Menggenggam Darren [1] - Panggilan

179 11 17
                                    

"Siapa dia?"

Seorang gadis mengenakan seragam putih abu-abu terpaku memandang sosok yang tak jauh darinya, hanya beberapa meter dari tempat ia berdiri sekarang. Tatapannya menajam, anak laki-laki disana sedang bersimpuh memungut beberapa sampah yang keluar dari dalam loker miliknya.

"Dia Darren si banci, gak usah peduliin," Jawab teman gadis itu. Lalu, si penjawab menarik lengan temannya yang masih mentap Darren dengan buru-buru, membuat Darren semakin kecil, dan pada akhirnya lenyap dari pandangannya.

Kantin begitu ramai sesak, beberapa siswa saling mengumpat karena tertabrak, penjual kantin berteriak bersahutan siapa pemilik makanan yang ia buat. Namun diantara kerusuhan yang terjadi, dua gadis di bangku pojok itu, terduduk nyaman dengan semangkuk mie ayam dan es teh manis yang tinggal setengah, di gelasnya meninggalkan Kristal bening yang terus menetes.

"Sania?"

"Hmm," Hanya deheman yang keluar, karena mulut gadis itu masih mengunyah mie panas dengan irisan sawi.

"Memang, Darren, selalu di bully ya?"

Tadi, mie ayam panas di mangkuknya memang lebih menarik, namun, seketika Sania menatap teman didepannya yang memandangnya dengan pandangan penasaran.

"Kan udah gue bilang, gak usah peduliin dia!"

Suara Sania naik beberapa volume, karena kantin memang brisik- atau mungkin karena beberapa hal yang menganggunya- "Ya udah sih biasa aja. Tapi kenapa Darren di bully, gue liat fisik dia gak ada yang salah, atau mungkin dia anak di bawah batas rata-rata?"

Sania tak peduli akan ocehan temannya, ia menyeruput sedikit minumannya, dan kembali menikmati mie ayam yang uapnya sudah mulai hilang.

"Tapi agak aneh kalo cuma karena dia bodoh trus di bully, maksud gue, banyak anak minus di dunia ini, tapi sebagian besar orang gak peduli. Mereka akan berteman, gak peduli dia bodoh atau pintar, yang terpenting bagus secara fisik dan tau tentang zaman sekarang. Dan gue liat semua itu di Darren, Tapi San-"

"Jean!"

Gadis tadi berhenti mengoceh, menatap Sania dengan pandangan bingung, karena tiba-tiba saja temannya itu menyentak dengan agak keras.

"Darren itu bukan cowok tulen, dia gak kayak cowok lainnya yang suka main basket, nongkrong, atau pun merokok. Dia itu cewek yang menyamar jadi cowok, puas lo?!" Hilang sudah nafsu makan Sania, gadis itu menatap Jean dengan menggebu.

"Ya bagus dong dia gak salah bergaul, kalo soal gak suka basket, mungkin dia memang gak suka olahraga?"Ungkap Jean masih berpendapat.

Dia benar-benar dibuat penasaran oleh cowok bernama Darren itu, rasanya melihat Darren memungut sampah membuatnya tak tenang. Padahal jika dipikirkan lagi, baru beberapa menit lalu dia melihat Darren, karena memang dia baru pindah sekolah seminggu lalu, namun rasa simpati terhadap cowok itu seakan tak bisa dibendug.

Sania mendengus kesal, "Terserah deh, lo duluan aja, gue mau ke toilet dulu."

Jean menggeleng pelan melihat sahabatnya melenggang pergi keluar kantin. Baru Sania yang bisa dekat sekali dengannya,walau pembawaan sifat Sania itu jutek, dan terkesan dingin, namun Jean yakin Sania adalah gadis baik hati.

Dengan tidak semangat Jean bangkit, meninggalkan meja dengan dua teh manis tersisa setengah.

******

Lagi dan lagi. Sepatu hitam kesekian kali yang ia miliki tersangkut di pohon, pohon tinggi milik taman belakang sekolah, dengan keadaan sobek sana sini. Tawa beberapa anak masih bisa ia dengar, ia berusaha tidak menolehkan kepalanya melihat wajah-wajah bahagia di belakangnya, memandang berkaca-kaca pada tali sepatu yang menjuntai, terombang ambing terkena angin.

Seandainya ia berani melawan, mungkin ia tak perlu membeli sepatu setiap seminggu sekali, mungkin ia juga tidak akan mendengar tawa mengerikan yang selalu membuatnya terhantam lebih dalam. Namun semua yang bersarang di otaknya itu hanyalah, sebuah kemungkinan.

"Heh cowok palsu, ambil, jangan Cuma nangis!" Seruan seorang anak, langsung disambut sorakan anak lainnya. Bisakah dia menghilang sekarang juga, ini terlalu menakutkan, pikirnya.

Seketika kepalanya oleng terhantam sesuatu yang sengaja dilemparkan untuknya, dia masih berusaha menjaga keseimbangan, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, atau mereka akan menghujami dirinya dengan makian yang lebih kejam.

Kepalanya berdenyut

"Buset gitu aja mewek, jantan bukan sih lo?!"

"Makanya, mainan jangan barbie mulu, mainan barbel dong."

"Jangan, dia gak akan kuat, biar main masakan aja"

Dia tidak peduli lagi sorakan-sorakan itu, yang ia inginkan, teman-temannya itu secepatnya pergi dari sini, agar dia bisa menangis. Anggap saja dia lemah, dia juga tidak tau apa yang terjadi pada dirinya.

"HEI, APA-APAAN INI, CEPAT BUBAR, SANA BUBAR!"

Harapannya terkabul, Pak Ifran, guru botak yang menjunjung tinggi kedisiplinan itu datang menyelamatkannya. Dengan suara desahan kecewa kerumunan itu bubar, meninggalkan Darren sendirian.

"Hai Darren, ini sepatu lo kan?"

Darren menengok cepat, melihat seorang gadis mengulurkan sebelah sepatu miliknya, sepatu yang dipergunakan untuk menempeleng kepalaanya tadi. Bukan hal itu yang mengejutkan, namun gadis itu menyebut namanya dengan benar, bukan si banci, cowok palsu, dan duren apapun itu yang membuat hatinya sakit.

Darren merebut cepat sepatunya, lalu membuangnya jauh hingga masuk ke dalam semak-semak, "Gue gak perlu."

Jean mematung mendengar suara dingin Darren yang terkesan lembut, tidak seperti suara cowok kebanyakan, berat. Jean memperhatikan Darren yang melangkah menjauh, dan menghempaskan tubuhnya di bawah pohon tinggi didepannya. Jean mengikuti, mendudukan dirinya di samping Darren.

"Lo boleh pergi." Lagi, dingin.

Alih-alih meninggalkan Darren, dan mengupat karena sudah di usir, tetapi gadis itu sibuk mencari posisi nyaman untuk duduk dan bersandar pada batang pohon rindang. "Gue tadi liat sepatu lo di lempar ke atas pohon ini."

Jean menghentikan ucapannya, melirik Darren yang memandang ke depan. Jean kemudian melihat cara Darren duduk, entah kenapa gaya duduknya terkesan luwes seperti perempuan. Memang tidak ada yang salah dengan penampilan cowok itu, malah terkesan tampan untuk ukuran cowok yang nyatanya gemulai. Dan Jean baru menyadari kekurangan Darren saat tadi cowok itu di bully.

"Dan pas banget, gue liat guru tadi lewat, ya udah gue suruh ke sini." Lanjutnya.

Tak ada jawaban, hanya ada angin lalu yang menerpa wajah mereka. Jean mendongak dan menatap ranting-ranting pohon di atasnya, ternyata tidak hanya satu sepatu di atas sana, ada beberapa sepatu yang terlihat sudah usang, dan masih terlihat baru -tentu saja sepatu milik Darren tadi- Apakah, semua sepatu itu milik Darren?

"Ini pohon, tempat pemakaman sepatu?"

Darren ikut mendongak dan melihat semua bangkai sepatu miliknya, ia tersenyum tragis, uang tabungannya terbuang sia-sia.

"Oh iya, Darren"

Cowok tadi hanya langsung menatapnya, menggedikan dagu seakan berkata 'apa?'

"Lo mau jadi temen gue?"

Dahi mulus Darren berkerut terlihat manis, setelah mendengus halus dan anggun, dia berkata "Lo gak akan bisa jadi temen gue."

"Kata siapa?"

Jean terkekeh, tidak menganggap Darren sombong atau apa, tapi gadis itu malah tertantang.

"Okay, we'll see."

[]

Hai\( ̄▽ ̄;)/

Aku kembali dengan cerita berbeda dan karakter yang berbedaa.

Aku mau liat tanggapan kalian, dan aku akan berusaha lebih baik lagi^^

Untuk Vomment, trimakasih^o^

Kiss
QueenHol_

Beautiful Boy, DarrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang