3 | Dihukum

148 21 12
                                    

Jam masih menunjukkan pukul 6 lewat sedikit, tetapi Andira sudah sampai di sekolah. Setelah ia membayar ongkos Pak Slamet, ojek langganannya, Andira segera melangkah masuk ke dalam sekolah barunya itu.

Koridor sekolah masih sepi sekali. Andira sempat melirik ke arah ruang OSIS yang berada di pojok kanan sekolah, lampu ruangan itu menyala. Pasti para anggota OSIS sudah datang pagi-pagi sekali untuk menyiapkan segala keperluan MOS hari kedua.

Sedari tadi, Andira hanya berjalan tanpa arah. Kakinya bergerak begitu saja. Tiba-tiba ia sudah di depan toilet. Andira linglung, ia kesasar, tak tahu sedang berada di sekitar mana. Seharusnya ia sudah mulai sedikit mengenal lingkungan sekolahnya itu. Tapi, karena kemarin ia membolos dengan Arga, jadi lah ia tak tahu apapun. Dan harusnya ia sudah masuk kelas dari tadi. Tapi, ia masuk kelas mana?

Andira membalikkan badannya, berniat menuju papan mading dekat lobby sekolah untuk mencari tahu di kelas mana ia berada, dan tiba-tiba—

Bruk!

Tubuh Andira merasa menabrak sesuatu. Dan, benar saja. Ia menabrak seorang ... cowok tampan dengan almameter yang melekat di tubuhnya. Pasti dia anggota OSIS, dan anggota OSIS berarti ... kakak kelas?! Astaga, setelah MOS hari pertama ia bolos karena telat, sekarang di MOS hari kedua ia harus menabrak senior tampan?! Buruk sekali nasibnya di sekolah baru ini.

"Eh—maaf, saya gak sengaja nabrak, kak... Ra-fa-el?" Andira tiba-tiba meminta maaf dan refleks mengeja nama yang tertera di badge almameter kakak kelasnya itu. Benar-benar refleks yang tidak baik.

"Ah? Eh, saya juga minta maaf. Maklum, lagi buru-buru," balas Rafael yang tiba-tiba entah kenapa mengusap tengkuknya. Lalu melanjutkan kalimatnya, "Kamu ... kok bisa tahu nama saya?"

Aduh! Mampus, mampus, mampus. Tamat riwayat gue! Kenapa gugupnya harus kumat sekarang, sih? Sial, malu-maluin banget! batin Andira panik.

"Itu, kak. Dari badge almameter kakak. Maaf ya, kak, kalo terkesan nggak sopan, itu saya refleks." Entah kenapa Andira tiba-tiba jadi sedikit gugup dengan kakak kelas di hadapannya itu.

"Oh, iya. Santai aja," balas Rafael melirik ke badge almameternya lalu tertawa kecil, yang sempat membuat Andira tertegun beberapa saat.

Rafael menengok ke belakang Andira, lalu kembali menatap wajah adik kelasnya itu. "Habis dari toilet?" tanya Rafael basa-basi.

Andira berusaha mengendalikan dirinya. "Nggak, kak. Saya lagi nyari kelas saya."

"Oh, mau saya bantu cari?" tawar Rafael.

"Boleh, sih... tapi ngerepotin nggak, kak? Bukannya kakak lagi buru-buru, ya?" tanya Andira memastikan.

"Oh, iya. Gak apa-apa sih, urusan saya belakangan. Saya kan OSIS, nolongin murid baru yang lagi butuh bantuan juga penting, 'kan?" ucap Rafael sambil tersenyum.

"Oh, gitu. Yaudah, boleh deh, kak."

"Namanya siapa?"

"Saya, kak?" tanya Andira balik, memastikan bahwa pertanyaan yang dilontarkan Rafael benar ditujukan padanya.

"Bukan, tukang satpam di perumahan kamu. Iya lah, emang disini ada siapa lagi selain saya sama kamu?" kekeh Rafael.

Andira malu sendiri, lalu buru-buru menjawab, berusaha menutupi rasa malu serta gugupnya yang sudah mulai mengurang. "Andira Shenika."

"Yuk," ajak Rafael sambil menarik lengan Andira lembut.

"Eh—tunggu, kak," ucap Andira tiba-tiba, refleks menarik tangannya yang digenggam Rafael.

Rafael yang melihat Andira yang agak tampak risih saat ditarik tangannya itu langsung meminta maaf akan kelancangannya telah menarik tangan Andira tanpa izin. "Oh—sorry, Ra."

Disastrous BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang