah proyek berbiaya tinggi seperti dalam cerita novel. Aku masih berada dalam titik terendah.

Sehingga Victoria bisa dengan mudah menghancurkannya.

Waktu itu aku benar-benar sudah tak terkendali, tersulut emosi. Dan saat itu juga, dengan cepat aku memutuskan. Entah aku masih cinta Victoria atau tidak, aku akan tertap bertindak.

Langkahku benar-benar terasa hidup. Aku menyusuri jalan dengan cepat, di musim panas yang semakin membakar emosiku. Dalam waktu dekat, aku sudah berdiri kembali di depan kediamanku. Tanpa ragu, kubuka gerbangnya.

Hari ini aku bersama orang yang cukup untuk dibilang banyak. Kubuka pintu dengan kasar, reflek. Seperti biasa, Victoria yang tak suka berisik langusng menghapiriku, atau suara yang aku timbulkan, lebih tepatnya.

Mata Victoria membulat ketika melihatku. Aku tak tau apa yang dia pikirkan kala itu, entahlah. Aku sudah tak bisa peduli lagi. Yang bisa kulakukan hanyalah, menuruti apa yang aku pikirkan, melakukan semua yang aku pikirkan.

"Felix?" Alis Victoria bertaut, wajahnya resah.

Suara Victoria sudah tak lagi terdengar. Dengan langkah yang cepat aku mendekati Victoria, tak tau apa lagi yang aku pikirkan kala itu, aku mendorongnya dengan kuat. Tubuhnya terhempas, mengenai lantai. Ia meringis, lalu berusaha memperbaiki posisinya, namun sebelum ia kembali bangkit, aku menahannya.

Kutatap matanya dengan tajam, yang dibalas dengannya dengan pandangan yang tak kalah gentar. Kutangkup dagunya dengan dua jariku, memfokuskan pandangannya padaku.

"Kau benar-benar tak bisa diomongi ternyata."

Victoria tak menjawab, hanya memalingkan pandangannya.

"Jadi, apa yang kau inginkan sekarang?" Kusejajarkan kepalaku dengan kepalanya. Bermaksud bersikap antusias dengan apa yang akan Victoria katakan.

"Pergilah kalian semua! Kalianlah yang jahat, pergilah!"

.

Aku bisa merasakannya, bahkan sampai sekarang. Suaranya kala itu, jeritannya kala itu. Di musim panas yang begitu terang, semua itu terjadi. Victoria meninggalkanku, semakin membuat hatiku dingin, layaknya musim dingin.

[1] TRUST ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang