****Malam hari, ketika dirinya sedang membaca bab materi yang akan dipelajari pagi nanti, tiba-tiba suara dering ponsel mengoceh konsentrasinya.
“Hallo bu. Assalamualaikum. Kenapa telfon Leya sore-sore?” katanya yang menyebut dirinya sendiri Leya setelah meraih benda pipih itu.
“Waalaikumsalam. Sore kamu bilang? Ale ah kebiasaan gak inget waktu. Lagi apa sih kamu. Ini udah jam sepuluh loh. Kamu bilang sore?”
Setelah mendengar penjelasan ibunya, buru-buru Leya menengok jam dinding. Dan benar saja, lagi-lagi dia tidak sadar waktu kalau dirinya sudah membaca beberapa buku sampai tiga jam lamanya. Leya meringis dengan kelakuannya itu.
Gadis itu terkekeh, “Leya lupa, bu. Ada apa emang, Leya lagi belajar soalnya. Makannya gak liat jam. Ah, pantesan kok berasa ngantuk ya.”
“Awas jangan gitu lagi. Ibu cuma mau nanya, ayah kamu kapan terakhir kali hubungin kamu?”
Leya berpikir sejenak, mengingat-ingat kapan terakhir kali ayahnya mengirimnya pesan.
“Lusa kalo gak salah, bu.”
“Yasudah, ibu cuma nanya itu aja. Kamu jaga diri baik-baik ya. Jangan makan yang pedes sama minumnya es, gak baik. Wasalamualaikum.”
Leya hanya bergumam dan menjawab salam dari ibunya. Selebihnya, dia hanya bergeming dan menyimpan dalam ingatan setiap kata-kata yang ibunya lontarkan.
Leya adalah gadis remaja yang saat ini sedang ditimpuk banyak sekali tugas dari sekolah. Hidupnya juga sama seperti gadis kebanyakan, kata lainnya gak jauh beda dengan ABG jaman sekarang. Hanya saja, Leya berbeda, dibalik sifatnya yang biasa saja, ada cerita kelam yang menutupinya sampai ke akar-akar. Sampai orang-orang tidak ada yang tau. Bahwa sosok Leya punya titik rapuh yang begitu kontras.
Aleya Ginata Zafira. Akrab di panggil Leya. Lahir di Yogyakarta, ibunya asli orang sana. Sementara ayahnya berasal dari Jakarta keturunan Minang. Ketika SMP Leya pindah ke Bandung, tinggal dengan nenek dan pamannya yang sudah lama menetap di sana. Jadilah sampai sekarang Leya berjauhan dengan kedua orang tuanya. Sampai-sampai, kedua orang tuanya pun berjauhan. Iya, ibu dan ayahnya sudah lama berpisah. Kira-kira, saat umurnya masih sangat kecil. Itu pun Leya dengar cerita dari neneknya. Leya tidak ingat sebagian apa yang terjadi kala itu. Dia hanya ingat, kalau ibu dan ayahnya pernah bertengkar hebat dan selanjutnya dia tidak tau apa-apa.
Jika membahas masalah itu, sebenarnya Leya tidak suka. Dia merasa seperti...seorang yang kesepian. Memang sih, tapikan Leya tidak kesepian seperti itu. Nyatanya, sampai sekarang dia tidak pernah menyalahkan siapapun atas penceraian kedua orang tuanya. Itu hak mereka. Dan sebagai gantinya, Leya yang merasa kehilangan atas semua.
****
Paginya, ketika matanya bersitatap dengan sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela, Leya bergegas bangun. Alih alih karena neneknya menggelitik kakinya yang tak kertutupi selimut.
“Neng, mandi sana, terus sarapan.” titah neneknya yang sedang membuka jendela bagian kanan.
“Iya, nenekku yang cantik.” Leya tersenyum dan mengecup kilat pipi neneknya. Lalu bergegas ke kamar mandi.
“Kamu mau diantar atau naik bus lagi?” tanya neneknya disela-sela sedang membereskan tempat tidur Leya.
“Naik bus!” jawab Leya yang sudah berada di kamar mandi.
****
Sudah lima menit menunggu di halte bus, akhirnya bus yang ditunggu-tunggu datang juga. Tanpa babibu Leya langsung masuk ke dalam meskipun sebelumnya dia merasa sesak karena harus berdesak-desakan.
Leya duduk bersandar pada punggung kursi, menyanggah kepalanya yang tiba-tiba merasa berat. Silau cahaya masuk melalui kaca jendela. Menyinari sebagian wajah mungil miliknya, membuat Leya menutup kedua matanya.
Bandung adalah kota kesukaan Leya, di sini ia bisa menghirup aroma atmosfir yang terasa beda dengan kota lainnya. Bandung baginya adalah tempatnya berpulang ketika ingatan menghampirinya. Menyakiti setiap kenyataan yang telah terjadi.
Bus yang ditumpangi Leya tiba-tiba berhenti mendadak. Membuat tubuh penumpang yang lain, termasuk Leya refleks terdorong ke depan. Otomatis menghantam kursi di depannya jika tak punya gerakan refleks yang bagus. Ibu-ibu dan anak sekolah yang lain sampai ikut mengumpat saking kagetnya.
Tapi anehnya kening Leya tak ikut terhantam ke kursi depan seperti yang lain. Karena tidak tau sejak kapan ada sebuah lengan yang terlihat kekar menghalang tubuhnya untuk bergerak ke depan.
Leya meneguk salivanya sebelum menatap pemilik lengan itu. Segaram sekolah, rambut yang disisir rapi, kulit yang tidak terlalu putih tetapi bukan sawo matang, bola mata hitam sehitam jelaga, hidung mancung dan, wajah tampan yang terlalu kontras jika menatapnya.
“Hai!” tiba-tiba dia menyapa Leya dengan cengiran di wajahnya. Membuat Leya tersadar kalau dia sudah menatap cowok di hadapannya dengan lama dan seksama.
“Untung refleks gue bagus,” katanya lagi sambil menjauhkan lengannya.
Leya menatapnya sekilas dengan senyum kikuk. Tidak tau harus berbuat apa. Tiba-tiba dibuat diam hanya karena cengiran cowok itu barusan.
“Setidaknya bilang makasih karna gue udah nolongin dahi lo yang gak jadi kejedot,” cowok itu berujar sarkastik tanpa melihat wajah Leya.
“Hah?”
Cowok itu menoleh menatapnya heran, “hah?”
Leya menggeleng cepat. “Maksudnya... makasih.”
“Nevermind,” jawabnya dengan senyum miring.
To Be Contiued
I didn't know what i write:(
YOU ARE READING
Dark - [On Going]
Teen Fiction🌷Ini tentang kelam, kenangan, dan rumitnya kehidupan🌷 a teenfiction by sweetdonnut Mereka sama-sama punya sisi kelam, kenangan dan alur cerita yang dirumit-rumitkan oleh takdir. Leya bertemu dengan Arsa, cowok baik yang mampu memikat banyak oran...