Unforgotten

213 22 0
                                    


Hari-hari Elena sangatlah membosankan. Ia tidak menemukan adanya kenikmatan yang dijanjikan Kloto dengan tinggal disitu. Meski Reinhart memang sangat baik dan memanjakannya dengan semua hal yang bisa ia sediakan. Apalagi pria itu adalah pemimpin tiga wilayah. Jadi tidak ada yang tidak bisa ia miliki.

Tapi Elena jadi merasa bersalah memakaikan dirinya semua perhiasan yang merupakan hasil rampasan itu. Reinhart tidak memberitahunya, tapi Elena tahu kalau Reinhart banyak berperang.

Bahkan hari itu juga, Reinhart kembali berperang untuk merebut sebuah kerajaan kecil dekat hutan wilayahnya. Kabarnya perang itu terjadi hanya karena putri kerajaan itu memetik buah beri di dalam hutan Reinhart. Sekarang, Elena malah membenci tuan rumahnya itu.

"Yuna apakah tuan selalu seperti itu?" Tanya Elena yang membantu Yuna memetik beberapa bunga untuk meja kerja Reinhart.

"Iya, nona, tuan sangat suka berperang. Ia akan membuat alasan, sekecil apapun untuk memulai perang dengan yang lain." Elena mendengus, kecewa mendengar jawaban itu.

"Lalu selirnya? Datang darimana?"

"Dari Nirvana, nona. Para putri kerajaan yang dibunuhnya akan terbelenggu dengan kutukan untuk melayani Reinhart bahkan setelah mati."

"Menjijikan. Dia pria yang menjijikan." Kata Elena sambil membawa masuk bunga-bunga itu. "Aku harus bernegosiasi dengan orang seperti dia? Yang benar saja."

"Bersabarlah, nona. Tuan Reinhart tidak jahat. Ia hanya suka bertarung." Elena berdecak sambil berdiri dan berjalan hendak menuju teras.

"Aku tidak tertarik melihatnya bertarung. Dia kira dia hebat sekali?" Yuna tersenyum mendengar omelan Elena yang menghentakkan kakinya sambil berjalan. Elena memang terdengar sangat benci pada tuannya, tetapi Yuna mendengar nada cemas dan peduli milik Elena di tiap kalimatnya. Sebelum ketinggalan jauh, Yuna bergegas menyudahi kegiatannya dan menyusul Elena.

***

Kloto dan Laquera sama-sama terkekeh karena kondisi sekarang sangatlah menarik. Elena memang sangat susah ditaklukkan. Apalagi dengan tingkah Reinhart yang seringkali tidak dewasa.

Ide untuk memberikan Reinhart seorang istri pun datang dari Atrope yang sekarang sedikit menyesal membuatkan perjanjian itu pada Reinhart. Ia hanya punya harapan di tangannya, agar Elena mau berbagi kedewasaannya bersama Reinhart, lalu ia mau bersannding dan membawa kerajaan Reinhart menuju tahun-tahun emasnya. Hanya saja Elena lebih suka bekerja sendiri. Mungkin karena itu, kehadiran raja di kerajaan hitam Elena dulu ketika masih hidup benar-benar mengusiknya. Sehingga ia harus membunuh suaminya sendiri. Entah bagaimana ia diampuni dan diberikan Nirvana.

"Demi laso Athena, kalian berdua. Berhenti menonton satu kehidupan, dan mulai memintal yang lainnya!" Atrope mendelik pada Kloto dan Laquera yang menatap balik, kedua saudari itu merasa tertangkap basah menikmati cerita baru Elena. "Lagipula, cerita mereka tidak begitu menarik."

"Oh ayolah, Atrope. Bersenang-senanglah sedikit. Elena akan menaklukkan Tuan Reinhart secepat Apollo menunggangi kereta kudanya untuk membawa kembali matahari." Kata Kloto sambil kembali duduk di sebelah saudarinya dan mulai memintal.

"Bagaimanapun juga, Elena hanya Elena di dunia kita. Ia tidak memiliki kekuatannya yang megah itu."

"Ia tetap dianugerahi kebijaksanaan." Kata Laquera akhirnya. Diantara mereka bertiga hanya Laquera yang tetap memiliki jawaban paling tajam diantara mereka. "Aku setuju kau memilih Elena bukan karena aku tidak punya rencana."

"Oh, Laquera. Kita sudah lama meninggalkan kehidupan itu." Kata Kloto sambil menyibakkan rambut Laquera dari ujung ruangan dengan serbuk keemasannya. "Jangan buat rencana tambahan untuk Elena."

***

Elena berdiri menganga, ketika Reinhart masuk ke dalam gerbang istana. Wajahnya begitu cerah seakan tadi ketika ia sedang kembali, di perjalanan ia menemukan sekotak besar emas dan perhiasan yang mahal untuk dihadiahkan pada calon permaisurinya.

Tapi yang ada di dadanya sekarang adalah pikiran untuk mengecup dahi Elena seperti apa yang ayahnya dulu sering lakukan pada ibunya ketika pulang dari perjalanannya. Hanya saja wajah Elena kelihatan sedang ingin menghajarnya ketimbang menciumnya.

"Berkat tertinggi kepada sang pemimpin." Semua orang di istana menyambut Reinhart sambil memberi hormat. Hal itu Elena lakukan sebatas untuk menghormati Reinhart secara formal.

"Darimana?" Tanya Elena.

"Perang." Jawab Reinhart singkat. Seakan ia tidak mau kalah pedas dari Elena. Seakan dirinya yang penuh kasih sayang sirna ketika melihat wajah wanita itu.

"Untuk apa berperang?" Tanya Elena dalam gumamannya ketika ia berbalik untuk berjalan menjauh dari gerombolan prajurit mirip keledai Reinhart.

"Kenapa dari awal kau kelihatan membenci perang?! Kerajaanmu dulu kan sering berperang!" Kata Reinhart kini mulai mengungkit masa-masa Elena.

Elena berhenti melangkah. Rasanya ada sesuatu yang dingin menjalari rusuknya ketika ia kembali teringat masa hidupnya dulu. Ia benar-benar binasa dengan kenangan-kenangan pahitnya itu.

Ia menoleh ke belakang, menatap lantai di dekat sepatu Reinhart yang berlumuran darah. Matanya berkunang-kunang, sedangkan kepalanya memanas. Ia menarik nafas dan membuka sedikit mulutnya.

Tapi kembali mengatupkan, dan mengurungkan niatnya untuk cerewet pada Reinhart. Ia kecewa sekarang.

"Apa kau tidak mengerti kehidupan macam apa yang harus aku jalani?" Tanya Elena sambil menggertakkan giginya. Ia muak dengan wajah konyol pria di hadapannya ini.

Ia menatap Yuna yang menatapnya cemas dan keheranan. Semua terdiam untuk mendengar apa yang akan dikatakannya dengan seksama. Tapi tidak ada lagi. Elena tidak menyatakan apapun lagi.

Ia kembali berjalan menjauh. Kini lebih cepat. Yuna menatap tuannya sebentar dengan alis mata yang berkerut, penuh pertanyaan, lalu bergegas mensejajarkan langkah dengan Elena, supaya ia bisa bertanya kondisinya.

Reinhart kini merasa menang. Ia tersenyum lega karena akhirnya bisa membuat Elena terdiam, dan tertegun. Tapi ia melihat Kloto. Diantara pilar-pilar besar teras istananya. Menatap balik kearahnya. Tidak ada selain mereka berdua, Elena dan Kloto, yang menyadari kesalahan Reinhart.

***

Kloto berjalan mengitari Reinhart sambil mendelik. "Kau kira kau begitu hebat?" Tanya Kloto geram. Wajahnya memerah menahan tangis dan marah. Sedih akan Elena yang dihantam dengan kenangan yang selama ini dengan susah payah di kuburnya dalam-dalam, tapi kembali terbuka karena tingkah bodoh Reinhart.

"Apa salahku?" Tanya Reinhart sambil mengusap bagian kepalanya yang tidak dipukul Kloto, "Lagian dia pun menyebalkan!"

"Apakah sekali saja kau pernah melihat putaran kenangan Elena?"

"Jujur saja, aku selalu lupa membukanya."

Kloto menghela nafas dengan jawaban jujur dan dangkal Reinhart. Apa yang selalu ada di kepala pria ini? Perang?

"Elena bukan gadis biasa yang akan bisa meladeni kekanakanmu, Reinhart. Dia wanita yang jauh lebih hebat dari kelihatannya."

Reinhart terkekeh singkat, "Dia? Disini dia tidak punya kekuatannya! Dia bukan apa-apa disini."

Cahaya di mata Kloto redup. Sekali lagi ia kekurangan alasan untuk memperjuangkan hidup Reinhart seperti apa yang dimintakan ibunya, sahabat baik Kloto, sebelum ia pergi menjadi debu karena dilupakan. Satu lagi jiwa bercahaya yang disia-siakan.

Kloto memanggil kekuatannya, dan membawakan Reinhart kotak memori Elena. "Buka ketika menurutmu waktunya adalah waktu terbaik untuk dibuka."

Setelah kedipan mata selanjutnya, Kloto sudah tidak lagi berdiri di hadapan Reinhart. Pria itu menatap kotak yang sekarang berada di atas rumput taman. Ia mendengus, dan berbalik. Meninggalkan kotak itu disitu. Untuk apa dia tahu masa lalu Elena? Yang dia perlukan hanyalah kegagahannya sekarang, dan memberi wanita itu sedikit kepeduliannya. Nanti dia akan jatuh hati sendiri.

Tapi sebenarnya kenyatannya akan jauh lebih pahit dari itu.

Tritanian History : Long Path She TakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang