2 | Kenalan

201 41 40
                                    

"Mau makan apa?" tanya Arga setelah mereka duduk di luar warung  tempat cowok itu memarkirkan motornya tadi.

"Eh? Umm, nasi goreng aja, jangan pedes," jawab Andira. Bisa-bisa ia sakit perut jika makan pedas di pagi hari.

Arga mengangguk mengerti. Tak lama setelah itu, seorang wanita paruh bayaーyang Andira duga pemilik warungーkeluar dari dalam warung, menghampiri meja mereka dan menyambut dengan senyuman ramah, yang sangat hangat.

"Eh, Den Aga. Tumben, pagi banget kesini. Belum sarapan, tah, di rumah?" tanya wanita paruh baya itu dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya. "Mau pesan apa?" lanjutnya lagi.

"Iya, Bi Iyem. Udah, sih, tadi. Ini mampir bentar aja nunggu upacara selesai, sekalian nemenin dia makan," jawab Arga sambil mengarahkan dagunya ke arah Andira. "Nasi goreng satu jangan pedes, sama es teh manisnya dua ya, Bi."

"Siap, Den." balasnya, lalu menegur kehadiran Andira, "Ini Neng siapa namanya? Geulis pisan, euy." tukas wanita paruh baya ituーBi Iyem namanya, jika didengar dari cara Arga memanggilnyaーmasih dengan senyum yang tak bosan menghiasi wajahnya yang mulai menua itu.

"Namanya... eh, siapa ya? Gatau saya, Bi. Masa tadi diajak kenalan dianya nggak mau. Sombong banget 'kan, ya?" sahut Arga tiba-tiba, malah menjawab pertanyaan Bi Iyem yang niatnya ditujukan pada Andira.

"Nanti kalo cowok gak ada yang mau sama dia, gimana coba?" celetuk Arga lagi, sambil melirik ke arah Andira, tersenyum miring.

Bi Iyem manggut-manggut, lalu kembali bertanya, "Pacar kamu tah, Den?"

Ah, Bi Iyem. Masih saja menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Bukannya Arga saja tidak tahu nama Andira, bagaimana mungkin bisa jadi pacarnya?

Andira pun segera menepis jauh pertanyaan terakhir yang sempat melintas di benaknya sesaat. Amit-amit, jangan sampai, rutuknya dalam hati.

Arga mengerutkan dahinya. Sepertinya ia juga melontarkan pertanyaan yang serupa seperti Andira dalam benaknya. "Kalo pacar... ya, jelas bukan, Bi." ujarnya, masih melirik ke arah Andira.

Lalu melanjutkan kalimat yang tak pernah Andira duga akan keluar dari mulutnya itu, "Sekarang sih belum, tapi nggak tau kalau besok. Doain aja, Bi." lanjut Arga melirik Andira sambil terkekeh.

Andira yang mendengar ucapan nyeleneh itu membelalakkan matanya. Lalu menginjak kaki Arga sebagai hukuman telah bicara yang tidak-tidak.

"Aw!" pekik Arga.

Bi Iyem yang melihat pertikaian kecil itu hanya bisa ikut tertawa. Biasa, lah. Anak muda, maklumnya. "Yaudah atuh Den, Bi Iyem bikin dulu pesanannya ke dapur," pamitnya.

Setelah Bi Iyem beranjak pergi, baru lah Andira buka suara, "Lo apa-apaan sih, tinggal bilang bukan, segala ditambahin yang nggak-nggak!" protesnya tidak suka.

Amit-amit pacaran sama cowok aneh bin sinting kayak Arga! rutuknya lagi dalam hati.

Arga hanya cengengesan, dan lanjut menggoda cewek di hadapannya itu. Masih betah membuat wajah cewek di hadapannya itu memerah seperti tomat. Dan diam-diam menikmati wajah kesalnya yang terlihat menggemaskan di matanya.

***

"Nih, Bi." Arga menyodorkan selembar uang berwarna biru. "Kembaliannya ambil aja." lanjutnya lagi.

"Wah, ini masih pagi loh, Den. Nanti kalau kamu mau jajan lagi gimana? Jangan, ah." tolak Bi Iyem halus, lalu buru-buru membuka laci tempat uang hasil jualannya itu disimpan, mencari beberapa lembar uang untuk kembalian Arga.

"Udah Bi, gapapa, ambil aja. Rejeki gak boleh ditolak, kan?" tawar Arga lagi, memberikan senyuman manisnya sebagai tanda bahwa ia dengan tulus dan ikhlas membayar lebih pada Bi Iyem. Toh, makanan dan minuman Bi Iyem tak pernah mengecewakannya. Jadi, tak apa, kan?

Disastrous BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang