1

15.2K 149 0
                                    

Ketika kau memilih dia, saat itu ragaku mati

Alarm berbunyi, memecah kenyenyakan tidurku. Tanganku bergerak mematikan jam beker dengan mata masih tertutup.
Tak lama gedoran pintu ikut menggema dari luar.
“Dinda! Bangun! Mau berangkat bareng kaga sih? Kakak udah telat nih!” Suaranya terdengar seperti lagu cinta, begitu menggetarkan hati. Bagiku.

Aku melompat dari kasur untuk ke depan pintu. 'HAAH... ' cek nafas. Ew... baunya seperti septic tank. Biarlah. Kusisir rambutku dengan jari, barulah membuka pintu.

“Stop gedor pintunya... Hoam... Berisik tau,” kataku sambil memeluknya.

“Dinda... Lepas... Nanti kemeja kakak lecek!” Pekiknya tertahan.

Aku mengerutkan dahi bingung. Baru menyadari sesuatu.

“Lho, emang kakak mau kemana? Tumben banget ke kampus pake kemeja?” Tanyaku.

“Siapa yang mau ke kampus? Orang kakak mau ke kantor papah. Mau daftar jadi Manager.” Ia menaik turunkan alisnya yang tebal.

Pipiku terasa panas seketika. Sumpah demi apapun dia sangat... ganteng.

“Kakak kan belom lulus. Gayanya mau jadi Manager.” Aku mendengus kesal mengingat dia itu pintar. Pasti nanti dia akan berkata, “aku kan udah pinter. Gaperlu nunggu lulus buat jadi Manager.”

Dan benar saja.
“Gaperlu tunggu lulus, aku bisa kok jadi Manager. Bahkan gantiin posisi papah sebagai pimpinan di perusahaan,” ucapnya sambil tertawa.

“Terserah... ” aku langsung menutup pintu kamarku.

***

Diperjalanan menuju sekolahku begitu menyebalkan. Geram, kesal, sedih, bercampur aduk kalau melihat ke depanku. Yang duduk di sebelah kakakku. Perempuan yang disebut kakakku "pacar". Mereka berdua mengacuhkanku, sibuk mengobrol berduaan saja. Sedangkan aku terduduk di belakang, sendirian. Tak dianggap. Bagaikan seekor nyamuk.

Setibanya di depan pagar sekolah, aku cepat-cepat turun dan berdiri di dekat pintu mobil. Kacanya terbuka. Wajah tampan kak Virlo menyambut pandanganku.

“Kamu baik-baik di sekolah ya,” katanya, mengacak rambutku.

Senyumku mengembang, tapi sekonyong-konyong menciut saat perempuan di sebelah kakakku ikut tersenyum.

“Semoga harimu menyenangkan ya, Din.” Begitu katanya.

Aku memasang muka datar menanggapi ucapannya.

Kembali pada kakakku.
“Kak Virlo hati-hati di jalan. Jangan ngebut nyetirnya.”

“Iya. Tenang aja,” jawabnya cengengesan.

Cup...

Setelah mengecup pipinya aku melangkahkan kakiku menuju bangunan tempatku bersekolah yang di atas gerbangnya bertuliskan "SMA Merah Putih" untuk beberapa detik aku menengok ke belakang, dan mendapati tatapan kosong kak Virlo dari balik kaca mobil untukku. Saat itu juga ketakutanku muncul.

Perfect BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang