4

12.5K 128 3
                                    

Sakit yang paling menyakitkan adalah merelakanmu bersama orang lain.


Angin laut menderu di telingaku. Langit telah menguning. Satu jam yang lalu masih sama. Termenung ditepi pantai menunggu matahari terbenam. Ditemani Devano Raditya Wijaya. Sahabatku sedari kecil.

“Gue mohon sama lo, jangan diem aja. Gue berasa kaya duduk sama patung dari tadi.”

Aku menoleh menatapnya sekilas. Lalu termenung lagi. Seperti itu sejak tadi.

Patah hati. Aku patah hati.  Kabar yang kudengar beberapa jam lalu—kak Virlo dan Rintan akan segera menikah—menghisap seluruh tenagaku. Sampai rasanya seluruh gairah hidupku hilang.

“Din... ngomong dong. Lo tau? Gue jauh-jauh dari Korea ke Jakarta cuma demi lo. Masa sambutan yang gue dapet muka membleh lo sih? Udah enam tahun kita nggak ketemu. Lo nggak kangen sama gue apa?”

Kali ini dia membuatku kesal.
“Nggak,” balasku sinis.
Meskipun aku sangat merindukannya. Bagiku Devano tidak pantas mendapatkan perasaan rinduku. Sebab sebelum meninggalkanku selama enam tahun, waktu aku mengantarnya ke bandara, Devano bilang aku bukan lagi sahabatnya, dan bilang tidak akan pernah menjadi sahabatku  lagi.

“Alhamdulillah, akhirnya lo ngomong. Gue pikir lo gak bisa ngomong.” Ia mengelus-elus dadanya dan tersenyum lega.

Plakk...

Kutampar pelan pipinya.
“Lo pikir gue gagu?” pekikku.

Devano memegangi pipinya yang habis kutampar dan mendengus.

“Yah... Kali aja gitu. Lo kan nggak ngomong-ngomong dari waktu gue narik tangan lo di lift. Hehehe...”

“Kurang ajar lo! Lu ngapain sih balik lagi ke sini? Bukannya lo dulu bilang gue bukan sahabat lo lagi, hah?!”

Devano tersenyum miring.
“Emang lo bukan sahabat gue.”

“Terus ngapain lo di sini?! Pergi sono! Apa perlu gue tendang nyampe Korea?!” Aku bangkit berdiri dan berkacak pinggang.

“Gue balik ke sini buat Dinda Alissa. Cewe yang gue cintai.”

Dag....

Dig....

Dug....

Apa?!!!!!

Perfect BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang