[Author's Pov]
Hening menguasai. Tak ada satupun diantara keempat insan itu yang bersedia membuka percakapan. Denting yang berasal dari gesekan piring dan sendok yang beradu lebih sering mengisi. Jeolla yang sejujurnya sama sekali tidak nyaman akan keadaan ini, bergerak resah di tempatnya duduk. Terlebih menyadari makhluk paling berisik diantara mereka mengunci bibir berbalut lip tint ala anak muda itu rapat-rapat. Miki si gadis itu lebih tertarik pada Iphone 7+ miliknya. Mark yang duduk dihadapannya juga asyik dengan ponselnya walau tangan kanannya sibuk dengan sendok, dan tangan kirinya sibuk meng-scroll sesuatu. Tak seperti kekasihnya yang makan begitu lahap sampai lupa dengan siapa ia berpijak malam ini. Harusnya ini makan malam Mingyu dan Jeolla jika tanpa sengaja mereka bertemu Mark dan Miki. Harusnya juga Jeolla ingin mengatakan semuanya pada kekasihnya itu. Namun sepertinya takdir masih belum mau segalanya terungkap. Mungkin karma belum ingin menghukumnya. Atau masih menyembunyikan dirinya dan menyiapkan suatu yang lebih besar.
"Dari mana kalian berdua? Aku tidak menyangka akan bertemu kalian berdua disini." Suara bass Mingyu akhirnya terdengar setelah meneguk habis air putih yang tersaji sambil mengelap bibirnya dengan serbet. Mungkin juga mengalah, mencoba mencairkan suasana canggung ini. Mark menyinggungkan senyuman tipis, lebih seperti smirk. "Aku membeli kopi di daerah Gangnam, dan aku melihat Miki bersama-" Mark menghentikan kalimatnya. Berdehem sejenak. Miki sadar akan maksud deheman Mark. Ia mengangkat kepalanya. Melirik Mark dengan mata sipitnya.
"Dia hanya temanku." Acuh gadis keturunan Jepang itu. Mark terkekeh. "Ciuman itu hanya sebagai sahabat?" Ejeknya berlebihan.
Pria berkulit tan yang duduk disamping Jeolla mendelik. Siap memuntahkan emosinya, "Apa itu ciuman, huh? Demi Tuhan kau masih sekolah!"
"Bukan apa-apa! H-hanya saja ia mencium pipiku." Telak! Suara 5 oktaf Miki berubah menjadi cicitan hamster. Pipi putih gadis itu bersemu merah. Sedang Mark tertawa menang akan reaksi Mingyu dan tingkah Miki. Menang akan kakak adik itu.
"Hei, pipi adikku!" Mingyu menangkup pipi adiknya. "Itu menyebalkan."
"Ini sakit!" Miki mencubit tangan pria Kim itu. Melepaskan pipinya dari tangan Mingyu. Lantas mengusap pipinya.
Jeolla memilih diam. Hanya senyuman dan tawa kecil yang terkadang menghiasi bibirnya. Tak ada komentar. Ia senang melihatnya, tapi benci jika ini akan berakhir. Terlebih jika ialah alasannya. Kadang saat kita melihat sebuah kebahagiaan, kita ikut merasakannya. Sampai enggan merusaknya walau sedikit. Hingga keinginan untuk menghilang diantara mereka terasa lebih baik daripada menghancurkan. Itu terus berputar dalam kepala Jeolla. Keinginan untuk lari. Hilang. Lenyap dari sisi mereka.
Tapi, bukankah itu sama saja lari dari masalah?
"Kenapa kau diam saja, hm?" Tangan bermassa Mingyu mengusap puncak kepala gadisnya. Menyadarkan Jeolla dari khayalan bodohnya. Iya, benar khayalan. Pergi menjauh dari orang-orang yang terlampau kita sayangi adalah suatu khayalan belaka. Karena nyatanya diri ini juga ikut pergi bersamaan dengan hilangnya mereka dari hidup kita.
Jeolla berusaha menampilkan senyuman terbaiknya. "Aku hanya sedikit lelah."
Ada keraguan tersendiri yang Mingyu lihat dibalik senyuman yang Jeolla beri. Tak sedikit Mingyu yang tahu bahwa sepertinya ada yang ingin gadisnya katakan, namun berhubung kehadiran Mark dan Miki menginterupsi mereka, mungkin lain kali Mingyu akan bertanya. Toh, ia tak mau memaksa kehendak seseorang untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi meskipun keingintahuan Mingyu kadarnya tinggi. Akan lebih baik jika ia mengikuti kemauan Jeolla sekarang.
"Baiklah, habiskan makananmu lalu aku akan mengantarmu pulang." Jeolla lantas menggeleng. Mingyu mengernyit heran. Ada sebuah penolakan besar disana. "Aku akan memesan taksi, kau pulanglah bersama Miki."
KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA
FanfictionKepingan masa lampau bagai tali pengikat, yang dengan sukarela membelenggu tiap-tiap ciptaan nyata. Membutakan, kadang pula menghancurkan. Mengikis lapisan dalam diri yang mencoba lepas darinya. Terikat secara kuat dalam stigma, yang membentuk luban...