5

11.1K 129 12
                                    

Aku berjanji tidak akan ada jarak yang mampu memisahkan kita.


Sekarang sudah hampir jam 12.00 malam, aku masih bergelung dengan pikiran es campur. Bukan. Maksudku memikirkan tentang bermacam-macam hal. Kebanyakan sih memikirkan ucapan Devano sewaktu di pantai. Apa yang dikatakannya setelah bilang cinta padaku? Seperti ini...

"Gue tahu, lu sayang sama kak Virlo. Lu Cinta sama dia 'kan, Din? Gue tau semuanya. Dan sekarang, karena gue Cinta sama lu... hati gue terbuka lebar buat lu. Lu boleh kok jadiin gue sandaran lu, pelarian lu, bahan move on lu. Gue rela, Din. Asalkan lu mau belajar buka hati lu buat gue, dan lupain kak Virlo."

Memalukan sekali. Aku terkejut saat Devano mengatakan begitu. Kupikir pasti Niken yang telah menceritakan perihal perasaanku terhadap kak Virlo. Yang aku sebal adalah Devano menghimpitku pada dua pilihan, secara tidak langsung.

Memilih untuk mencintai, atau dicintai. Jika aku memilih mencintai kak Virlo, pasti cintaku rasa patah tulang. Karena orang yang kucintai, telah memiliki tunangan yang sebentar lagi menjadi istrinya. Sakitnya bisa kubayangkan seperti apa. Layaknya orang patah tulang. Nyeri, hancur, dan berdarah di dalam, tapi tidak terlihat di luar.

Kalau aku memilih dicintai oleh Devano, cintaku rasa roti tawar tanpa selai. Tidak menarik dilihat, apalagi untuk dimakan. Devano mencintaiku, tapi aku tidak.

Sialan betul persoalan cinta ini!

Aku masih kelas tiga SMA, kenapa aku selalu dipusingkan pada perasaan gilaku? Semua karena kak Virlo! Kalau saja ia tidak pernah menciumku... aku tidak mungkin menggilai dirinya.

Tok tok...

Lalu pintu kamarku terbuka setengah. Bundaku masuk ke dalam, tersenyum padaku.
“Sayang, Bunda mau kasih tau sesuatu...”

Aku tersenyum kecut membalas senyummya. Tengah malam Bundaku ke kamarku itu suatu keanehan. Aku menebak, pastilah kabar mendadak.

“Kamu beresin baju-baju kamu, juga barang-barang kamu. Kita akan pindah ke Inggris, besok.”

Tercengang. “Apa? Bunda bercanda ya? Aku kan masih sekolah, Bun. Tanggung kalo pindah,” protesku.

Bunda mengelus lembut rambutku. “Iya, Bunda tau. Tapi mau gimana lagi? Bisnis Papah hampir ada di sana semua.”

“Tapi kak Virlo juga ikut kita, 'kan?” tanyaku penuh harap.
“Ya nggaklah. Kakak kamu tetap di sini, ngurus perusahaan di sini,” jawabnya.

Aku sebal.

“Lho, kalo kak Virlo di sini, ngapain aku ikut pindah? Aku nggak mau pindah ah, Bun. Aku di sini aja deh sama kak Virlo. Seenggaknya sampe aku lulus SMA. Yaya? Pliss...”

Bunda terdengar menghela nafas.
“Terserah kamulah, Din. Awas ya ribut kangen sama Bunda. Soalnya Bunda ke sini tiga bulan sekali lho.”

Aku merileks mendengarnya. Tidak jadi pisah dari kak Virlo.
“Tenang aja, kalo aku kangen kan bisa video call Bunda ini.”

“Eh, apa-apaan? Gak bisa! Nanti kalo Dinda di sini, siapa yang jagain dia? Aku kan sibuk, Bun. Pokoknya Dinda ikut pindah.” Tiba-tiba kak Virlo muncul di kamarku.
Aku mendengus pelan.
“Apasih, kak? Ikut campur aja. Orang aku maunya di sini! Lagian siapa juga yang minta kak Virlo jagain aku?”

“Bener juga sih. Kamu kan manja, Din. Pasti ujung-ujungnya nyusahin kakak kamu.” Timpal Bunda.

Aku merengut kesal.
“Aku nggak manja. Aku bisa kok jaga diri sendiri. Pokoknya aku gak mau pindah. Titik.”

Rapat-rapat kututup kedua telingaku, dan lalu beranjak keluar kamar. Sekilas aku berbalik, menatap kak Virlo, dan menjulurkan lidahku dengan kesal.

Tidak ada yang boleh memisahkan aku dengan kak Virlo! Tidak Papahku, Bundaku, Rintan, siapapun! Termasuk kak Virlo sendiri.

Perfect BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang