3

13.1K 128 0
                                    

Ibarat kata kamu adalah angin. Mampu mambawa terbang, tapi tak pelak menjatuhkan.

Ketika sampai di depan pintu ruang pimpinan, aku mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Kupikir lebih baik menguping dulu. Takut-takut sedang ada orang penting di dalam.
Yah, untungnya Niken luluh hatinya untuk mengantarku ke sini. Walaupun sepanjang jalan tadi dia terus menceramahiku bla, bla, dan bla.

Hati-hati aku merapat pada pintu yang tertutup rapat di hadapanku itu lalu menempelkan daun telingaku di sana. Suara ayahku, suara kak Virlo, dan suara... Rintan? Dadaku terasa sesak. Sedang apa wanita sialan itu di dalam? Untuk apa kak Virlo membawanya ke kantor ayah? Batinku bertanya-tanya. Aku mendengarkan dengan seksama.

"... Virlo, kamu sudah cukup umur, Nak. Tunggu apa lagi? Kamu cinta sama Rintan, 'kan?"

"Masalahnya bukan itu... Aku belum siap aja. Lagipula Rintan juga belum siap..."

"Aku siap kok."

"Hahaha... Dengar itu, Vir? Sudahlah kalian menikah saja. Mamah kamu tuh udah gak sabar nimang cucu tau..."

Deg...

Apa?! Jadi ini alasan si Rintan ada di ruangan ayahku. Membicarakan pernikahan.

Aku menjauh dari pintu dan berlari menuju lift dengan perasaan kacau. Bayangan kak Virlo menikah dengan Rintan memukul-mukul kepalaku. Air mataku pun jatuh tak tertahankan. Terlalu menyesakkan dada.

Inikah artinya aku harus berhenti? Berhenti untuk mencintai kakakku sendiri? Ya. Kalau kak Virlo menikah... aku bisa apa? Aku tak bisa menentang. Apalagi ayah dan ibuku juga sudah merestui.

Aku benci takdir!

“Aku cinta kamu kak Virlo... apa enggak bisa Tuhan lahirin aku sebagai jodoh kamu dan bukan sebagai adik kamu?! ARGH...!! Aku benci!”

Wajahku banjir air mata. Aku tidak bisa bernafas karena ingus mulai membeku di dalam rongga hidungku. Tanganku meraba-raba mencari tisu, tetapi sayangnya aku tak punya tisu. Pintu lift terbuka, menampilkan beberapa orang yang berdiri hendak menggunakan lift. Pandangan beragam mereka langsung menghujamku. Sampai seorang pria menyusup melalui tengah-tengah mereka, mengulurkan tangannya, dan menarikku keluar gedung. Aku terbengong-bengong hingga baru menyadari seseorang dari masa lalu telah kembali.

Devano.

Perfect BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang