Menggenggam Darren [2]- Sirine

110 9 1
                                    


Jean berjalan berdampingan dengan Sania menyusuri lorong yang mulai sepi dikarenakan bel pulang sekolah sudah berbunyi sedari tadi, hanya ada beberapa siswa yang mengikuti ekstra yang masih tinggal. Kedua gadis itu membicarakan sesuatu, dan sesekali terkekeh bersama.

"Lo pulang sama siapa Je?" Tanya Sania ketika mereka sudah mendekati gerbang, terlihat Pak Seno- satpam sekolah- masih menyeberangkan siswa-siswa yang baru saja bermunculan dari area parkir.

Jean celingukan, "Papa hari ini gak bisa jemput, jadi gue naik bis." Sania mengangguk menanggapi.

"Gue duluan ya Je, itu Reno udah jemput. Lo hati-hati di jalan."

"Lo juga hati-hati San" Jean sedikit berterik kala Sania sudah melangkah meninggalkannya, dan hanya dibalas acungan jempol oleh Sania. Jean memperhatikan Sania yang menyeberang, dan menemui Reno di seberang jalan, lalu Sania menaiki motor tinggi Reno, dan pergi. Yang Jean tahu Reno adalah kekasih Sania dari tiga bulan lalu, dan Reno merupakan cowok kuliahan.

"Loh, sepedanya kenapa den Darren?"

Jean langsung menengok ke belakang kala nama Darren disebut, cowok itu menatap ke arah jalan dengan pandangan kosong, arah Sania berlalu tadi. "Den?" Jean hanya terkekeh melihat wajah terkejut Darren kala pak Seno menepuk pundaknya.

Jean memilih mendekati mereka, ingin tahu, "Ini pak, ban sepeda saya bocor."

"Lagi?" Pak Seno bertanya tak percaya, dan dibalas garukan kepala oleh Darren.

Jean melihat Pak Seno meneliti ban belakang sepeda Darren, laki-laki paruh baya itu menggeleng dengan miris.

"Kok bisa sih?" Jean bertanya tiba-tiba, membuat Darren dan Pak Seno terkejut.

"Astagfirullah neng, bapak jadi kaget." Jean tersenyum meminta maaf, ketika Pak Seno mengelus dadanya.

"Ini bukan bocor lagi den, ini juga harus ganti ban segera. Ini juga bukan bocor kena paku, ini sengaja digunting kayaknya."

Jean memekik terkejut,"Kok bisa?"

Darren menatap Jean datar, "Bisa lah" Jawab Darren ketus. "Ya udah pak makasih, Darren pulang dulu."

Darren menuntun Sepedanya dengan lesu, cowok itu menghilang di belokan arah kanan gerbang. "Kasihan banget loh neng den Darren itu, dia sering di ejek teman-temannya. Padahal den Darren gak salah apa-apa."

Jean mendengarkan penuturan Pak Seno dengan saksama. "Sering banget sepedanya rusak, dan bahkan sepeda ini kayaknya sepeda yang ke 12 punya den Darren."

"Darren gak pernah ngelawan gitu pak?" Ujar Jean bingung, rasanya aneh semua ini terjadi dan pihak sekolah tidak melakukan apapun.

Pak Seno terlihat berfikir, mungkin mengingat sesuatu. "Pernah dulu dia melawan den Anton, kakak kelasnya, tapi malah tambah parah, rambut den Darren di cukur bareng-bareng. Bapak sudah pernah memberi tahu pihak sekolah, tapi mereka hanya menganggap teman-teman den Darren itu bercanda, karena den Darren juga gak pernah mengadu."

Jean mengalami goncangan sebentar, mengerjap beberapa kali. "Kalau gitu makasih Pak Seno, Jean pulang dulu," Selanjutnya gadis itu berlari menyusul ke arah perginya Darren.

Jean masih tetap berlari menyusuri pinggiran jalan raya, Darran, cowok itu belum ketemu. Sedangkan Jean sudah mau pingsan rasanya. Baju putihnya sudah berbau keringat, dan rambutnya seperti sehabis disiram air. Karena kehabisan nafas dan terengah, dia memutuskan berhenti sejenak mengatur nafas.

Melihat bocah laki-laki lewat disampingnya seraya membawa es dalam plastik, membuat Jean meneguk air liur dengan kasar. Bocah berseragam merah putih itu melirik Jean dengan jahil, berhenti tepat di depan Jean, lalu menyeruput minuman ber-es itu keras-keras seraya menimbulkan suara 'ahh'. Lalu dengan itu, dia berlalu menampilkan senyum puas diwajahnya.

Beautiful Boy, DarrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang