P A R T 04

40 2 0
                                    


****

“Ayah nanti jemput Leya kan, yah?” tanya Leya saat itu. Dia menatap pria paruh baya itu dengan lekat. Menanti jawaban yang belum juga dijawab ayahnya.

Teman-temannya sudah masuk ke dalam sekolah. Hanya Leya dan beberapa teman yang lain masih berdiri agak jauh darinya. Satpam yang selalu menutup-buka gerbang sekolah dengan sabar menunggu di pinggir pos, sembari memegang gerbang yang hendak ditutup sebab suara bel masuk sudah berbunyi. Kebetulan kelas 4A yang Leya tempati tidak jauh dari halaman sekolah, jadi dia bisa sedikit agak bersantai.

Fadil mengusap puncak kepala Leya sebelum menjawab. “Ayah harus jemput teman ayah di kantor, sayang. Leya naik ojek jemputan ayah aja ya?”

Leya menatap ayahnya tak suka. Bibirnya ia kerucutkan dengan lucu sebab kesal. Tapi tak urung Leya mengangguk terpaksa. Fadil tersenyum melihatnya, lantas mengecup pipi anak gadisnya dengan singkat sebelum beranjak pamit menuju tempatnya bekerja.

Belum genap tiga langkah Leya kembali berteriak memanggil ayahnya.

“Leya gak mau ayah sibuk terus! Besok harus ayah yang jemput Leya!” setelah berteriak seperti itu, Leya diam sekejap dan berlari masuk ke dalam sekolah.

Akhir-akhir ini ayahnya selalu mementingkan dirinya sendiri daripada Leya. Mulai dari telat menjemput, pulang larut malam, dan seperti sekarang ayah Leya membuat gadis itu pulang sendiri nanti siang.

Fadil mematung menatap anak semata wayangnya yang sudah tidak menampakkan wajahnya lagi. Tiba-tiba hatinya dipanah rasa bersalah. Dari sana dia tersadar, bahwa hatinya telah berlabuh terlalu dalam pada seseorang selain istri dan anaknya di rumah.

****

Leya membuka matanya. Keringat dingin menghiasi dahinya sejak tadi. Dalam mimpi, dimensi itu layaknya kejadian nyata. Memaksanya agar terus mengingat-ingat detik di mana dirinya mulai merasa sendiri.

Leya melirik jam beker di atas nakas yang menunjukkan pukul 12.49. Sudah, hancur sudah harapan bahwa dia bisa tidur kembali dengan nyenyak. Setiap dia bangun tengah malam Leya tak pernah lagi bisa tidur. Jadi Leya beranjak dari kasurnya seperti biasa, melangkah ke luar kamar untuk meminum segelas air susu yang selalu tak pernah berhasil membuatnya bisa lagi tidur. Setelah meminum segelas susu murni, Leya kembali lagi ke kamar. Tidak melanjutkan tidurnya. Cewek itu malah duduk di kursi belajar sambil menyilangkan kakinya ke atas meja. Meratapi kembali mimpi yang sempat membangunkan Leya dari tidurnya.

Cewek itu mengambil ponsel. Mengecek apakah ayahnya tadi malam menghubunginya atau tidak.

See? The room notices, empty. Hanya ada pesan Whats App dari Ratu yang tak sempat terbaca.

Leya menghela napas lalu mendial nomor sesorang yang selama ini selalu Leya andalkan kepercayaannya. Suara nada sambung terdengar namun tidak langsung dijawab. Sampai pada ttuuutt ke lima, suara serak khas bangun tidur menghiasi pendengaran Leya.

“Gue bangunin lo ya?” Leya meringis tidak enak.

Orang itu tidak menjawab. Hanya ada suara seprai yang bergesekan dan napas berat seseorang dalam panggilan itu.

“Lo tidur aja lagi deh. Maafin gue udah ganggu lo tidur. Gue gak—”

Leya, mimpi buruk gak bakal ganggu kehidupan nyata lo. Jadi please gue mohon, lo tidur dan besok lo bakalan lupa sama mimpi itu.”

Dark - [On Going] Where stories live. Discover now