Tale of Us; Donghyuk

276 27 3
                                    

Aku memandang langit-langit kamar dalam diam. Masih sama seperti malam-malam di bulan Desember sebelumnya; dingin dan sepi. Pikiranku melayang ke mana-mana. Gadis itu sedang apa sekarang? Minum kopi panas? Bergelung dalam selimut? Menggosok-gosokkan tangannya di perapian? Atau membaca buku-buku angst-romantic baru koleksinya?

Sialan. Waktu sudah berjalan tiga bulan, dan aku masih memikirkannya.

Gadis itu bukan gadis biasa.

Kang Hanbyul. Namanya berarti satu bintang. Bagiku, ia lebih dari sekedar bintang. Wajah cerianya, senyum hangatnya, tawa riangnya, ucapan bijaknya, candaan lucunya. Ya Tuhan, gadis ini membuatku jatuh cinta setiap hari.

Bagiku, menemukan seorang Kang Hanbyul seperti menemukan duplikat diri sendiri. Kami memiliki terlalu banyak kesamaan, yang tak pelak menjadi salah satu alasan kami akhirnya berpacaran.

Kami menghabiskan waktu berkencan di tempat-tempat yang di mana kami bisa melakukan kegiatan yang kami sukai berdua. Di tempat-tempat yang kami hapal di luar kepala, bahkan para petugas setempat mengenal kami dan kebiasaan kami.


Sore di hari Sabtu biasa kami habiskan di pojok kafe yang berada di dekat rumah Hanbyul. Aku akan menjemputnya menggunakan mobil, kemudian pergi ke kafe dengan berjalan kaki, membicarakan apa saja—biasanya terkait buku apa yang akan kami baca dan apa hal yang membuat kami tertarik akan hal itu. Sesampainya di sana, kami akan duduk di sofa panjang yang ada di pojok kafe, dengan pemandangan jalanan yang terlihat dari jendela besar.

Aku akan memesan jus alpukat, ia dengan kopi dingin favoritnya. Aku sibuk dengan buku bertemakan sejarah, ia dengan novel angst-romantic kesukaannya. Aku menyenderkan kepala di dinding, sementara ia berbaring dengan kepalanya di pahaku, sesekali mendusel-duselkannya, mencari posisi yang nyaman untuk membaca.


Walau kami sama-sama suka membaca, kalian dapat dengan jelas membedakan mana buku milikku dan milik Hanbyul, selain dari tema-tema berat seperti detektif dan sejarah milikku, dan tema-tema ringan seperti angst-romantic atau fluff-comedy atau family drama milik Hanbyul. Bukuku selalu disampul rapi maksimal seminggu setelah dibeli, sementara milik Hanbyul akan sedikit berdebu karena ditumpuk di lemari buku yang berada di sudut kamarnya. Aku hanya akan menulis 'Kim Donghyuk' beserta alamat e-mail—berjaga-jaga mana tahu hilang—di halaman depan buku, sementara Hanbyul akan menorehkan tanda tangannya seakan-akan ia penulis buku itu, menulis tempat dan tanggal dibelinya buku itu, kemudian secarik pesan—entah apa. Aku akan menandai batas bacaanku dengan pembatas buku yang tersedia, sedangkan milik Hanbyul pasti hilang dan ia memilih untuk melipat ujung halaman. Halaman-halaman bukuku bersih seperti baru dibeli—bahkan mungkin bisa dijual jika aku mengadakan garage sale, sementara milik Hanbyul penuh garisan stabilo atau terkadang pulpen biasa yang menandai kutipan favoritnya, juga tumpahan kopi yang di minumnya.

Terkadang, ketika hari mulai beranjak malam, minuman kami telah kandas, bacaan masing-masing belum selesai, kami terlelap. Kemudian dibangunkan oleh pelayan kafe karena sebentar lagi kafe akan ditutup. Kemudian kami akan tertawa canggung, meminta maaf. Sepanjang jalan, kami akan terkekeh membayangkan bagaimana buruknya wajah kami saat tidur, dan buruknya lagi dilihat oleh pelayan kafe. Aku yang mendengkur pelan, sementara ia yang tidur dengan mulut terbuka.



Suatu Sabtu yang entah kapan, Hanbyul menarik buku yang menutupi wajahnya, kemudian menatap lekat-lekat ke arahku yang masih sibuk membaca.

"Dong-ah."

Aku menutup setengah bukuku—membatasinya dengan jari telunjuk, kemudian menatap balik ke arahnya,"Hm?"

KONSTORY; iKONWhere stories live. Discover now