2. Pearl Harbour

583 76 15
                                    

"Sasuke tidak terlalu suka makanan manis, Sensei."

Naruto memberitahuku soal sepotong kue beraroma kopi yang disajikan di atas piring putih yang baru mendarat di hadapan Sasuke. Ia sama sekali tidak terlihat kaku, malahan ia mencoba membawaku pada usianya. Sungguh aku tidak merasa awkward dengan temu kangen guru-murid ini.

Aku memperhatikan muridku yang satunya. Sasuke pasti menjadi seseorang yang sangat teliti. Bukankah keluarganya menjalankan perusahaan advertising? Aku tidak akan pernah lupa ketika Sasuke mengikuti olimpiade matematika, saat itu sekolah pertama kalinya mendapat penghargaan tingkat nasional. Meski tidak sampai di tingkat internasional, instingku sebagai guru mengatakan bahwa ia adalah orang yang sukses.

Oh, sejak kapan ia berkacamata?

"Apakah Sensei baru pulang mengajar? Aku pikir guru sekolah asrama akan tinggal di asrama juga." lanjut Naruto sambil mengunyah pie-nya.

"Aku tidak tinggal di asrama untuk bulan ini. Istriku hamil lagi. Haha." Sial, aku memang terbawa suasana sampai aku menertawai diriku sendiri.

"Wow. Sensei, kau akan mendapat bayi lagi?" Kali ini Sasuke bertanya, memecahkan wajah datarnya dengan matanya yang melebar. Dia seperti orang yang baru menonton acara fakta dan realita.

"Memangnya kenapa dengan bayi?" tanyaku.

"Tidak apa-apa. Aku hanya tidak suka anak kecil, Sensei"

"Lampu gantung di rumahnya nyaris jatuh karena pesawat mainan, Sensei," celoteh Naruto dengan senyuman yang lagi-lagi aku harus mengakuinya bahwa senyuman itu dapat membuat orang lain ikut bahagia. "Sasuke tidak marah karena lampu gantungnya, tetapi karena keponakannya yang bermain dengan pesawat itu malah menangis sambil berteriak-teriak melihat wajah seram Sasuke. Hahaha!!"

Pesawat mainan, ya? Dulu aku juga punya pesawat mainan yang tidak bisa terbang. Pesawatku dulu memiliki baling-baling di hidungnya, mengingatkanku pada masa Perang Dunia.

•••
Orang Tua Kedua
Chapter 2: Pearl Harbour
•••

Setelah selesai membuat alur peristiwa Pearl Harbour sambil bercerita, aku memberi waktu kepada murid-muridku untuk menyalin apa yang sudah kutulis di papan tulis. Alur peristiwa Pearl Harbour seharusnya tidak sesederhana itu, kecuali bila audiensmu adalah anak-anak usia 11 hingga 12 tahun. Mereka hanya perlu mengerjakan soal dengan benar selama ujian nanti agar mereka dapat lulus.

History is written by the victors.

Aku tahu persis kalimat itu sejak aku mengetahui ada beberapa hal yang tidak boleh disebarluaskan dalam sejarah manusia. Anak-anak sekolah tentu hanya diharuskan untuk mengetahui dan menghafal, lalu dapat menjawab pertanyaan dalam ujian. Ada banyak hal yang hanya dibicarakan dalam lingkungan akademik tanpa dapat bocor ke dunia pendidikan. Serba salah sebenarnya karena aku guru dan punya tugas mentransfer ilmu ke muridku, namun hal itu dibatasi oleh kurikulum.

Kembali perhatianku pada gerombolan si berat yang dipimpin oleh seorang anak urakan yang siapa lagi kalau bukan Naruto. Mereka mendapat posisi khusus di kelas, dalam artian mereka duduk di dua barisan paling depan. Aku berusaha membantu mereka lulus ujian nanti, terutama sekali untuk Naruto. Ia sungguh butuh perhatian lebih untuk lulus.

Naruto tampak menggoreskan penanya di bukunya, tetapi matanya tidak sedikit pun melirik papan tulis. Sesaat kemudian ia merobek kertas dari bukunya dan meremasnya, sebelum ia memperhatikan papan tulis dan mulai menulis kembali di bukunya.

Bolehkah aku curiga terhadap apa yang ditulisnya di remasan kertas itu?

"Sensei." Seorang murid yang duduk paling belakang mengangkat tangannya untuk memanggilku. "Apa tulisan yang ada di sebelah gambar bendera Amerika?"

Orang Tua KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang