Jangan percaya jikalau saja nanti Jean mengaku tidak gila. Buktinya, sekarang gadis itu mengomel sepanjang jalan dari rumahnya menuju halte bis, dan sama sekali tidak mengurangi volume suaranya walau beberapa orang telah mendelik merasa ngeri.Beberapa kali Jean menyebut sengit kedua orang tuanya, "Awas aja, nanti kalau papa minta pijit, gue gak akan mau, titik!"
Dan sumber dari segala kerusuhan yang dibuat Jean pagi ini adalah, orang tuanya. Tadi malam Jean sudah meminta papanya untuk mengantar sekolah hari ini, dan papanya mengangguk setuju dengan permintaan Jean.
Namun, hasil yang ia dapat pagi tadi berbanding balik dengan semua keinginanya. Jean pagi tadi sarapan sendirian, dan berfikir kedua orang tuanya masih di dalam kamar. Namun ketika jam menunjukan pukul 06.33 Jean merasa risau, jadilah dia melongos pergi ke kamar kedua orang tuanya, dan mendapati kamar itu kosong.
Dan hingga sesampainya di halte, gadis itu masih menggerutu, tidak peduli pada seorang wanita yang membawa anak, dan saat melihat Jean mengomel, dia menjauhkan anaknya dari Jean, Sialan.
"Udah di tinggal, gak di kasih ongkos, duit jajan apalagi!"
Bis datang dari arah barat, berhenti di depan halte, dan beberapa orang turun, sedangkan Jean berusaha naik di tengah himpitan menyesakkan. Banyak anak sekolahan, ibu-ibu membawa sekeranjang belanjaan, dan beberapa orang rapi kantoran. Jean berdecak lagi, tidak ada tempat duduk kosong.
Pada akhirnya dengan berat hati, Jean menggantungkan tangannya pada pegangan atap bis. Jean memasang earphone pada telinganya, mendengarkan lagu, dengan goyangan kecil pada kepalanya.
Belum lama merasakan ketenangan itu, satu alat pendengarnya dicabut dari belakang, Jean menengok cepat, terkejut.
"Hai, teman." Sosok itu menyapa, dengan lambaian tangan berlebihan dihadapan wajah Jean.
Jean tersenyum senang, "Darren?"
Pagi itu, Darren mengenakan bando bercorak polkadot putih biru, walau begitu, rambut depannya terkadang masih selalu berlarian.
Jean kembali memutar tubuhnya kedepan, berbicara tanpa menatap wajah Darren, dan membuat cowok di belakangnya itu tersenyum samar.
"Oh iya. Darren, siapa nama panjang lo?"
Tanya Jean masih menatap depan, seolah jalanan dari kaca bis lebih memukau daripada Darren."Nanti lo akan tau."
"Bukan nanti yang gue mau, sekarang yang gue mau."
Bis berhenti di halte dekat Sekolah Permata Bangsa, menurunkan siswa-siswa disana termasuk Jean dan Darren. Mereka masih berjalan beriringan menuju gerbang, dan beberapa anak yang melewati mereka menatap dengan berlebihan.
"Lo gak malu jalan bareng gue?" Lontar Darren menatap Jean dalam, begitu tertohok dengan siswa lain yang menatap aneh mereka.
Jean berfikir, "Malu." Wajah Darren berubah sayu kecewa, mengalihkan pandangan ke arah lain karena mata yang berkaca-kaca. "Kalo lo gak pake baju!" Jean terkekeh sendiri dengan candaanya, sedangkan Darren menatap cemberut pada gadis itu.
"Maka dari itu, biar gue gak malu, beri tahu nama panjang lo!"
Darren mencibir, "Apa hubungannya coba?" akan tetapi dia membuka tas gendong miliknya, dan mengeluarkan buku tebal berjudul 'Ensiklopedia Galaksi' lalu menyerahkan kepada Jean yang kebingunggan.
"Duh, gue bukan anak Ipa" Gerutu Jean, menatap horor buku tebal ditangganya.
"Baca aja, nanti lo bakal tau nama lengkap gue."
Darren berlalu begitu saja, menuju lorong yang menyambungkan dengan gedung jurusan ipa.
[• • • • • • • • • • • • • • • • • • • ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Boy, Darren
Teen FictionDia menyendiri karena terpaksa. Menurutnya, segala garis takdir yang mengikat hidupnya, adalah ketidakadilan. Jadi, dia menolak berbagi segalanya dengan siapapun, untuk menutupi ketidakadilan Tuhan. Tak lagi dia akan menerbangkan doa sia-sia, tak...