Aksi - Reaksi

29 1 0
                                    

Papa memiliki andil yang cukup besar untuk setiap keputusan yang dibuat dalam keluarga ku. Mungkin karena Papa adalah kepala keluarga, Papa yang lebih berpengalaman dan yang memiliki uang. Tapi untuk keputusan pribadi anak-anaknya, Papa selalu membebaskan apa yang kita inginkan walaupun kita selalu meminta masukan dari Papa. Untuk kasus sakit adik ku ini, semua kendali ada di Papa. Karena papa sendiri yang sudah mengatakan, ini anak Papa jadi ini tanggung jawab Papa.

Seperti biasa, setiap weekend aku pasti balik ke Jakarta untuk bermain bersama keluarga ku. Malam minggu itu, kita keluar rumah tanpa tau arah. Pak Yadi, supir papa, dengan mengendari mobil camry membawa kita ke arah Bekasi. Papa yang duduk di depan tiba-tiba ngomong "Katanya ada yang bisa ngobatin Caca disini, Papa juga ini dikasih tau temen Papa". Sepanjang jalan yang aku liat hanya ruko-ruko, tempat makan, Aku tidak melihat sebuah klinik atau Rumah Sakit di daerah sini. dan tidak lama kemudian kita masuk ke dalam suatu perumahan. Berhentilah kita di sebuah rumah berwarna kuning dengan pagar coklat.

"Assalamualaikum Pak Ustadz" sapa Papa ramah ketika turun dari mobil.

"Walaikumsallam Pak, mari-mari masuk" terlihat pria berumur 50 tahunan menggunakan gamis putih panjang dan kopiah menyambut keluarga ku. Rumah kuning tadi ternyata rumah Bapak ini. Setelah perkenalan singkat dengan keluarga Bapak Ustadz tersebut, disuruhlah kita masuk ke dalam sebuah kamar. Saat itu hanya ada aku, Caca, Mama dan Papa. Di kamar tersebut, kita berempat duduk dilantai dan hanya terdapat satu kasur dimana Bapak tersebut duduk diatasnya.

"Jadi bagaimana Pak?" Papa langsung melemparkan pertanyaan tersebut.

"Hmmm benar Pak, memang sepertinya ada. Sembuh insyaAllah Pak, tapi harus dibersihkan dulu pak" perkataan itu muncul ketika ia melihat Caca dengan seksama.

Disaat seperti ini, aku, Mama dan Caca memang lebih banyak diam. Karena kita tidak tahu apa yang terjadi.

"Baik Pak, minggu depan kesini lagi ya. Tapi ada yang perlu dibawa, catat ya bu. Kain kafan putih, telur 3 biji, tasbih, dan batu"

Kain kafan??? Aku tidak habis pikir apa yang akan dilakukan Bapak itu, mengapa memerlukan kain kafan dan berbagai peralatan lainnya. Namun ku hanya bisa diam.

Menunggu minggu depan datang, aku mendengar Papa sedang berbicara dengan seseorang bernama Pak Yasin di handphone nya.

"Iya Pak, bagaimana? Coba tolong diliatin Pak"

Beberapa menit kemudian.

"Apa Bapak bisa kerumah? Nanti saya carikan tiket pesawatnya, Bapak bisa hari apa?"

Hanya beberapa kalimat yang bisa aku dengar dari percakapan Papa dengan orang tersebut.

Kali ini, kita datang berlima. Aku, Papa, Mama, Caca dan Khawa. Kita datang lagi ke tempat Bapak Ustadz tersebut lengkap dengan peralatan yang ia suruh bawa ketika itu. Di kamar waktu itu, Caca disuruh berbaring. Kemudian, ia bungkus muka Caca dengan kain kafan tersebut, di selipkan pula telur, tasbih dan beberapa barang yang ia minta di dalam kafan tesebut. Sambil ia bacakan ayat-ayat Alquran yang aku tidak tahu apa artinya. Aku hanya bisa menyebut astagfirullah di dalam hati ku, karena aku sungguh takut dan tidak tahu harus apa. Caca, selama prosesi tersebut berlangsung, ia hanya diam, mengikuti apa saja yang disuruh Bapak tersebut.

Kemudian, selesailah Bapak tersebut berbicara bahasa arab yang aku tidak tahu apa artinya itu. Caca kembali duduk bersama ku. Kemudian Papa bertanya,

"Jadi berapa kali lagi Pak kira-kira bersih?"

"Ya sebentar lagi Pak, insyaAllah"

Pikiran ku saat itu tidak tahu ada dimana, bingung dengan apa yang terjadi dan apa yang sebaiknya aku lakukan. Sepertinya bapak ini menyadari muka ku yang terlihat banyak tanya.

"Pak, anaknya yang ini agak berbeda ya." Sambil ia melirik ke arah ku.

"Kenapa emang nya Pak?" tanya Papa dengan nada bercanda.

"Kamu kalau jalan malam biasanya gimana?" Dia sekarang bertanya langsung pada ku.

"Saya Pak? Kadang suka ngerasa panas sih Pak, punggung saya" Aku jawab apa saja yang ada di kepala ku.

"Ini anak emang dulu dibilang punya indra ke-6 Pak sama sepupu saya yang bisa lihat. Emang bener ya Pak?" Sahut Mama.

"Haha hmm mata batin nya memang setengah terbuka. Tinggal pilih saja, mau dibuka atau ditutup haha" Jawab Bapak yang dipanggil Ustadz tersebut.

"Waduh Pak, gausah diapa-apain deh biar aja begini jadi saya bisa banyak istigfar haha" jawab ku langsung cepat karena takut berurusan dengan hal seperti itu.

Tidak ditanya, namun tiba-tiba Bapak ini seperti "meramal" ketiga anak Papa dan Mutia yang tidak ikut saat itu. Dia berkata, Mutia agak susah. Ia harus berjuang keras untuk mendapatkan rejekinya. Lain lagi dengan aku dan Caca yang katanya jalannya lebih mulus dibandingkan kaka pertama kami itu.

Hari berjalan seperti biasa. Aku dengan kesibukan ku di Bandung. Caca dengan segala aktivitas kampusnya. Papa yang masih sibuk meeting disana-sini. Tidak ada hal yang berbeda semenjak kami menerima kabar penyakit tersebut.

Aku dan Caca tidur sekamar, Sabtu pagi itu kami seperti biasa bermalas-malasan di kasur, sarapan dan menonton TV di kamar.

"Ca, ca coba keluar dulu. Ini ada Pak Yasin" Papa memanggil caca dari luar. Papa memang setiap hari selalu mengawali hari sejak dini hari, jadi kalau ada suara berisik dari luar kamar kami, kami biasa saja, ah paling Papa.

Caca duduk di ruang tamu, bersama Papa disampingnya dan Pak Yasin duduk di depan mereka. Setelah melihat Caca dari jarak 2 meter itu, Pak Yasin meminta izin untuk memegang Caca. Dengan jari telunjuk dan jari tengah memegang bahu Caca dan mengucapkan "Bissmillahirrahmanirrahim....." Lima menit Pak Yasin memegang badan Caca dengan berbisik menggunakan bahasa Arab dan akhirnya berkata. "Ya Pak, kita harus bicara"

Lalu Caca kembali ke kamar ku. Aku langsung bertanya. "Ada apa? Ada apa? Siapa yang dateng?" Caca membalas dengan gurauan "Gak tau, cuman dipegang aja haha"

"Hee? Emang siapa itu? Terus diapain?" Aku masih kebingungan tapi lebih ke arah, pasrahkan saja atau tidak mau tahu lebih lanjut.

Suatu ketika aku sedang di perjalanan pulang dengan Mama. Aku, Mama dan Pak Umar. Supir ku ketika itu. Di daerah Cipinang, Mama mulai membuka topik pembicaraan setelah memegang HP cukup lama.

"Nak, jangan bilang-bilang Papa ya Mama cerita" begitu awal mula mama berbicara dengan ku. Aku heran, apa yang sedang terjadi.

"Ini mama baru dapet cerita dari temen Mama yang bisa ngeliat, katanya Nak kita lagi digangguin orang. Katanya orang kantor Papa, biasanya Nak jabatan. Dulu temen Mama ini udah cerita, emang ibu itu orangnya manis di depan aja. Dia udah ingetin Mama dulu, tapi Mama diem aja. Dia baru chat Mama lagi setelah sekarang Papa pindah kantor. Temen Mama bilang, Alhamdulillah ya bu dipindahkan naik jabatan walaupun gajinya lebih kecil tapi dengan ini insyAllah gak di ganggu Bu".

Belum sempat aku memberikan respon terhadap ucapan Mama tersebut, Mama langsung menyambung ceritanya.

"Kehidupan di kantor tuh emang gitu Nak, percaya gak percaya. Apalagi kalau udah masalah jabatan. Delia inget ga, dulu Mama sama Papa pernah ke Bandung berdua nyamperin delia sama Mutia bawain aqua?"

Dengan masih mengingat kejadian tersebut, aku berkata "Hmm iya ma inget, yang tiba-tiba ke Bandung kan?"

"Iya, itu udah ada yang bilang katanya ada yang mau ganggu keluarga kita. Katanya ngincer salah satu anak Papa, makanya Mama sama Papa langsung buru-buru bawain aqua itu. Itu aqua udah dibacaain doa. Nah kayanya ternyata yang di incer ini Caca, tapi Mama gatau juga deh"

Kemudian aku teringat kejadian itu, di waktu yang tidak biasa, satu tahun sebelumnya, Mama dan Papa datang ke Bandung hanya untuk mengantarkan segelas aqua dan menyuruh ku untuk langsung menghabiskannya. Aku tidak terfikirkan apapun waktu itu. Aku selalu patuh kepada orang tua ku, apalagi ketika mereka sudah menyuruh ku untuk melakukan sesuatu, akan kulakukan tanpa banyak mengeluarkan pertanyaan. 

Endless JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang