Seoulite #2

3.1K 477 25
                                    

Empat hari sudah Irene berada di rumah mewah itu. Dan selama empat hari, Irene tidak pernah lagi melihat wajah Mino. Tidak pernah.

Ia melangkah menyusuri rumah barunya yang sepenuhnya belum ia jelajahi. Satu-satunya hal bagus dari rumah ini adalah fasilitasnya. Perpustakaan luas, kolam air hangat, dan sebuah ruang billiard menjadi tempat untuk menghabiskan waktu.

"Apa nona tidak bisa tidur malam ini?" Pertanyaan itu membuat langkah kaki Irene terhenti.

Irene mengangguk "Aku ingin menghirup udara segar sebentar."

"Ah begitu rupanya. Disekitar sini ada taman bunga, apa nona ingin mencari udara segar disana? Mari saya antar." Tawar Dahae ahjumma.

"Tidak apa. Tunjukkan saja dimana."

"Dari sini nona hanya perlu berbelok ke arah kanan."

"Baiklah. Terima kasih, selamat malam."

"Selamat malam nona."

Irene segera menyambung langkah kakinya dengan pikiran yang tak menentu. Tak menentu kemana arahnya.

Irene segera menemukan taman itu. Taman yang cukup luas dan terdapat danau kecil didalamnya. Airnya begitu jernih dan menenangkan.

Bisa dikatakan, taman itu sangat indah dipenuhi dengan bunga lily of the valley. Irene menatap sekitar, matanya menangkap sebuah pintu berwarna cokelat.

Sebuah pintu yang membuat Irene penasaran untuk membukanya. Pintu terbuka dan Irene masuk kedalam sana.

Ia menutup pintu dan membalikkan tubuhnya. Seketika tubuhnya membeku. Matanya memandang penuh pada beberapa foto yang terpampang di dinding. Foto seorang wanita cantik dengan senyumnya yang manis, batinnya mulai bertanya. Siapakah foto wanita cantik ini?

Seketika itu pula Irene menyadari bahwa ruangan ini adalah ruang rahasia Mino, kakaknya.

Ia mulai melangkah kedalam dan tanpa sengaja kakinya menabrak sebuah album foto yang dibiarkan tergeletak begitu saja diatas lantai.

Ia membuka album foto itu. Pada halaman pertama terpasang jelas sebuah potret yang benar-benar menggambarkan kebahagiaan seorang wanita dengan anak laki-lakinya berada di sebuah taman. Beralih ke halaman lain, matanya menatap foto wajah yang tak asing, wajah Mino yang diambil ketika Mino merayakan ulang tahun nya yang ke-19.

Irene tersadar bahwa ekspresi wajah Mino dalam foto itu lebih terlihat bahagia dibanding saat ia bertemu dengan Mino untuk pertama kalinya empat hari yang lalu.

Tangan Irene berhenti ketika ia membuka halaman pada lembar album foto selanjutnya, sebuah potret keluarga bahagia yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak laki-laki mereka.

Ia segera menutup foto album itu. Dadanya terasa sesak.

Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga ini?

"AAAKHHHHHH" suara teriakan seorang pria terdengar keras memengkakan telinga.

Suara itu mengusik ketenangan hati Irene.

Irene mengerjap lalu berlari kecil kedalam rumah. Karena terlalu panik, ia sampai menabrak beberapa barang antik hingga menciptakan bunyi mengganggu telinga.

"Arrrghhh!!" Sekali lagi suara teriakan itu terdengar.

Pikiranya melayang ketika ia melihat Dahae ahjumma dengan panik berlari membawa nampan masuk ke dalam sebuah kamar. Tak lama ahjumma keluar dengan terisak melangkahkan kakinya menuju arah dapur.

Dengan ragu, Irene menghampiri Dahae ahjumma.

"Ahjumma, ada apa?"

Air mata kesedihan pun dapat Irene lihat dengan jelas dari wajah Dahae ahjumma yang terisak sembari menghapus air mata dengan sebelah tangannya.

"Aku jelas mendengar suara teriakan seorang pria. Apakah itu suara Mino oppa? Kapan ia datang? Bukankah ia tidak berada dirumah beberapa hari ini?"

Irene mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Sesuatu mengusik Irene, matanya terbelalak ketika ia melihat nampan berisi obat-obatan penuh. "Bukankah ini obat anti depresi?" Ucapnya lagi.

Dahae ahjumma masih terdiam.

"Sudah tujuh tahun tuan Mino bersikap seperti ini nona." Ucap Dahae Ahjumma

"Tujuh tahun lalu, dokter mengatakan tuan Mino mengalami trauma hebat karena kematian ibunya. Ibunya bunuh diri menembakkan kepalanya karena mengetahui suaminya telah berselingkuh dan menikah secara diam-diam dengan ibu anda..." Daehae ahjumma menarik napas panjang.

Mendengar Dahae ahjumma menyinggung tentang ibunya membuat kaki Irene lemas.

"Sejak saat itu tuan Mino merasa hidupnya hancur, ayahnya bahkan tidak pernah mendampingi tuan Mino saat pemakaman ibunya. Tuan Mino menanyakan keberadaan ayahnya namun kaki tangan ayahnya memukuli dan menganiaya tuan Mino berkali-kali." Ahjumma kembali terisak.

"Bahkan tuan Song Jae Ho lebih memilih untuk tinggal dengan ibu anda dibandingkan bersama tuan Mino yang saat itu sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya."

Kaki Irene terasa sangat lemas sekarang. Ia tak sanggup mendengarkan lebih lanjut cerita Dahae ahjumma. Sebegitu trauma kah pria itu?

Apakah ia dan kehadiran ibunya dalam hidup Mino membuat Mino benar-benar menderita?

Apakah ia dan ibunya telah mengubah kebahagiaan seorang anak menjadi kesedihan dan trauma yang mendalam?

"Tapi saya tidak pernah yakin bahwa nyonya bunuh diri. Saya melihat jejak seseorang di kamar nyonya."

Ahjumma menatap Irene.

"Maafkan saya sudah berbicara terlalu lancang nona, saya tidak sanggup melihat tuan Mino menahan kepedihannya terus menerus."

Setelah mengatakan itu Dahae ahjumma melangkah tanpa rasa ragu.

Hati Irene begitu sakit mendengar sepenggal kisah masa lalu Mino yang begitu memilukan.

Irene mengingat potret-potret bahagia di ruang rahasia Mino. Apakah ia membuat Mino sangat menderita?

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ibunya tega menikah dengan laki-laki yang sudah beristri?

Itulah pertanyaan yang berputar dalam benak Irene.

Irene tak tahu siapa yang harus ia salahkan.

Apakah dirinya ataukah orangtuanya?

SEOULITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang