12. Octavius Caesar

431 65 54
                                    

Beberapa hari setelah aku mempertemukan Kushina dan Keluarga Uchiha, aku merasa semua dalam keadaan baik-baik saja. Bukan dalam artian aku tidak memiliki masalah, tetapi rintangan yang aku lewati membuatku dengan percaya diri mengatakan bahwa aku telah melakukan yang terbaik.

Aku tidak akan pernah tau apa tepatnya yang membuat Kushina begitu benci, atau setidaknya ada hal yang membuatnya tidak menyukai anaknya sendiri. Membatasi diri sangat diperlukan ketika sedang menyelesaikan masalah dengan perempuan dewasa, terutama sekali dengan orang seperti Kushina. Mikoto pun tidak menjelaskan permasalahannya secara detail, tapi kemungkinan Naruto tidak disukai oleh ibunya karena terlalu mirip dengan ayah biologisnya. Drama memang dan aku sulit menalarnya. Bila benar Naruto pernah dibawa ke seorang psikiater, kurasa Kushina-lah yang harusnya diterapi.

Tapi kini sudah bukan masalah besar lagi. Naruto sudah jauh lebih baik. Ia tersenyum, tertawa, becanda, belajar bersama, bertanya, menggaruk kepala, menguap di kelas. Semua itu tak luput dari mataku. Teman-temannya semakin banyak. Berani untuk menawarkan bantuan bagi guru dan temannya. Kushina pasti sudah mengubah cara didiknya dan itu membuat Naruto semakin percaya diri.

Aku menggambar sebuah kapal trireme di buku jurnalku dan menulis frasa; 'March! March! March!' yang banyak. Selesai menggambar, aku meletakkannya di sudut meja dan menyambar novelku lagi untuk menjadi pengantar tidur yang menyebalkan. Sebenarnya aku tidak suka novel romance seperti ini, dan kalau ibuku tidak memaksaku untuk membacanya, aku juga tidak mau meliriknya sedikit pun. Ibuku bilang, 'Wuthering Heights' bagus untukku yang tidak pernah terlibat masalah percintaan. Bagiku cinta tidak perlu dipelajari karena pelajarannya butuh waktu seumur hidup. Sama seperti belajar profesionalitas, menjadi guru misalnya.

•••

Hari Jumat, lebih dari satu minggu setelah pertemuanku dengan Keluarga Uchiha dan Keluarga Uzumaki, aku mendapat pemandangan mengundang tanya. Sekumpulan murid berkumpul di depan papan pengumuman dan ada beberapa murid lainnya yang meninggalkan kerumunan itu dan menepuk pundak temannya.

Aku penasaran. Apakah ada info baru?

Tentu saja info baru. Tulisan di kertas yang menjadi perhatian murid-murid itu adalah tulisan Asuma-senpai. Tunggu. Itu kan....

Aku mendengar Neji memberi selamat pada saudara perempuannya. "Selamat, Hinata. Kau berhasil."

Lalu ada Sasuke juga di sana. Dia terpaksa berjinjit untuk mengintip kertas info itu tapi rupanya seseorang berbadan bongsor menghalangi pemandangannya. Siapa lagi kalau bukan Naruto?

Naruto berbalik badan. Wajahnya sangat sangat ceria. Dia senang, bangga dan merasa berhasil. Sasuke pun ikut merasakan kebahagiaan itu.

"Kita berhasil, Sasuke!!! Kita akan presentasi!!!!"

Pekikan itu terdengar seperti nyala kembang api tahun baru. Spektakuler. Naruto dan Sasuke menjadi salah satu kelompok penelitian terbaik tahun ini dan mereka akan presentasi di depan para orangtua minggu depan.

Aku meninggalkan kerumunan anak-anak itu. Air mataku nyaris saja keluar kalau aku tidak langsung mengalihkannya pada persiapan kuis untuk bahan ajarku dalam beberapa jam ke depan. Pagi ini jadwal mengajarku kosong dan aku masih punya waktu untuk merenungkan keberhasilan murid-muridku.

Terutama untuk Naruto yang sudah jungkir balik membangun kepercayaandirinya.

Aku percaya bahwa guru adalah orangtua kedua, seperti aku menghormati Sarutobi-sensei yang berhasil mengeluarkanku dari masa keterpurukan. Sekarang aku bisa menempatkan diriku sebagai ayah dari Naruto, tak peduli bagaimana dia menganggapku, tetapi aku yakin ikatan batin adalah ikatan terkuat di dunia. Semestinya, aku tidak boleh mengelak ketika aku mengintip Naruto menggandeng Sasuke ke arah sini, ke kantor guru. Aku memilih masuk ke toilet guru dan mengunci pintunya. Aku menangis di sana, tak tahan dengan segala emosi yang bisa meledakkan hatiku.

Orang Tua KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang